Refleksi Maiyahan: Generasi yang Dicintai Allah dan Mencintai Allah
Dengan konstelasi politik dan budaya yang ada di Jakarta, Taman Ismail Marzuki menjadi tempat strategis baik secara geografis juga secara kultural. Jika kita menggunakan kacamata mainstream, tenda dan panggung Kenduri Cinta yang mungil itu jelas tidak layak untuk digunakan sebagai panggung acara yang berskala nasional seperti Kenduri Cinta.
Apakah berlebihan mengatakan bahwa Kenduri Cinta adalah forum dengan skala nasional? Tentu saja tidak. Seperti halnya Padhangmbulan, forum Maiyahan rutin bulanan ini bukan hanya berskala lokal. Kalau parameternya adalah siapa yang hadir di forum, sudah cukup jelas Mbah Nun adalah tokoh nasional. Belum lagi, tidak jarang beberapa tokoh nasional juga pernah hadir di forum-forum Maiyahan. Pada satu titik, kehadiran tokoh nasional memang menjadi daya tarik tersendiri.
Tetapi, bagi mereka yang memang sudah mengikatkan diri di Maiyah, siapapun yang hadir bukan jadi persoalan. Mau bukti? Sepanjang bulan Septmber, Mbah Nun tidak hadir di Maiyahan rutin di 5 induk Simpul Maiyah. Baik itu Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta dan Bangbang Wetan. Terlepas bahwa memang jadwal Mbah Nun dan KiaiKanjeng sangat padat dalam 3 bulan terakhir, tetapi fakta yang terjadi di lapangan adalah orang-orang tetap hadir dan tetap khusyuk menikmati sinau bareng.
Dan karena mereka sudah ikhlas, lega hatinya, maka mereka mendapatkan kejutan-kejutan yang tidak mereka sangka sebelumnya. Silakan melihat ke belakang, dalam satu bulan September bagaimana geliat Simpul Maiyah menyelenggarakan sinau bareng. Apa yang disampaikan oleh Syeikh Kamba bahwa Maiyah memiliki salah satu syarat jalan kenabian yaitu kemandirian sudah terbukti. Dan ketika 5 simpul induk membuktikan kemandiriannya, maka simpul-simpul yang lebih muda apalagi yang baru saja berproses 2-3 tahun terakhir secara otomatis mengikuti ritmenya.
Dari ribuan orang yang datang ke Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng, sebagian dari mereka setelah pulang dari Maiyahan, ada yang kembali ke Simpul Maiyahnya, atau mungkin juga membawa bekal dari Sinau Bareng itu untuk menjadi bahan diskusi di warung kopi bersama teman-teman tongkrongannya.
Dan pertanyaan besar yang selalu muncul adalah; apa yang membuat mereka bertahan, duduk berjam-jam, khusyuk, taat, gembira bahkan selalu merasa tidak ingin segera disudahi? Maiyah sendiri bukan organisasi, tidak memberi jaminan apa-apa kepada mereka yang datang, tidak menawarkan apa-apa, justru mereka datang ke Maiyahan oleh Mbah Nun diajak untuk berpikir. Dan mereka datang ke Maiyahan bukan hanya ikhlas dan lega hatinya, bahkan sangat bersemangat dan serius.
Ketika mereka mengetahui ada Maiyahan, mereka menandai kalender mereka, seolah-olah itulah hari raya yang harus mereka rayakan. Layaknya merayakan hari raya, semua hal mereka persiapkan dengan serius. Bukan hanya penampilan, mereka juga membawa bekal, kemudian janjian dengan sesama teman Maiyahan, sampai memilih lokasi duduk yang jenak, tidak sedikit yang membawa buku tulis kemudian mencatat poin-poin yang disampaikan Mbah Nun atau narasumber lainnya, yang tidak terbiasa menulis mereka akan melakukan live tweet. Kurang serius apa mereka?
Kalau jawabannya adalah semua itu karena Mbah Nun, pernyataan itu akan sangat mudah dibantah. Karena jika ada orang Maiyah yang masih menjadikan kehadiran Mbah Nun sebagai alasan utama mereka datang ke Maiyahan, tidak akan lama ia betah di Maiyahan. Tetapi, jika kita mampu menangkap substansi dari konsep Sinau Bareng, di situlah kita akan menemukan jawabannya.