Riyadloh Gondelan Jubahe Kanjeng Nabi


Sejak siang, langit di seputaran Gresik digelayuti awan. Makin sore makin gelap saja. Di sebagian wilayah, beberapa kawan mengabarkan sedang turun hujan. Deras bahkan. Tidak begitu mengejutkan memang. Gresik telah memasuki musim rendeng (penghujan). Senin 16 Desember 2019 diperkirakan hujan mengguyur Gresik dengan intensitas sedang. Bagaimana situasi wilayah Kecamatan Bungah, di mana Sinau Bareng Gus Mus, Cak Nun, dan KiaiKanjeng digelar?
Selepas isya’, gerimis sejenak menyapa, tepat setelah dulur-dulur ISHARI mengumandangkan sholawat indal qiyam bersama ribuan jamaah yang terus memadati Lapangan HSS – Bungah. Plastik yang semula berfungsi sebagai alas duduk, seketika diangkat menjadi payung darurat. Ribuan hati itu teguh bersetia menanti rawuhnya dua orang guru bangsa; Gus Mus dan Mbah Nun. Ribuan jiwa yang lain sedang menyemuti Jalan Raya Daendels, antri memasuki lokasi acara.
Medley shalawat dihantarkan KiaiKanjeng sebagai pembuka acara. Puluhan ribu jamaah larut dalam gelombang cinta kepada junjungan mulia. Selaras dengan tema acara yang digagas panitia, malam ini muatan utama adalah memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw.
Sebelum menyelami butiran-butiran ilmu lebih lanjut, sebagai awalan Mas Sabrang memberikan semacam warming up untuk jamaah. Melalui simulasi singkat didapati data; dari seluruh jamaah yang makanan pokoknya adalah nasi, hanya sepertiganya yang menanam padi. Tidak semua orang menanam padi, tapi hampir semua orang makan nasi. Tidak semua orang menanam mangga, tapi nyari seluruhnya doyan makan mangga.
Sebuah narasi berpikir sedang dibekalkan Mas Sabrang menuju pemahaman akan urgensi Sinau Bareng. Tidak ada satu pun orang yang pandai tentang semua hal. Maka diperlukan proses Sinau Bareng. Saling berbagi apa yang kita ahli, saling memberi manfaat.
Dalam tradisi sinau bareng ‘ala Maiyah, semua pihak adalah subjek pembelajar, yang proaktif belajar sekaligus yang patut didengar dan dijadikan sumber belajar. Hal itu pula yang diterapkan malam ini. Mas Sabrang meminta sebagian jamaah menjadi relawan naik ke panggung, dan membagi diri menjadi 3 kelompok.
Pertama adalah kelompok bagi mereka yang selama ini menempuh pendidikan — yang biasa disebut — umum. Kedua adalah kelompok penempuh “pendidikan agama”. Yang ketiga adalah kelompok yang membebaskan diri dari kategorisasi kedua model pendidikan tadi.
Masing-masing kelompok — yang namanya ditentukan secara mandiri oleh anggotanya; Sunan Kalijaga, Umat Muhammad, Masyarakat Karangkadempel — diberi tugas untuk mendiskusikan dan merumuskan minimal lima hal yang bisa dipelajari dan diteladani dari Kanjeng Nabi dalam menjalankan peran di skala individual, keluarga, dan masyarakat atau negara.
Senyampang para relawan memulai diskusi internalnya, KiaiKanjeng mengajak jamaah menyenandungkan sholawat Nariyah bersama, sebelum kemudian menyimak tausiyah dari Gus Mus.
“Kalau sampeyan membaca Al Qurán dari Surat Al Faatihah hingga An-Naas, akan sampeyan dapati hanya ada 2 tempat yang menjadi jujugan kita kelak; surga dan neraka. Surga diperuntukkan bagi orang yang bertaqwa. Siapakah orang yang bertaqwa itu?”, Gus Mus mengawali dengan mendedah makna taqwa. Menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya adalah syarat mutlak dari predikat taqwa. Gus Mus menegaskan, “semua perintah lho ya…semua! Tidak sekadar sebagian!”

Lewat contoh-contoh kecil dan detail, jamaah diajak menyadari betapa masih banyak perintah yang terabaikan, dan masih berlimpah larangan yang dilakukan. Maka tidak mungkin kita bisa njujug surga hanya dengan mengandalkan diri sendiri. “Lantas strateginya gimana? Seperti yang diajarkan Cak Nun di Maiyah itulah rumusnya; ayo kita Gondelan Jubahe Kanjeng Nabi,” tegas Gus Mus.
Beliau lalu menganjurkan jamaah agar tak lupa mensyukuri nikmat terbesar yang Allah anugerahkan. Yakni menjadi umat Nabi Muhammad Saw. Sejarah mencatat tak sedikit orang yang memilih tak beriman pada Nabi padahal hidup berdekatan dan sezaman dengan beliau. Tak hanya ingkar, mereka bahkan melancarkan perlawanan untuk menghentikan dakwah Nabi.
Maka orang zaman sekarang, yang hidupnya terbentang jarak ruang dan waktu yang sangat jauh dari Nabi, tapi memilih untuk beriman pada beliau, adalah orang yang beruntung. Itulah karunia terbesar dari Allah yang dengan hak prerogratif-Nya telah melimpahkan hidayah pada jamaah sinau bareng malam ini, menjadi termasuk golongan yang beriman pada Nabi. Bersyukur atasnya adalah keniscayaan.
Dalam uraiannya, Gus Mus mencermati sekaligus menyelipkan kritik atas sebagian corak dakwah para da’i di zaman akhir ini. Menurut beliau, acapkali didapati para khatib lebih doyan berwasiat kepada umat agar “ittaqulloha haqqo tuqootih” (bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa) ketimbang “ittaqulloha mastatho’tum” (bertakwalah pada Allah semampu kalian).
Wajah dakwah yang tegang dan kurang ramah beliau soroti. “Dakwah yang dicontohkan Kanjeng Nabi adalah berpijak pada kesadaran da’a, yakni mengajak. Tentu dengan diawali teladan,” tandas Gus Mus.
Di bagian akhir tausiyahnya, Gus Mus menggambarkan betapa sebagai seorang imam dan pemimpin masyarakat, Kanjeng Nabi menunjukkan diri sebagai orang yang paling paham pada kondisi umat. Hingga soal panjang pendek bacaan dan durasi gerakan shalat pun, Kanjeng Nabi memiliki concern betul. “Kualitas takwamu tidak ditentukan hanya oleh panjang pendeknya sujudmu, tapi seperti apa akhlakmu pada sesama,” tegasnya.