Sedekah Bumi Sebagai Aktualisasi Rasa Syukur
Setelah Padhangmbulan, Cak Nun dan KiaiKanjeng memenuhi undangan pemuda dan masyarakat desa Campurejo, Gresik (14/10). Tadi malam, Cak Nun dan KiaiKanjeng memenuhi undangan masyarakat desa Dukohkidul, Ngasem, Bojonegoro. Dan malam nanti masih berlanjut untuk bertemu masyarkat di Kalinyamatan, Jepara. Tercatat sudah 4123 titik dimana Cak Nun dan KiaiKanjeng menemani masyarakat. Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah membuktikan bahwa konsep sinau bareng adalah metode paling efektif untuk duduk bersama dengan masyarakat di berbagai daerah. Namanya juga sinau bareng, tidak ada tema khusus yang dibahas dari awal hingga akhir, tetapi semua dimensi ilmu bisa menjadi ulasan bersama-sama.
Seperti tadi malam, tema utamanya adalah “Sedekah Bumi”. Cak Nun di awal menjelaskan bahwa sedekah adalah sebuah metode untuk meneguhkan hubungan antara makhluk Allah dengan Allah yang telah menciptakannya. Allah sendiri Maha Bersedekah. Allah telah menciptakan segala sesuatunya di alam semesta tidak lain karena kemurahannya. Sedekah Bumi tidak sama dengan pemahaman bahwa Bumi harus menyedekahkan sesuatu yang menjadi miliknya. Tidak demikian.
Pada hakikatnya, manusia itu tidak memiliki apa-apa. Hingga kemudian Allah mengatur skenario kehidupan sedemikian rupa, kemudian manusia diberi mandate sebagai khalifatullah, dengan potensi kreatifitas yang dimiliki, manusia kemudian mengeksplorasi sumber daya yang ada kemudian mengolahnya supaya menjadi barang yang lebih bermanfaat untuk makhluk hidup lainnya. Pada tahap selanjutnya, sedekah memiliki fungsi keseimbangan. Maka akar kata dari sedekah itu sama dengan kata shiddiq, berasal dari tiga huruf; shod, dal dan qof.
Maka, orang yang bersedekah itu sedang menjalankan fungsi keseimbangan. Begitu juga dengan konsep sedekah bumi yang sering dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Tadi malam, Cak Nun menyampaikan harapan agar supaya mudah-mudahan, suatu hari nanti ada konsep sedekah nusantara, sedekah bangsa, sedekah negara. Dengan skala yang lebih luas, sudah sepantasnya manusia menyadari bahwa memang harus ada timbal balik dalam proses keberlangsungan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Allah.
Yang kita saksikan hari ini, sudah terlau banyak perilaku manusia yang menihilkan peran Tuhan. Seharusnya, pada setiap langkah yang kita ambil, kita harus melibatkan Allah didalamnya. Jika menjadi seorang Presiden, misalnya, maka pada setiap kebijakan yang akan diambil, pada setiap surat yang akan ditandatangani, pada setiap rapat kabinet, dan pada setiap serangkaian tugasnya seharusnya Presiden melibatkan Allah. Sebagai seorang Pemimpin, konsep tauhid jelas sangat dibutuhkan. Setidaknya, ketika kita melibatkan Allah dalam setiap langkah kita, maka kita akan menyadari bahwa ada peran Allah yang akan selalu membantu kita.
Apakah Allah membutuhkan sedekah dari harta kita? Tentu saja tidak. Allah Maha Kaya. Yang Allah inginkan adalah keseimbangan. Menjadi orang kaya tidak merupakan sesuatu hal yang dilarang, menjadi orang miskin juga bukan sesuatu hal yang hina. Cak Nun semalam menyampaikan, bahwa yang baik adalah ketika kita membutuhkan sesuatu, apa yang kita butuhkan itu ada. Pas butuh, ono. Menjadi orang kaya tidak menjadi sebuah jaminan bahwa hidup kita menjadi tenang. Hidup yang tenang justru adalah ketika kita membutuhkan sesuatu dan sesuatu yang kita butuhkan itu ada.
Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya itu dalam rangka kemurahan hatinya. Allah ingin bergembira dengan makhluk-makhluknya. Dan Allah tidak pernah berhitung. Matahari Dia terbitkan setiap hari, angin dan udara Dia hembuskan setiap hari, pohon dan tumbuh-tumbuhan Dia suburkan, manusia Dia ciptakan dan lain sebagainya, tanpa memperhitungkan apakah makhluk ciptaan-Nya itu akan mengabdi kepada-Nya atau tidak. Bukankah itu perilaku sedekah yang luar biasa?
Meminjam istilah Syeikh Nursamad Kamba, cinta sejati itu hanya dimiliki oleh Allah. Dan cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati. Agak sulit memahami ini. Mungkin kita akan sedikit mengernyitkan dahi kita, kok bisa cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati? Ketika anda mencintai seseorang, anda menumpahkan seluruh perhatian anda kepada orang yang anda cintai, tanpa harus memikirkan apakah cinta itu akan berbalas atau tidak, itulah cinta yang sejati. Cinta yang tidak berlandaskan transaksi. Dan Allah telah mencontohkan perilaku tersebut. Tidak peduli ada berapa banyak orang yang beriman kepada Allah, setiap hari Allah selalu menerbitkan matahari.
Satu pijakan awal di sinau bareng tadi malam, Cak Nun mengajak jamaah yang hadir untuk menyelami surat As Syarh; Alam nasroh laka sodrok, wa wadhlo’na ‘anka wizrok, alladzii ‘anqodhlo dhohrok, wa rofa’naa laka dzikrok, fa inna ma’a-l-‘usri yusro, inna ma’a-l-‘usri yusro, fa idzaa faroghta fanshob, wa ila robbika farghob. Cak Nun sangat menitikberatkan pada pemungkas surat tersebut, karena itu merupakan salah satu landasan tauhid, bahwa kita hanya boleh berharap sesuatu hanya kepada Allah.
Dari surat ini, kita sedang diberi pelajaran oleh Allah untuk tidak udah mengeluh. Allah sendiri sudah mengatur sedemikian rupa bahwa beban yang diemban oleh manusia tidak akan melebihi kapasitasnya. Maka, sering Cak Nun berpesan kepada kita, jika kita sedang menghadapi beban yang berat, maka yang harus kita minta kepada Allah itu bukan meminta keringanan beban, melainkan meminta ditambahkan kekuatan agar mampu menanggung beban yang ada. Jika kita memohon diberi kekuatan tambahan, maka kita akan semakin kuat. Berbeda jika kita meminta agar dikurangi beban kita, hanya beban kita yang berkurang, tetapi kekuatan kita tidak bertambah bahkan mungkin juga menjadi tidak maksimal fungsinya.
Dalam surat tersebut, Allah sendiri juga meyakinkan kita dengan kalimat; fa inna ma’a-l-‘usri yusro, inna ma’a-l-‘usri yusro. Pada setiap kesulitan sudah disiapkan jalan keluarnya. Coba sejenak kita berkaca, ketika kita menghadapi sebuah persoalan kemudian kita mampu menyelesaikannya. Itu bukti bahwa Allah tidak pernah membiarkan kita menderita. Dan jika saat ini kita sedang menghadapi sebuah persoalan, dan kita belum mampu menyelesaikannya, mungkin Allah sedang ingin melihat usaha kita, ingin melihat perjuangan kita. Bisa jadi, jalan keluar yang kita dapatkan nantinya justru dari hal-hal yang tidak kita sangka sebelumnya; min haistu laa yahtasib.