CakNun.com

Rihlah ke Tanah Mandar

Pengantar Perjalanan Rindu dan Cinta ke Mandar, 21-24 November 2019
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 3 menit

Mandar memang memiliki tempat yang istimewa di hati Cak Nun. Ada banyak cerita yang dikisahkan Cak Nun mengenai Mandar. Adalah Alm. Alisjahbana, seorang pemuda asal Tinambung yang kemudian mengenal sosok Cak Nun ketika ia masih kuliah di Yogyakarta. Bang Ali, begitu para pemuda Tinambung memanggilnya, kemudian memperkenalkan sosok Cak Nun kepada para pemuda di Tinambung melalui tulisan-tulisan Cak Nun.

Syahdan, malam-malam pemuda di Tinambung yang sebelumnya hanya dihabiskan dengan kegiatan yang menganggu masyarakat, Alisjahbana perlahan mengubah tabiat pemuda-pemuda di Tinambung. Melalui diskusi dari tulisan-tulisan Cak Nun yang ia perbanyak, kemudian menjadi bahan diskusi di malam hari, hingga subuh menjelang.

Malam demi malam mereka lalui. Sosok Cak Nun hanya mereka kenal lewat foto yang hanya bisa mereka lihat dari kertas foto copy sebuah tulisan Cak Nun di sebuah surat kabar. Hingga akhirnya mereka sangat penasaran, siapa sebenarnya Cak Nun ini? Seorang tokoh besar kah ia? Seorang Imam Besar kah ia? Seperti Imam Lapeo?

Suatu hari, setelah berhasil mengumpulkan sejumlah uang, Cak Nun berhasil mereka datangkan dari tanah Jawa menuju Mandar. Saat itu, Mandar belum terpisah dari Provinsi Sulawesi Selatan, dulu dikenal dengan daerah Polewali Mamasa. Ketika Provinsi Sulawesi Barat sedang dalam proses kelahirannya, Cak Nun adalah salah satu orang yang berjasa yang membuka pintu mediasi tokoh-tokoh Mandar untuk bertemu dengan Presiden Gus Dur.

Setelah sebelumnya para pemuda di Tinambung itu hanya mengenal Cak Nun dari secarik kertas, akhirnya Cak Nun datang juga ke tanah Mandar pada tahun 1987. Sebuah tulisan bahkan secara khusus ditulis Cak Nun. Tulisan yang berjudul “Hujan Menangis” itu menceritakan singkat kedatangan Cak Nun pertama kali di Tinambung.

Seperti pernah ditulis oleh Pak Hamzah Ismail, seorang sesepuh Teater Flamboyant, Cak Nun tidak pernah menyebut kata “tidak” bagi orang Mandar. Pak H. Nurdin Hamma, seorang tokoh Muhammadiyah di Mandar sampai-sampai menyebut bahwa Cak Nun adalah orang Mandar yang lahir di Jombang.

Pada Mocopat Syafaat edisi Oktober lalu, Cak Nun menyampaikan bahwa di bulan November ini beberapa penggiat Simpul Maiyah akan datang ke Mandar untuk bersilaturahmi dengan para sesepuh Teater Flamboyant dan juga penggiat Simpul Maiyah Papperandang Ate. Disampaikan, Papperandang Ate adalah salah satu seniornya Simpul Maiyah yang ada saat ini. Bisa dikatakan, setelah Padhangmbulan, salah satu forum yang lahir pada medio 1998 adalah Papperandang Ate. Maka, penggiat Simpul Maiyah yang ada saat ini perlu belajar banyak kepada Papperandang Ate.

Cak Nun berharap, melalui perjalanan kali ini, semua penggiat Simpul Maiyah yang berangkat ke Mandar dapat berbagi pengalaman, knowledge sharing, sambung silaturahmi dengan saudara-saudara tua Papperandang Ate. Ikatan tali persaudaraan dengan Papperandang Ate dan juga Teater Flamboyant jangan sampai putus dan harus selalu diperkuat melalui momen-momen seperti Rihlah ke Tanah Mandar kali ini.

Maka kemudian Koordinator Simpul segera menyusun langkah-langkah untuk mempersiapkan rencana Rihlah ke Tanah Mandar ini. Setelah pada awal November 2019 lalu Koordinator Simpul menyebarkan edaran ke seluruh Simpul Maiyah, akhirnya terkumpullah sebanyak 16 peserta yang hari ini akan berangkat menuju Mandar.

Bersama saya; Fahmi Agustian (Kenduri Cinta) dan juga Rizky Dwi Rahmawan (Juguran Syafaat) yang kebetulan kami adalah Koordinator Simpul Maiyah, sebanyak 14 peserta perwakilan dari Simpul Maiyah akan mengikuti perjalanan selama 5 hari 4 malam di bumi Celebes ini. Mereka adalah: M. Yunan Setiawan (Gambang Syafaat), Salim Riyadi a.k.a Wakijo (Gambang Syafaat), Hilmy Nugraha (Juguran Syafaat), Mashita Charisma Dewi Eliyas (Bangbang Wetan), M. Ali Yasin (Bangbang Wetan), Amin Nurun Rahmat (Bangbang Wetan), Prayogi Saputra (Relegi), Zuhud Urip Suhud (Saba Maiyah), Akbar (Saba Maiyah), Roni Yansah (Dualapanan Lampung), Taufan Andhita Satyadarma (Maneges Qudroh), Sutarwadi (Paseban Majapahit), Suhartono (Masy’ar Mahamanikam Samarinda), dan Teguh Setiawan (Masy’ar Mahamanikam Samarinda).

14 peserta dari Jawa akan bertolak menuju Makassar dengan menggunakan pesawat terbang dari 3 Bandara; Yogyakarta (Adi Sutjipto), Surabaya (Juanda) dan Jakarta (Soekarno Hatta). Sementara 2 peserta dari Samarinda akan menggunakan kapal laut untuk menuju Parepare. Kemudian, seluruh peserta akan melanjutkan perjalanan darat menuju Tinambung.

Untuk memperlancar perjalanan ini, Koordinator Simpul Maiyah dalam sebulan terakhir intens berkoordinasi dengan Mas Aslam dan Mas Abed, serta Pak Hamzah Ismail. Beliau bertiga yang kemudian mengatur persiapan panitia lokal di Tinambung untuk mejemput seluruh peserta di Makassar dan Parepare, kemudian menyambut dengan hangat di tanah Mandar tentunya.

Bagi saya dan Rizky, perjalanan ke Mandar ini adalah yang kedua kalinya, setelah pada Februari 2019 lalu kami bersama kakak-kakak Letto juga telah menginjakkan kaki di sana. Saat itu juga bertepatan dengan tasyakuran 21 tahun perjalanan Papperandang Ate.

Untuk itu, kami mohon doa restu dari seluruh teman-teman Jamaah Maiyah, semoga perjalanan Rihlah ke Tanah Mandar kali ini berjalan lancar, semua rencana yang sudah kami susun dapat terlaksana dengan baik, dan yang paling utama adalah bahwa perjalanan kami ini juga dalam rangka mempererat tali silaturahmi kita semua dengan saudara-saudara tua kita di Papperandang Ate.

Tentu saja, cerita-cerita dari Tinambung akan kami laporkan dalam beberapa hari ke depan. Terus pantau perjalanan #RihlahMandar kali ini melalui akun media sosial resmi @maiyahan ya!

Lainnya

Sunda Mengasuh___

Sudah sejak pukul 18.00 penggiat Jamparing Asih berkumpul di gedung RRI.

Jamparing Asih
Jamparing Asih

Topik