Refleksi Maiyahan: Generasi yang Dicintai Allah dan Mencintai Allah
Seringkali Mbah Nun menyampaikan bahwa hidayah Allah itu selalu datang. Yang menjadi persoalan adalah hardware dan software dalam diri kita ini apakah selalu kita update sehingga mampu menerima hidayah dari Allah itu atau tidak? Kalau kita menggunakan logika aplikasi yang selalu kita pakai di gadget kita, hampir setiap hari developer aplikasi melakukan development, update coding, removing bug dan lain sebagainya, setiap hari selalu diperbaiki, pada hitungan waktu tertentu, user diminta untuk update. Jika tidak, maka aplikasi tidak maksimal fungsinya. Kalau kita memakai logika ini, maka begitu juga dengan hidayah Allah. Kalau kita sendiri tidak melakukan update pada komponen-komponen yang ada dalam diri kita, maka kita tidak akan mampu mengakses file yang dikirim oleh Allah kepada kita.
Dalam pandangan pribadi saya, konsep Sinau Bareng adalah bukan hanya membongkar cara berpikir, tetapi juga mengaktivasi bahasa pemrograman yang sebenarnya sudah ditanam oleh Allah dalam diri kita. Caranya bermacam-macam. Syeikh Kamba misalnya, membongkar cara berpikir kita untuk memahami substansi Agama melalui ilmu Tasawuf. Mbah Fuad, melalui kemampuan bahasa arabnya, membuka pintu tafsir sekaligus tadabbur dari Al Qur`an. Mbah Nun mampu mengajak kita untuk menjelajah cakrawala ilmu yang luas dari hal yang kecil. Belum lagi jika kita mendengar Mas Sabrang, Mas Ian L Bets, Kyai Muzammil, Mas Tanto Mendut dan yang lainnya, masing-masing memiliki caranya untuk mengajak kita mengaktivasi apa yang sebenarnya sudah tertanam dalam diri kita.
Andaikan kita tetap kekeuh bahwa Mbah Nun adalah sosok yang vital di Maiyah, saya menyarankan apa yang disampaikan oleh Mbah Nun untuk dijadikan pijakan. Di Kenduri Cinta edisi Agustus 2019, Mbah Nun menyampaikan bahwa apa yang membuat kita berkumpul di Maiyahan itu adalah atas hidayah Allah, atas hidayah itu kemudian Allah berkehendak untuk memberikan akses ilmu kepada kita melalui Mbah Nun. Atas dasar apa? Atas dasar karena kita memiliki modal cinta dan kasih sayang satu sama lain. Dari sini saya bisa menyimpulkan, kalau kita tidak memiliki modal cinta dan kasih sayang satu sama lain, maka kita juga tidak akan ikhlas dan lega hati, setelahnya kita juga tidak akan mungkin betah berlama-lama di Maiyahan. Jika kita sudah solid untuk berdiri di pijakan ini, di situlah kita menemukan fakta bahwa memang ada rencana dan skenario yang sedang dijalankan oleh Allah.
Berapa kali kita mendengarkan Mbah Fuad, Syeikh Kamba, Kyai Muzammil hingga Mas Sabrang mengulas pantikan Mbah Nun dari Al Maidah: 54. Satu kalimat yang cukup mendasar dari ayat tersebut; ya’tillahu biqoumin yuhibbuhum wa yuhibbuunahu. Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencinta-Nya.
Dari khasanah ilmu yang disampaikan oleh narasumber di Maiyahan, saya kira tidak terlalu berlebihan jika orang Maiyah adalah kaum yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Saya tidak berbicara soal skala, karena jangankan di dunia, di Indonesia saja Maiyah sampai hari ini masih tidak dianggap. Entah memang disembunyikan atau memang ada yang sengaja menyembunyikan.
Kalau kita tidak mencintai Allah, untuk apa kita datang ke Maiyahan? Kita bisa berdiskusi lebih panjang soal bagaimana kita masing-masing bisa sampai pada titik; “kita datang ke Maiyah karena kita mencintai Allah”, tetapi pada faktanya, disadari atau tidak, kita saat ini setia kepada Maiyah, kita mau mengikatkan diri dengan Maiyah, karena atas dasar kita mencintai Allah.
Di tengah situasi dan kondisi kita di Indonesia yang semakin tidak karuan ini, maka, seharusnya kita harus menemukan jawaban dari pertanyaan selanjutnya; kenapa kita dipertemukan dengan Maiyah? Ada apa sebenarnya sehingga kita diperjalankan oleh Allah untuk berada di dalam lingkaran Maiyah ini? Dan kemudian, akan bagaimana kelak setelah Allah membikin ini semua?
(Bersambung)