Sabbaha Lillahi Ma Fis Samawati wal Ardl
Barangkali teman-teman sempat mengingat atau mencermati pada saat mengantarkan suatu nomor shalawat atau lagu yang dibawakan KiaiKanjeng dalam Sinau Bareng, Mbah Nun menguraikan posisi seperangkat alat musik KiaiKanjeng seperti gamelan, bonang, dan lain-lain. Di situ diterangkan bahwa manusia perlu mengajak benda-benda ini untuk bersama-sama dalam kebaikan. Diajak mlebu suwarga bareng. Begitu kadang beliau menyebut.
Apakah alat-alat atau benda-benda itu adalah sama posisinya dengan manusia yang punya konteks masuk neraka atau surga sebagai konsekuensi atas perbuatannya? Bukankah benda-benda itu adalah benda mati dan makhluk berakal yang terbebani dan dituntut tanggung jawab? Tentu jawabnya adalah tidak.
Di dalam mengemukakan “diajak mlebu suwarga” itu, Mbah Nun biasanya seraya mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi sabbaha lillahi ma fis samawati wal ardl wa huwal ‘azizul hakim (Apa-apa yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, Allah maha perkasa dan bijaksana). Ayat ini ada pada pembukaaan (ayat pertama) surat al-Hadid (surat ke-57). al-Hadid artinya Besi. Ayat-ayat yang serupa juga dapat dijumpai di beberapa surat lain.
Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah bagaimanakah cara apa-apa yang ada di langit dan bumi bertasbih atau memahasucikan Allah. Ayat tersebut menggunakan kata “ma” yang mengisyaratkan apa saja (di luar manusia) yang berada di lingkup langit dan bumi itu bertasbih. Tetapi bagaimana kaifiyah-nya tidak ada penjelasan lebih lanjut. Sebagian memahami bahwa bentuk tasbihnya adalah ketundukkannya pada hukum alam atau sunnatullah yang telah ditetapkan Allah atas mereka.
Pernyataan Allah bahwa apa-apa yang ada di langit dan bumi itu bertasbih kepada-Nya sangat masuk akal untuk dipahami karena memang Allahlah pencipta segala sesuatu sehingga wajar dan telah semestinya bahwa ciptaan-ciptaan-Nya tunduk kepada-Nya dan bertasbih pula kepadanya, namun kita tak punya kemampuan atau akses untuk melihat sejatinya cara bertasbih itu.
Menarik bahwa ayat ini dipakai oleh Mbah Nun di situ. Terlihat bahwa ayat sabbaha ini tidak sedang ditafsirkan secara linier-kognitif, melainkan ayat ini mengantarkan Mbah Nun pada suatu suasana tertentu yaitu semua apa yang ada di langit dan bumi bertasbih menimbulkan dorongan bahwa apa saja hendaknya diorientasikan kepada bertasbih kepada Allah. Sebab, demikianlah natur keseharusan ciptaan-Nya.
Bertasbih kepada-Nya dirasakan oleh Mbah Nun sebagai isyarat melakukan kebajikan, berbuat kebaikan. Maka, setiap orang dalam memperlakukan dan mendayagunakan apa-apa tadi hendaknya digunakan untuk kebaikan. Alat-alat musik digunakan untuk mendukung kebaikan, menciptakan kegembiraan, berdzikir atau mengingat-Nya, mendekatkan orang bersilaturahmi dan belajar bersama.
Dengan cara itu, setiap apa saja diorientasikan penggunaan dan eksplorasinya untuk hal-hal yang baik dan mashlahat. Ayat itu menjadi panduan manusisa dalam menyentuh dan memanfaatkan apa-apa yang diciptakan Allah yang hampir semuanya merupakan anugerah fasilitas bagi manusia.
Ayat itu di hadapan Mbah Nun tidak dibawa pada persoalan mencari tahu bagaimana cara apa-apa yang diciptakan Allah itu bertasbih kepada-Nya tetapi secara naluriah-praktis dirasakan sebagai petunjuk bagi manusia dalam memanfaatkan anugerah apa-apa dari Allah. Tidak saja kemudian orientasinya adalah kemanfaatan dan kemaslatan, namun adalah dorongan untuk kreatif, untuk mencipta sesuatu dari apa-apa itu menjadi karya-karya yang baik.
Dalam bahasa yang kerap Mbah Nun gunakan, itulah ranah di mana manusia bertugas melakukan transformasi dari rahmat menjadi berkah. Sehingga, apa saja yang dilakukan manusia menjadi karya yang baik, manfaat, dan berkah sejatinya akan membentuk gerak bersama bertasbih kepada-Nya. Terutama justru tasbihnya manusia, sebab alam atau apa-apa yang dicipta-Nya sudah secara otomatis bertasbih kepada-Nya.
Dari ayat sabbaha tadi, Mbah Nun seakan mewejang kepada kita: kalau apa-apa yang ada di langit dan bumi saja bertasbih, maka tidak seharusnya dalam kita memanfaatkannya justru bergerak mengingkari natur tasbih tersebut. Tidak pantas kita menyentuh apa-apa itu tidak dalam kerangka tasbih kepada Allah. Manusia harus bertasbih kepada-Nya, dan dalam konteks memanfaatkan anugerah, kebutuhan akan bertasbih itu makin tinggi, terutama karena hakikat apa-apa yang diciptakan Allah adalah bertasbih kepada-Nya.
Ditempatkan dalam ulumul Qur’an, cara Mbah Nun menghayati ayat sabbaha di atas kiranya merupakan satu sumbangan penting dalam memahami dan memaknai ayat 1 surat al-Hadid (57) dan ayat yang serupa. Al-Hadid sendiri berarti besi dan ayat yang membuka surat “besi” ini adalah sabbaha lillahi ma fis samawati wa al ardl, dan gamelan KiaiKanjeng juga terbuat dari besi, dan Mbah Nun menempatkan besi-besi KiaiKanjeng dan peranti-peranti lain dalam kerangka bertasbih kepada-Nya. Demikianlah salah satu butir living Qur’an dari Mbah Nun dan KiaiKanjeng.