Semua Berhak Mandiri Mencari Islam Sejati
Di latar belakang panggung terpampang tajuk acara yang berbunyi Dialog Kebangsaan “ISLAM, KEBANGSAAN DAN PERDAMAIAN”. Tajuk ini juga oleh Mbah Nun sempat menjadi pintu pembuka dan pemantik ilmu, “Judul ini terlalu luas, bisa-bisa hanya basa-basi.” Padahal judul seperti ini sangat umum dan biasanya juga jarang pembicara yang mau mengurusi detail-detail hingga judul. Bagi Mbah Nun, kita mesti belajar serius pada kata-kata, mengerti ketepatan koordinat maqom-nya serta presisi dalam skala prioritas.
Mbah Nun coba berikan pertanyaan apakah urut-urutan kata di dalam tajuk tersebut mengandung skala prioritas antara Islam, kebangsaan, dan perdamaian? Ataukah, apakah klasifikasi itu membuat tiga hal tersebut menjadi berjarak sangat jauh dan seolah tidak akan pernah bertemu? Tapi tidak sekadar pertanyaan, Mbah Nun juga memberi pancingan bahwa bisa saja hal yang menjadi goal utama tema itu terjadi asal para pelaku peradaban zaman now ini bersedia menjadi Ibrahim dan Ismail, artinya mau berprihatin, mau berkorban hal-hal yang sekarang ini dirasa paling berharga, paling sakral dan mungkin paling disayang dalam hidup.
Itu tentu berbeda tiap orang dan tiap tingkatan kesadaran. Bagi orang yang sehari-hari mengejar uang dan bagi orang yang sehari-harinya penuh gairah dalam perjuangan ormasnya tentu beda sembelihan Ismail yang mesti dilakukannya. Nah tentu masuk akal kalau kita bertanya, kita harus menyembelih Ismail yang mana dalam hidup kita ini?
Berbagai hal diolah oleh Mbah Nun pada pagi itu. Hujan deras tidak terasa di dalam kemegahan auditorium. Selain judul misalnya juga Mbah Nun mengambil sample dari qori` yang pada pembukaan membacakan ayat-ayat al-Qur`an. Qori` ini bagus suaranya namun sering kurang presisi mengatur nafas, tempo, dan dengan sendirinya stamina. Mbah Nun menganjurkan agar kita putuskan dulu maunya sprint atau marathon, nanti pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan dari skala kecil hingga skala besar dalam hidup akan menyesuaikan default tersebut.
Mbah Nun Bersama Pak Haedar Nashir di panggung. Dan MC yang pas hanya sesekali memantik pertanyaan untuk dielaborasi. Pagi itu jadi sejuk. Hujan deras di luar. Pak Haedar dan Mbah Nun memang sudah lama akrab. Pak Haedar juga sekali waktu menceritakan bahwa beliau bersama Cak Adil, adik kandung Mbah Nun bersama-sama membangun da’wah di Muhammadiyah. Pak Haedar punya konsep yang baik sekali dalam menjelaskan bahwa, “Tugas da’wah itu memberikan narasi alternatif”.
Sedangkan perihal da’wah ini dielaborasi dengan beberapa sudut, sisi, dan pengolahan resolusi pandang sendiri oleh Mbah Nun. Bahwa ada da’wah dan ada tabligh, sekarang ini banyak orang tertukar. Da’wah menurut Mbah Nun berasal dari kata daa’a-yad’uu yang artinya memangil atau menyapa. Sedangkan tabligh lebih bermakna menyampaikan. Da’wah yang satu akar kata dengan du’a (doa) menurut Mbah Nun adalah usaha menyapa. Bila peristiwa menyapa itu kepada Allah itulah do’a dan menyapa manusia itu da’wah.
Sekarang orang merasa berda’wah padahal sedang bertabligh, itu pun tidak dengan kelengkapan instrumen bilhaq dan bisshobr. Banyak yang mengartikan “wa tawashaw bil haqqi wa tawashaw bish shobri” sebagai saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Mbah Nun menawarkan pengartian “saling mengingatkan dengan benar dan dengan sabar”. Maka bila kita artikan begitu kita akan selalu berhati-hati menghitung presisi kebaikan yang akan kita nasihatkan. Baik secara individu, baik secara sosial, baik secara aqidah, secara akhlaq, secara kultural dan berbagai skala kebaikan akan menjadi pertimbangan kita.
“Kalau bisa da’wahnya itu silmi saja,” ungkap Mbah Nun dan berlanjutlah bahasan mengenai mengapa kalimat yang dipilih adalah “fis silmi kaffah” bukan “fil islami kaffah”. Bahasan ini tentu sudah jadi santapan utama bagi para pejalan Sinau Bareng yang satu-dua tampak juga di lokasi acara ini karena memang diperuntukkan pada masyarakat umum selain civitas akademika UII.