Semua Berhak Mandiri Mencari Islam Sejati
Bahasan soal Silmi kaffah ini juga kemudian memantik satu pertanyaan dari hadirin. Tampak bahwa penanya yang pertama ini berpegang pada tafsir di mana udkhulu fis silmi kaffah artinya orang harus masuk kepada Islam (formal-identity) dengan karena hanya syariat Islamlah yang menurutnya dapat memberi pengayoman pada seluruh bangsa di dunia. Ini tidak disalahkan oleh Mbah Nun tapi kita diajak lebih lengkap lagi melihat. Apakah yang kita sebut syariat sekarang ini adalah syariat sebagai maunya Gusti Allah ataukah sekadar potongan keping tafsir yang kita sakral-sakralkan?
Maka itu bahasan mengenai tadabbur dan tafsir juga dibukakan. Bahwa tidak ada perintah untuk tafsir, tapi lebih kepada tadabbur. Namun berabad-abad kita berkontestasi dalam benar-benaran tafsir. Tafsir selalu adalah urusan intelektual yang dispiritual-spiritualkan. Standarisasinya tetap banyak-banyakan rujukan, kelengkapan instrumen ilmu, kualitas intelektual dan lain sebagainya. Artinya dia urusan orang pintar. Bahwa orang pintar dianggap ulama selama ini, itulah efek dan konsekuensi logisnya. Tapi kita ditawarkan tadabbur yang mana orang tidak perlu mencapai maqom tertentu untuk bersentuhan dengan Al-Qur`an.
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan kali ini tapi pertanyaan pertama ini digarisbawahi karena bahasannya kemudian tersambungkan dengan penanya yang memantau dari jauh. Karena sesi pertanyaan dibuka juga lewat akun instagram. Pertanyaan dari instagram itu “Kenapa dalam Islam banyak sekali organisasi atau ormas?” Mungkin ada nada gugatan, kenapa tidak satu payung saja. Mbah Nun malah berpendapat, “Buat saya (yang ada sekarang) itu kurang.” Kalau bisa menurut Mbah Nun sebanyak mungkin orang merasa berhak punya ormas, merasa bisa mendirikan madzhab dan thoriqot. Tambahan, kalau bisa jadi mursyid sendiri-sendiri dengan murid diri sendiri masing-masing, kan keren.
Manusia, apalagi generasi qaumuan akhar milenial ini, yang oleh MC disapa dengan sapaan yang sangat akademis “dedek-dedek zaman now” perlu bebas, merdeka, berdaulat dan otentik untuk bersentuhan dengan Al-Qur`an. Kita semua merdeka untuk menerima wahyu. Bukan berarti lantas GR jadi nabi juga. Jadi Nabi itu berat, biar orang-orang pilihan saja. Kita tidak kuat.
Wahyu dalam pengartian Mbah Nun adalah seruan-seruan Allah Swt yang memang ditujukan kepada manusia secara langsung, karena itu wahyu tidak pernah berhenti turun. Kita yang perlu aktif menjemput dengan kemerdekaan akal, sesekali nakal bertanya dan menanyakan. Sayangnya proses pewahyuan kepada ummat manusia, ini selalu dimandekkan, dimundurkan proses evolusinya melalui pemadatan-pemadatan dan pemitosan.
Selalu ada di setiap zaman kelas-kelas tertentu yang seolah sangat getol menakuti ummat manusia dan meyakinkan mereka bahwa untuk memahami dan mengerti serta bahkan bersentuhan dengan Al-Qur`an harus melalui kelas-kelas sosial tertentu. Bagi Mbah Nun, tidak ada prasyarat harus melalui satu orang atau satu golongan, bahkan Mbah Nun menjadikan dirinya sebagai sample bahwa juga tidak harus melalui dirinya dan tokoh-tokoh lain. Kita mestinya memang jangan sampai terlalu tega untuk mensakralkan sosok-sosok.
Wahyu tidak pernah berhenti turun, dan bagi Mbah Nun wahyu sangat deras turun setiap saat di negeri ini karena keistimewaan manusia-manusianya dalam berdialektika dengan kehidupan. Ketahanan dan kemampuan manusia Nusantara menemukan kebahagiaan, keliarannya dalam berpikir asal tidak terkungkung madzhab dan ormas adalah bekal untuk di masa depan akan menjadi tolok ukur peradaban dunia. Optimisme pun terbangun.
Ada juga Pak Abdul Madjid, bapak yang berpeci ini tampaknya sudah cukup sepuh. Pak Abdul Madjid tampak sangat tergugah dengan pernyataan Mbah Nun bahwa perpaduan antara kualitas manusia negeri ini dan Islam akan menjadi bekal bagi jayanya peradaban masa depan. Islam menurut Pak Madjid pernah memimpin hampir seluruh dunia. Tapi Pak Abdul Madjid sedikit heran, kenapa justru di negeri-negeri Timteng yang mayoritas penduduknya Islam justru sangat ricuh dengan konflik tak berkesudahan?