Salut Kepada Militansi Jamaah Sinau Bareng
Satu hal yang saya kira perlu kita catat bahwa untuk kesekian kalinya jamaah dan masyarakat yang menghadiri Sinau Bareng, tadi malam (23/4) di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Kalisabuk Kesugihan Cilacap, menunjukkan militansinya yang patut kita angkat topi untuk mereka.
Menjelang acara, datang hujan cukup deras. KiaiKanjeng lebih awal tiba di panggung. Mbah Nun masih ramah tamah di rumah transit yang berjarak hampir dua kilo dari lokasi acara. Dari tempat yang berada di pinggir jalan raya Cilacap arah Yogyakarta, derasnya hujan itu juga terjadi di sini. Mbah Nun masih berbincang-bincang dengan tuan rumah yakni Kyai Himamudin Ridwan (Kyai Him, panggilan akrabnya) dan keluarga.
Hujan pun belum juga menunjukkan tanda-tanda berhenti, sampai waktu Mbah Nun beserta rombongan tuan rumah bergerak menuju lokasi. Sampai di sana, tampak stan-stan pasar rakyat, yang turut meramaikan rangkaian acara Imtihan Akhirussanah Ponpes Ar-Ridwan ini, menutupi dagangannya, dan tepat di area jamaah, seluruh jamaah sudah padat di depan panggung dan seluas area yang ada. Tak ada celah yang kosong, meskipun hujan membasahi tanah. Yang punya mantel, berdiri pakai mantel. Yang bawa payung, payungan. Yang hanya punya alas plastik, payungan alas plastik tersebut. Tapi, sejauh saya mampu memandang, tak satu pun jengkal tempat yang kosong. Keinginan kuat untuk mengikuti Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng membuat merasa eman membuang kesempatan langka ini.
Mbah Nun sudah sampai di panggung, duduk bersila, didampingi Pak Kyai Him dan sejumlah tokoh masyarakat. Kyai Him kali pertama ambil kesempatan untuk memberikan pengantar, panjang tapi penting karena mengungkapkan sejumlah pemikiran. Mbah Nun menyimak, sembari hatinya nyambung dan menyaksikan daya juang jamaah.
Seusai Pak Kyai Him, Mbah Nun segera memulai, dan kali ini Beliau membuka dengan menggunakan bahasa Arab (sempat-sempatnya menyusun dalam keadaan seperti itu) yang intinya mengajak kepada jamaah jikalau hujan ini datang dari Allah, kita memuji dan bersyukur kepada-Nya. Tetapi, jika misalnya hujan ini karena ada pihak yang melalukan pelanggaran terhadap alam, maka kita memohon perlindungan dari-Nya. Beliau kemudian mengajak lebih jauh kepada jamaah untuk memiliki penyikapan rohaniah: apabila kita mengalami hal-hal yang enak kita perlu beristighfar, sedangkang bila mengalami hal-hal yang kurang enak segera mengucapkan alhamdulillah. Supaya apa? Supaya matang taqwa kita kepada Allah.
Mbah Nun memuji para jamaah bahwa tak ada yang militan selain mereka, dan insyaAllah tak ada yang dicintai Allah selain mereka. Mereka berkumpul tidak sedang mencari kepentingan ‘dunia’, melainkan mencari akhirat. Jika hujan ini adalah ujian, maka itu berarti mereka akan mendapatkan kelulusan, naik derajat, dan akan disambut dengan datangnya rizki, terselesaikannya masalah-masalah yang dihadapi, dan jalan hidup yang lebih terang.
Mereka pun mengafirmasi apa yang disampaikan Mbah Nun. Dan tatkala beliau hendak mewujudkan ajakan bersyukur itu bersama jamaah (yang dibagi ke dalam tiga kelompok) dengan melantunkan nomor Alhamdulillah was syukru lillah, hujan tiba-tiba mereda. Terasa Allah kontan merespons sikap batin yang baru saja diteguhkan oleh Mbah Nun. Sembari membentuk kelompok, Mbah Nun tetap memaparkan penyikapan terhadap situasi yang ada tadi: dengan hujan yang dialami tadi, Allah akan memperkuat sel-sel kita, dan Nabi Muhammad akan terharu melihat kita semua.
Sejauh saya mampu mencatat, sejak reda, sepanjang acara, hujan datang lagi sebanyak dua kali. Dan tampaknya itu mengandung makna. Menurut Mbah Nun, makna pertama adalah ujian atas istiqamah kita sesudah tadi kita ikhlas dan bersyukur. Walaupun sebenarnya Mbah Nun mengatakan “Jane aku yo wis ora tega tenan, dan kalau harus turun ke bawah, aku yo siap.” Tetapi jamaah tentu tidak membiarkan Mbah Nun turun ke tengah-tengah mereka. Ada bahaya juga kalau turun dan mikrofon yang dipegang terkena air hujan. Di situlah yang terpenting, Mbah Nun telah melakukan apa yang seharusnya beliau lakukan, sehingga semuanya baik jamaah dan yang ada di panggung telah memberikan yang terbaik.
Yang kedua, hujan yang ketiga agak di bagian sepertiga akhir acara, bagi Mbah Nun itu adalah pertanda bahwa para jamaah yang hadir ini, terutama anak-anak remaja dan muda, telah disiapkan oleh Allah untuk kelak menjadi qaum yang baru menggantikan qaum lama yang melakukan keingkaran-keingkaran terhadap nilai-nilai Allah. (QS Al-Maidah ayat 54). Kalau kita cermati, penegasan Mbah Nun ini dan semangat membaja pada jamaah Sinau Bareng ini bisa kita baca sebagai respons langsung juga terhadap kegelisahan yang dialami dan dipikirkan oleh Pak Kyai Him. Apa itu? Beliau menggambarkan umat Islam di Jawa, artinya dua komponen: Jawa dan Islam, itu telah dihancurkan dan telah dihilangkan kebanggaannya kepada apa yang telah dimilikinya oleh para penjajah yang pernah mendatangi mereka. Pak Kyai Him, dalam pengantar awal tadi, menisbatkan situasi ini kepada Al-Qur`an surat an-Naml ayat 34.
Apa yang digelisahkan Pak Kyai Him oleh Mbah Nun dijadikan pintu masuk menuju pembahasan-pembahasan dan penggalian ilmu, termasuk ide cerdas Mbah Nun menyelenggarakan kuis yang ternyata diikuti sebanyak 28 orang jamaah, yang apabila tidak dihentikan akan terus bertambah. Kuisnya adalah meminta jamaah menyebut satu ungkapan/rumusan nilai atau kebijaksanaan hidup yang ada dalam khazanah Jawa dan ternyata juga ada di dalam ajaran Islam (baik dari Al-Qur`an dan hadits, atau kebijaksanaan para ulama). Ini untuk memberi contoh mengenai gambaran posisi Jawa terhadap Islam yaitu laksana tumbu ketemu tutup. Para partisipan yang menjawab dengan benar dan kalaulah kurang-kurang tepat tapi mengarah baik dan benar diokein juga, masing-masing diberi hadiah uang. Dari mana? Dipelopori dari Mbah Nun lalu disusul dari Bapak-bapak yang ada di panggung, bahkan beberapa jamaah juga turut andil menyumbang. Kuis berbagi rezeki, berbagi ilmu.
Segmen kuis yang asik ini dalam pandangan saya juga wujud respons lain terhadap kegelisahan Pak Kyai Him. Memang seperti bisa kita lihat dalam sejarah, orang Jawa dan orang Islam telah mengalami penjajahan dan upaya-upaya penghancuran, namun tumbuh kembali adalah juga gelombang yang diam-diam bergerak. Mereka tak sepenuhnya bisa dihancurkan. Jawa dan Islam tidak bisa dihilangkan. Anak-anak muda partisipan kuis tumbu ketemu tutup itu adalah sampelnya. Sinau Bareng di banyak tempat adalah proses memperlihatkan hal-hal yang tak tampak itu, untuk sesuatu di masa depan. Proses dialektis telah berlangsung dalam Sinau Bareng ini antara kegelisahan pemantik dari Kyai Him dan apa yang berlangsung dalam Sinau Bareng tadi malam.
Baiklah, pada tulisan selanjutnya, kita akan coba memetik ilmu dari kuis tersebut, dan muatan-muatan lain dari Sinau Bareng tadi malam. Sementara sampai titik ini, tulisan ini hendak mengapresiasi himmah, istiqamah, dan daya juang mencari ilmu yang diperlihatkan para jamaah semalam. Bertahan tenang dan tetap konsentrasi bersama hujan yang menemani, duduk dan berdiri selama enam setengah jam dari pukul 20.00 WIB hingga 02.30. Keren. Simaklah foto-fotonya. (Helmi Mustofa)