Semua yang Takut pada Allah, Itulah Ulama
Dalam banyak kali majelis dan pertemuan Maiyah di berbagai titik dan dimensi, kata “ulama” kerap menjadi bahasan dan rata-rata kita menemukan perspektif mengenai kata ulama itu. Ayat yang kerap dijadikan sandaran dalam berbagai bahasan ini adalah surah Fathir ayat 28: ”innamaa yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa` innallaha ‘aziizun ghafuur”. Dan ulama juga dibahas Allah dalam surah yang lain, Asy-Syu’ara ayat 197: ”awalam yakul-lahum aayatan ay-ya’lamahu ‘ulamaa`uu banii Israa`iil”.
Sekarang, kita berada pada kondisi di mana legitimasi keulamaan menjadi sangat dipertaruhkan. Pilpres 2109 akhirnya tidak hanya menjadi kompetisi politik tapi juga kontestasi ulama versi golongan siapa yang lebih didengarkan oleh ummat. Ini bukan hal yang baru, kontestasi perebutan legitimasi keulamaan itu kita pernah mengalami di awal abad 19 antara ulama golongan tua dan golongan muda. Tapi itu baik kita pinggirkan dulu dalam tulisan kali ini.
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah sudah tepat bila dalam memahami “ulama” kita memahaminya seperti tradisi shamanism? Dalam shamanism, di mana pada setiap kepercayaan purba, selalu ada orang yang dianggap lebih dekat pada “suara langit” dan menjadi anutan baku suku-suku tersebut untuk melakukan keputusan baik keputusan perang, panen maupun perkawinan. Fakta sosialnya, suku-suku semacam ini kemudian menjadi binasa, sebab dia sudah tidak relevan dengan zaman.
Namun peradaban baru selalu tumbuh di atas reruntuhan tradisi sebelumnya. Pada masa setelahnya, tradisi shaman ini terserap dalam agama-agama yang bersifat pastoral. Style-nya masih sama, hanya dia di-upgrade sedikit. Ternyata gaya pastoral juga kemudian perlu dibongkar ketika terjadi berbagai penyelewengan kekuasaan di Eropa. Maka lahirlah Renaissance. Rasio diangkat dan peran para “ulama” pastoral disingkirkan kembali ke dalam bilik-bilik fakultatif agama.
Jadi, apakah benar seperti itu pengartian ulama? Benarkah dia hanyalah anutan para awam untuk melakukan keputusan-keputusan? Lantas di mana kemerdekaan pikir individu? Apakah ummat sebegitu bodohnya sehingga untuk mencoblos di bilik suara saja harus mematuhi tokoh-tokoh keramat, shaman-shaman yang entah punya pengalaman apa dalam politik nasional maupun global?
Dalam lazimnya yang kita temui, pengartian ayat tentang ulama itu adalah bahwa hanya para ulama yang takut pada Allah. Tapi di berbagai majelis Maiyah, Mbah Nun memiliki pengartian sendiri: semua yang takut pada Allah itulah ulama. Artinya, yang disebut ulama itu bisa anda pembaca yang budiman, bisa yang menulis ini, bisa saja orang yang sedang lewat, bisa si anu maupun si itu. Ulama dalam majelis Maiyah bukan definisi kelas yang membaku. Dia adalah skala. Seperti berat badan. Berat badan anda bisa naik-turun, bahkan berat badan kita di pagi hari sangat bisa berbeda pada malam hari. Tapi setiap kita punya rata-rata rentang berat. Sepemahaman saya dari majelis Maiyah, keulamaan adalah sesuatu yang naik-turun. Ngulama, coba tambahkan awalan “ng” jadi bisa sedang ngulama bisa sedang kurang ngulama. Bisa juga sedang sangat ndak ngulama.
Ternyata berpikir semacam ini cukup sulit bagi beberapa orang yang pernah saya temui. Mereka berada dalam pengartian baku bahwa ada orang yang ulama, ada yang bukan. Seolah itu adalah status yang tidak bisa dilepas setiap jam, setiap menit, setiap detik selama twenty for seven. Betapa kita tega menyiksa orang-orang dan sesepuh kita untuk terus mengulama tanpa pernah beristirahat?
Dalam ayat yang satunya di surah Asy-Syu’ara yang disebut di awal, justru kata ulama dilekatkan sebagai milik Bani Israil. Kalau kita lihat secara historical thinking, kaum Bani Israil atau bangsa Judea menglami pergeseran tradisi yang berangsur-angsur dari temple center kepada rabi center. Dari berpusat kepada kuil-kuil menjadi berpatokan pada tokoh-tokoh sakral. Itu adalah akibat proses sangat panjang dari sejak masuknya pengaruh Yunani-Syiria pada masa Antiachus IV Epiphanes sampai pergeseran kekuasaan ke era Romawi. Tradisi sebagai wakil tuhan yang besar kemudian diserap juga oleh para pelawannya.
Sakralitas tokoh-tokoh bermula sejak jauh sebelum kelahiran Yesus A.S. Bersamaan dengan muncul juga tradisi sanad keilmuan dalam institusi pendidikan lokal para Rabi, di mana para santri calon rabi digembleng dalam asrama Yeshiva di bawah baiat seorang Rabi pembimbing yang sanad keilmuannya menyambung hingga Moses AS. Tauhid turun di setiap zaman, terbelokkan oleh proses sejarah dan kemudian turun lagi manusia pilihan yang bertugas membenahi. Isa atau Yesus AS turun untuk membenahi pembelokan pikiran semacam ini.
Kemudian sejarah berulang. Enam abad setelahnya tauhid kembali menjelma pada sosok Muhammad Saw. Dan ini adalah kesempatan terakhir. Kaum muslim berada pada titik krusial. Status sebagai ummat akhir bukan sekadar pujian tapi juga peringatan bahwa kita diserahi tanggung jawab untuk mengurusi diri kita sendiri. Salah-benarnya, kita menanggung. Jadi muslim itu beratnya di sini, tidak ada lagi kesempatan revisi.
Tampaknya pertemuan budaya-budaya dari spiritualitas Buddhism, jalur logic sanad ilmu ala Judea, hingga pastoral Romawi di daerah sekitar Damaskus pada era Daulah pasca Rasulullah Saw telah membentuk budaya baru pada tradisi kaum muslim. Kaum Hanafiyah atau jalur garis lurus, seperti petapa eseni pada era Yesus memang selalu ada di setiap zaman dan budaya dan peradaban. Itu bukan hal baru, selalu ada dan selalu muncul pada dua titik ekstrem. Pertama, yakni pada peradaban yang sedang sangat jaya dalam materi dan kekayaan–dalam hal ini dia semacam antitesis dari kemegahan. Titik ekstrem kedua, adalah dari kaum yang subordinat pada situasi penaklukan.
Bisa kita sebut begini, pada kaum padang pasir, menjadi petapa sufistik adalah satu capaian yang luar biasa. Itu membutuhkan penaklukan diri luar biasa. Pada demografis kita, tropis-khatulistiwa, menjadi pertapa bukan tantangan-tantangan amat. Karena itu, kaum tani di wilayah agraris selalu lekat dengan mistisisme. Mistisisme selalu berkaitan erat dengan pensakralan tokoh, mitologisasi, impresi yang berlebihan. Itu tidak hanya kita yang mengalami. Pada jalur perjalanan Che Ernesto Guevara untuk pulang ke Argentina sebelum tertangkap oleh CIA ketika selesai membantu Fidel Castro dalam Revolusi Cuba, di daerah pedalaman Amerika latin dapat ditemukan sosok legenda seorang santo yang dianggap mampu meyembuhkan bila berdoa dengan rosario yang terdapat gambar wajahnya. Santo itu disebut Santo Guevara. Dia Che Guevara itu sendiri, tokoh dokter sosialis. Hingga sekarang, Cuba adalah negara dengan layanan kesehatan terbaik karena pijakannya telah disusun oleh sang Che.
Mungkin, para tokoh kita sejak era wali songo, adalah orang-orang yang bernasib seperti Che Guevara itu. Mereka melakukan hal-hal yang konkret yang berguna bagi masyarakat, namun kesan memori sejarah manusia yang rapuh kemudian membenamkannya dan menjadikannya buram dengan berbagai kisah-kisah mistis. Mbah Nun telah berkali-kali memperingatkan kita untuk jangan sampai ada Cak Nun Fans Club, jangan ada “pejah gesang nderek Mbah Nun”, jangan jadikan Maiyah ini pemitosan sosok. Tampaknya Mbah Nun membaca potensi itu cukup besar dan memang secara demografis wilayah agraris, itu sangat potensial. Imajinasi sejarah kita didominasi oleh romantisme daripada jalur logika yang jujur dan objektif. Apakah di luar atmosfer Maiyah sedang terjadi hal semacam itu? Mungkin iya. Tapi baiknya kita tidak menuding dan menyalahkan.
Belakangan ini dari pertemuan para pegiat yang baru saja diadakan di Kadipiro, beberapa penggiat Maiyah bersepakat untuk mengkontinuasi JPS (Jam’iyah Pengusaha Surga). Ini adalah gagasan yang menantang. Bukan hanya menyamankan. Terlalu banyak orang berkoar tentang perubahan tapi tidak memberi tantangan, seolah semuanya bisa didapat dengan instan. Dia memberi kita lahan tarung baru, agar tidak melulu mendekam di goa-goa pertapaan. Sebab sekali lagi, tiap budaya memiliki tantangan dan capaian yang berbeda. Berada dalam goa wiridan dan shalawatan saja bukan hal yang berat untuk kondisi demografis kita. Sesekali tentu perlu, hidup juga perlu ada pertapaannya. Tapi kita diajak untuk fleksibel, dinamis untuk keluar-masuk sesuai kebutuhannya.
JPS movement ini, bila kita sambungkan kembali dengan bahasan di awal mungkin adalah bagaimana kita mengistirahatkan kata “ulama” dari polusi mistisisme. Menariknya ke bumi, menjadikannya adalah hak bagi setiap manusia untuk turut berada pada atmosfer keulamaan pada wilayah konsentrasinya masing-masing.
Ulama bukan lagi tujuan tapi bahan rujukan. Bukan anutan tapi panutan, dan itu adalah sikap yang bisa diambil setiap orang selama dia terus menggali dan dalam penggaliannya dia menemukan ketakjuban, kekaguman, hingga getar ketakutan yang positif pada Keperkasaan dan Kemaha-Pengampunan Allah Swt. Sehingga kita tidak perlu mengulangi kekonyolan sejarah di mana legitimasi kelas ulama selalu dikontestasikan. Seolah ulama adalah yang mengarahkan para awam untuk segala macam keputusan. Daripada begitu, jadilah ulama. Sekarang juga. Pada bidang masing-masing.