CakNun.com

Sajaroh dan Cinta Saudara Tua

Taufan Andhita Satyadarma
Waktu baca ± 5 menit

Di waktu sepertiga malam terakhir kami tiba, sapaan hangat menyambut kami dengan begitu ramahnya. Meski baru pertama kali berjumpa, suasana kekeluargaan terasa sangat menenangkan qalbu. Ya, seperti kata Mas Akbar, bahwa perjalanan ke Mandar ini serasa pulang ke rumah.

Meski perjalanan seharusnya mengakibatkan kelelahan, akan tetapi di sini energi seperti dilipatgandakan. Karena begitu sampai, justru kita melingkar menuntaskan rindu dengan berbincang-bincang sejenak di beranda rumah Bu Hijrah. Sebagian dari kami bertahan hingga fajar menjulang, sebagian lagi memutuskan rebahan mengistirahatkan tubuh.

Sekitar pukul 08.00 waktu setempat, tempat kami sudah didatangi oleh Pak Aslam dan Pak Tamalele. Beliau adalah salah satu rekan Mbah Nun yang berada di Mandar. Khusus Abah Tamalele, beliau sampai mendapat julukan tentara langitnya Mbah Nun. Banyak sekali cerita yang kami dapat tentang perjuangan, kenikmatan, laku hidup, bahkan sampai pencekalan.

Sembari menikmati makan pagi yang telah disediakan, tentu kami tidak menyia-nyiakan waktu begitu saja untuk sebisa mungkin dapat mengambil nilai dari beliau-beliau. Salah satu pertanyaan terbesit dari Cak Sutar, adalah tentang bagaimana untuk belajar tenang dalam kehidupan dan bagaimana caranya menghayati kehidupan itu sendiri. Abah Tamalele memberikan jawaban agar kita belajar terlebih dahulu mengenali dan menghargai 4 unsur alam yang membentuk manusia. Karena menurut Abah, manusia jarang menyadari bahwa keempat unsur tersebut juga memiliki ruh yang setidaknya juga mesti kita kirim Al-Fatihah kepadanya.

Kemudian beliau juga berpesan, agar kita mesti belajar dari kehidupan ikan, terutama ikan laut. Ikan itu sendiri ketika mereka mencari makan atau penghidupan mesti melawan arus, kecuali mati. Manusia apakah sanggup untuk melawan arus seperti yang ada di zaman sekarang ini? Kecuali mereka yang sanggup dengan resiko keterasingan. Sementara ikan laut, mereka sanggup hidup di lautan yang asin, makanan mereka juga didapat dari tempat yang asin. Akan tetapi, apakah ikan laut pasti dirinya asin? Tentu tidak, di saat seharusnya ikan laut tersebut juga ikut asin.

Kita mesti banyak belajar memahami akal, seperti ikan-ikan tadi yang melayang di samudera nalar. Abah mengingatkan kita untuk terus berpikir. Setidaknya sampai tatafakkarun. “Akal tidak mempunyai pemukiman, berbeda dengan otak dan hati.” Kata Abah Tamalele. Dan ini sangat berhubungan dengan kesehatan tubuh. Jangan sampai jasmani menguasai rohani, kita akan mudah sakit. Tapi kalau rohani menguasai jasmani, anda ‘sehat’.

Pertanyaan-pertanyaan pun terus mengalir, antara penasaran atau proses pendekatan atas sebuah cinta yang telah terjalin mesra. Rasa ingin tahu terus menggelitik segala perjalanan yang pernah terjadi. Beruntung, Abah memberi jawaban kepada kami sangat penuh dengan kasih sayang layaknya seorang bapak kepada anak.

Abah Tamalele ini orang yang sangat spesial. Beliau mengaku tidak memiliki pekerjaan, tetapi sering mendapat undangan pada acara-acara besar, baik itu yang berhubungan dengan agenda acara pendidikan maupun pemerintahan. Salah satu dari kami pun bertanya, “Tapi Abah mampu menyekolahkan anak bahkan sampai kuliah, itu bagaimana?” Abah pun dengan sahaja dan sederhana hanya menyampaikan, bahwa manusia yang paling kaya di muka bumi adalah orang yang ikhlas.

Tentu pemikiran-pemikiran seperti ini sudah hilang di generasi milenial. Bagaimana mereka hidup seperti terkekang oleh masa depan yang selalu menghantui. Bahkan, mereka mengimani Tuhan tapi tidak percaya akan jaminan masa depan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Peradaban serasa begitu sangat rumit jika kita tidak sadar telah menomorduakan Sang Hayyu. Padahal, segala peradaban di muka bumi itu sendiri menurut Abah sajaroh-nya ada/tercipta, hanya sebatas sebagai akibat dari interaksi antara Adam dan sebuah Pohon.

“Kemerdekaan yang hakiki itu tidak mengambil hak orang”, lanjut Abah. Sekiranya ini merupakan indikasi bahwa segala sesuatu itu telah memiliki takarannya masing-masing tergantung usahanya. Manusia itu kan makhluk genetika, sementara genetika itu sendiri memiliki 2 jenis. Biologis dan ilahiah. Genetika ilahiah di sini yang dimaksud adalah 4 unsur alam yang telah disebutkan tadi. Jadi, pesan Abah adalah jangan menganggap 4 unsur itu LAWAN.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik