CakNun.com

Sajaroh dan Cinta Saudara Tua

Taufan Andhita Satyadarma
Waktu baca ± 5 menit

Perjalanan Hari Pertama

Sekitar pukul 09.00 WITA, Bapak Camat pun datang menyambangi kami. Beliau adalah Pak Hamzah, salah satu tokoh yang dulu juga setia menemani perjalanan Mbah Nun di Mandar. Bahkan, Pak Hamzah ini menjadi Camat seperti telah mendapatkan do’a karena dahulu Simbah pernah menuturkan pesan bahwa beliau akan menjadi seorang Camat.

Cerita lebih dalam tentang Pak Hamzah mungkin bisa didapat teman-teman dari kami dalam tulisan yang lain. Karena kebetulan, hampir semua yang ada di sini mempunyai minat yang tinggi dalam merekam jejak melalui tulisan. Terus pantau update tentang cerita perjalanan ini dalam hastag #Rihlah.

Pak Aslam kemudian memberi aba-aba kepada kami untuk segera bersiap mengikuti acara maulidan di salah satu daerah Ali Sjahbhana, seorang kawan yang mendatangkan Mbah Nun pertama kali ke tanah Mandar. Pertemuan Pak Ali pertama kali dengan Mbah Nun adalah ketika beliau sedang menjadi seorang pelajar di Yogyakarta.

Kami pun agak kaget ketika mendapat sambutan yang amat teramat hangat oleh warga sekitar. Acara sedang berlangsung ketika kami sampai di masjid. Kesederhanaan acara menjadi kesan pertama, terutama bagi saya. Namun, ketika selesai, acara seketika berubah menjadi meriah. Ibu-ibu langsung menyediakan jamuan untuk kami dengan berbagai hidangan yang sangat istimewa. Yang tak kalah unik, ada sajian untuk kami berupa tongkat kayu yang dihias sedemikian rupa dengan telur matang yang digantungkan di ujungnya.

Mbah Nun yang nandur, kami beruntung. Sangat beruntung mendapatkan pengalaman turut mencicipi bagian dari keberkahannya. Kata-kata yang tertulis pun tentu hanya sedikit mewakilkan keberkahan tersebut. Terlebih, saya yakin jika semua yang di sini memiliki kenangannya sendiri hingga mampu selalu menumbuhkan cinta.

Setelah rehat sebentar, kami diajak lagi oleh Pak Aslam untuk mengunjungi kediaman Pak Abu Bakar. Yang tempatnya hanya di samping kediaman Bu Hijrah, tempat kami singgah di Mandar. Sampai di tempat Pak Abu pun, kami langsung disuruh makan siang. Gilaaa…! Setiap tempat kerabat yang kami singgahi selalu terhidang makanan berat. Sama seperti ketika mengunjungi kerabat di Jawa, kalau belum makan, belum boleh pulang. Jadi, sinergi kekerabatan pun otomatis tertanam di embrio kami dalam sebuah ikatan cinta.

Salah satu cerita yang saya dapat dari Pak Abu ini adalah ketika Pak Abu berada di Makasar dan dikejar oleh anggota keamanan, hingga hampir dipukuli oleh anggota tersebut. Pak Abu sontak hanya berteriak, “Toloong Cak Nun!!”. Dan ajaibnya, Pak Abu entah bagaimana sanggup terbebas dari kepungan anggota dan mampu berlari yang tak masuk akal jika dihitung dengan jarak dan waktu.

Banyak cerita yang kami dapat, tapi waktu menuntun kami kembali ke tempat Bu Hijrah sebelum melanjutkan perjalanan ke makam Syaikh Abdul Mannan. Lagi-lagi kami dipaksa untuk makan lagi, karena hidangan telah disediakan di tempat Bu Hijrah. Jadi agenda hari itu serasa hanya makan terus. Tapi, tak mengapa. Mungkin sekarang kami membuktikan apa yang telah diweling oleh Mas Fahmi agar menyiapkan lambung yang cukup.

Sore itu pun kami berziarah ke makam, setelah itu berkesempatan menikmati sunset di tepi pantai. Ah, perjalanan cinta ini serasa lengkap sudah dengan senja di pantai Mandar. Setelah mandi sore, kami diajak makan ke Sop Saudara. Mantab bener, sampai berasa mabuk lambungnya.

Agenda terakhir hari pertama adalah yasinan di tempat Pak Abu, di sini kami berkesempatan bertemu dengan sesepuh-sesepuh Teater Flamboyan. Salah satunya Pak Amru, mungkin dalam kesempatan selanjutnya ada cerita lain lagi khusus dari apa yang didapat dari sesepuh-sesepuh yang telah disebut namanya. Dan nilai yang saya ambil malam hari ini adalah tentang salah satu sesepuh, Pak Munuk, tentang salah seorang wali yang bermimpi bertemu Rasulullah dan ditanya, tahukah tentang kewaliannya? Wali itu menjawab, “Tidak”. Lalu Kanjeng Nabi menyampaikan ada 3 hal yang menjadikanmu seorang wali, kecintaan dan pengabdian kepada orang sholih, rasa cinta kepada saudara, dan pengabdian kepada sahabat-sahabat. Sementara, saya cukup kan dulu cerita saya tentang rihlah di tanah Mandar kali ini.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version