CakNun.com

Sang Mutiara Tasawuf Maiyah

Ungkapan takdzim dan syukur 61 tahun Syeikh Nursamad Kamba
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit

Andaikan kita memandang Maiyah sebagai sebuah orkestra, maka di dalam orkestra itu kita tidak hanya menyaksikan para pemain musik yang piawai memainkan not demi not, sehingga alunan nada kita dengarkan. Yang tidak kita lihat adalah bagaimana partitur nada itu disusun, bahkan naskah partiture pun kita hanya melihatnya dari jauh. Yang kita nikmati adalah hasil dari orkestrasi aransemen sebuah lagu. Itulah Maiyah yang kita rasakan bersama hari ini.

Dalam setiap orkestrasi, tidak boleh ada satupun unsur dari grup orkestra itu tidak telribat. Andaikan ada yang tidak terlibat, maka akan mengurangi keindahan orkestrasi alunan nada yang ditampilkan. Contoh paling nyata adalah KiaiKanjeng. Ketika Pak Is masih ada, betapa kita sangat menikmati setiap nomor-nomor KiaiKanjeng dengan alunan seruling bamboo yang khas dari Pak Is. Ketika akhirnya Pak Is tidak ada, kita kemudian merasa ada sesuatu yang hilang dari KiaiKanjeng. Alhamdulillah, sekarang ada Novan yang menggantikan posisi Pak Is pada seruling. Pada contoh ini, Pak Is adalah Mutiara seruling di KiaiKanjeng.

Jika dulu, pada era Padhangmbulan awal, yang menjadi ciri khas utama Padhangmbulan adalah bahwa Cak Fuad bertugas untuk menyampaikan materi tafsir Al Qur`an secara tekstual, sementara Cak Nun bertugas untuk menyampaikan materi tafsir Al Qur`an secara kontekstual. Melalui konsep ini Padhangmbulan menjadi sebuah forum revolusioner di awal 90’an, lebih tepatnya bahkan forum kajian Islam revolusioner. Dalam sebuah forum, Cak Fuad dan Cak Nun memandu berlangsungnya forum, layaknya konduktor dalam sebuah orkestra, Cak Fuad dan Cak Nun meramu Padhangmbulan menjadi sebuah tarian orkestrasi yang menarik dan diminati oleh banyak orang. Dan orkestra Maiyah hari ini semakin lengkap dengan hadirnya Syeikh Nursamad Kamba, Sang Mutiara Tasawuf Maiyah.

Sudah banyak cerita bagaimana kisah pertemuan Cak Fuad, Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba pada awalnya. Dan ada banyak kisah yang sangat romantis dalam persahabatan beliau bertiga. Yang pasti, Syeikh Nursamad Kamba melengkapi khasanah ilmu di Maiyah dengan ilmu tasawuf yang memang merupakan ekspertasi beliau.

Suatu kali, seorang sahabat menyampaikan kepada saya bahwa Maiyah adalah sebuah gerakan Tarekat. Sempat saya terdiam ketika sahabat saya menyampaikan argumennya itu. Hingga kemudian saya teringat salah satu kalimat Gus Mus tentang Cak Nun; Mursyid tanpa tarekat. Dan kemudian, apa yang dipaparkan oleh Syeikh Kamba di beberapa forum Maiyahan seperti Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Sayafaat dan Kenduri Cinta semakin mempertegas argumen sahabat saya tadi tentang bahwa Maiyah adalah sebuah tarekat. Kalau Maiyah adalah tarekat, lalu siapa Mursyidnya? Kalau masih belum ketemu jawabannya, cobalah secara perlahan dengarkan kembali Shohibu Baity.

Pada setiap kesempatan di Maiyahan, Syeikh Kamba menjelaskan secara akademis bagaimana Maiyah adalah sebuah gerakan tarekat. Mungkin ini bertentangan dengan pendapat banyak orang. Tapi, Syeikh Kamba dengan beberapa poin yang tentu saja merupakan hasil tinjauan akademisnya, karena beliau sendiri juga merupakan seorang dosen Tasawuf, menemukan bukti-bukti bahwa Maiyah adalah gerakan Tarekat.

Simaklah puisi-puisi karya Cak Nun pada seri 99 untuk Tuhanku. Banyak orang yang bahkan tidak bersentuhan dengan Maiyah menganggap bahwa puisi-puisi Cak Nun dalam 99 untuk TUhanku adalah karya-karya sufistik, karya yang bersifat religious yang penuh dengan simbol, metafora dan isyarat-isyarat teologis. 99 puisi itu kemudian dipublikasi ulang, bahkan oleh redaktur Maiyah dibuatkan desain khusus pada setiap puisinya. Untuk apa? Tentu saja selain untuk mengangkat kembali karya-karya Cak Nun, juga untuk semakin mempertegas bahwa Maiyahan itu tidak sama dengan cangkruk, ngopi, begadang sampai pagi, ketawa-ketiwi, haha-hihi semata.

Bagaimana kemudian Syeikh Kamba menjelaskan dalam bahasa akademis bahwa Tuhan itu tidak bisa dikonsepsikan, tidak bisa dipersepsikan, tidak bisa dipikirkan apalagi dibayangkan sesuai dengan imajinasi manusia. Apa yang ada di benak kita tentang Tuhan hakikatnya bukan Tuhan itu sendiri. Mungkin bagi sebagian besar anak-anak Maiyah menganggap penjelasan Syeikh Kamba sangat rumit, terlalu akademis, njlimet. Tetapi sebenarnya, apa yang dijelaskan oleh Syeikh Kamba itu sendiri menjadi khasanah ilmu di Maiyah yang sebenarnya kita sangat membutuhkannya.

Bagi saya sendiri, Syeikh Kamba adalah duta Maiyah di dunia akademis. Selama ini, kita sangat jarang memiliki sosok yang mampu menjelaskan Maiyah di dunia akademisi. Padahal, Maiyah sangat penting dan perlu untuk dinformasikan juga dalam bentuk jurnal, misalnya. Bersyukur kita memiliki Syeikh Kamba di wilayah ini. Tentu saja, kita berharap ada sosok lain yang mampu berperan seperti Syeikh Kamba untuk menjadi duta Maiyah di dunia akademis dan kampus. Bukan dalam rangka mempromosikan Maiyah, tetapi untuk memperkenalkan Maiyah dalam tinjauan akademis. Syeikh Kamba telah melakukannya dalam tinjauan Tasawuf, sementara masih ada banyak jendela dan pintu yang bisa dijadikan pijakan untuk memperkenalkan Maiyah lebih luas lagi.

Dalam sebuah tulisan di caknun.com, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa konsep segitga cinta di Maiyah yang merupakan salah satu pondasi utama dalam dunia tarekat telah mampu dijelaskan dan dijabarkan oleh Cak Nun dan sekaligus diterapkan aplikasinya. Syeikh Kamba menjelaskan bahwa sebab Maiyah sangat terikat oleh cinta adalah karena hubungan yang intim dengan Allah dan Rasulullah tidak mungkin terbangun tanpa ketulusan, keikhlasan dan kemurnian jiwa. Tentu teman-teman masih ingat penjelasan Syeikh Kamba tentang bahwa Maiyah adalah jalan kenabian karena memiliki 5 prinsip nilai kenabian.

Namun demikian, dalam tulisan itu Syeikh Kamba menegaskan bahwa tidak kemudian secara otomatis jika kita bergabung dalam komunitas-komunitas forum atau simpul Maiyah kemudian kita terjamin mampu mengaplikasikan segitiga cinta itu tadi. Syeikh Kamba menjelaskan bahwa dengan adanya forum Maiyahan itulah yang akan menjadi titik-titik air yang menjadi modal awal para salikul Maiyah untuk berproses mi’raj menuju Allah.

Paparan Syeikh Kamba dalam tulisan itu menjadi sebuah peringatan bagi kita bahwa melalui Maiyahan yang sering kita ikuti tidak kemudian dengan mudahnya kita merasa paling Maiyah apalagi merasa paling Islam, merasa paling mengenal Allah, merasa paling paham tentang konsep Tuhan dan lain sebagainya.

Yang pasti, kehadiran Syeikh Kamba di Maiyah adalah anugerah tersendiri yang tidak ternilai. Syeikh Kamba adalah pelengkap khasanah ilmu di Maiyah. Beliau adalah Sang Mutiara Tasawuf Maiyah.

Selamat ulang tahun, Syeikh. Semoga antum sehat selalu dan tidak pernah lelah untuk terus menemani kami. Alfu mabruk, Syeikh!

Lainnya

Exit mobile version