Rasa Malu Berpakaian Idul Fitri


Idul Fitri hampir 100 persen merupakan konsep dan keputusan kemurahan Allah atas ketidakberdayaan ummat manusia hamba sahaya-Nya di hadapan ide dan formula Idul Fitri.
Allah Swt sangat menghormati dan memuliakan manusia ‘ahsanu taqwim’-Nya dengan memberi mereka legitimasi dengan semacam sertifikasi tahunan “Telah Kembali Sejati” — suatu tahap kualitas rohaniah yang sebenarnya amat sangat jarang dicapai oleh kebanyakan manusia.
Karena Allah Maha Rahman dan Maha Rahim, Maha Pecinta Yang Maha Menyayangi makhluk manusia yang diunggulkan-Nya, maka dikenakan pada mereka pakaian mewah Idul Fitri. Allah amat sangat merayakan cinta-Nya kepada manusia, selalu menghiburnya, sangat bersabar dan mengalah, amat arif bijaksana dan Maha Memaklumi sampai batas waktu tertentu.
Padahal sejatinya kalau menyaksikan, mendalami, meluasi, menghayati dan menilai sekian abad kehidupan ummat manusia sejak Baginda Nabi Adam kakek moyang cikal bakal mereka—sangatlah banyak ketidakpantasan pada manusia untuk dikostumi kemewahan Idul Fitri.
Premis dasar pernyataan ini adalah fakta ketidak-tahu-dirian manusia yang sangat melewati batas terhadap peran dan jasa-jasa Allah Swt kepada mereka—hampir di semua era dan kurun sejarah mereka.
Dalam kehidupan horizontal di antara sesama manusia sendiri peta salah-benar dan baik-buruk di antara mereka belum pernah sungguh-sungguh ter-cover secara ilmu oleh peradaban manusia. Apalagi oleh aplikasi kebudayaan dan pengejawantahan peradabannya.
Masa keemasan kecerdasan dan cahaya peradaban masyarakat manusia pernah berlangsung di bawah kepemimpinan Raja Agung Bijaksana Sulaiman As yang oleh Allah Swt sendiri usia beliau dibatasi hanya 62 tahun. Kemudian tak sampai dua dekade Masyarakat Madinah puncak akal budi kemanusiaan dicapai di penghujung usia Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang juga hanya 63 tahun.
Terlebih lagi ketika pola hubungan struktural dan sistemik dalam kehidupan ummat manusia—yang mayoritas penduduk Bumi tidak sanggup mengidentifikasi dan menghitungnya—mustahil mereka memenuhi kriteria Idul Fitri.
Khalifah Umar bin Khattab membentur-benturkan kepalanya di tembok karena merasa bersalah sebagai Pemimpin karena seekor unta terpeleset di jalanan yang merupakan tanggung jawab kepemimpinannya dan itu mencerminkan kegagalan pembangunannya. Di kurun sejarah lain ketika Idul Fitri sang Pemimpin malah “open house” duduk manis menunggu rakyatnya berdatangan untuk minta maaf kepadanya.
Para aktivis Universitas-universitas ilmu, akhlaq, budaya dan peradaban manusia di abad 21 ini silahkan berseminar sepanjang-panjangnya untuk membuktikan bahwa kehidupan ummat manusia abad ini bukanlah kurun peradaban paling nadir, paling busuk, paling rendah dan paling berjarak terjauh dari raport Idul Fitri.
Abad 21 bukan Abad Kekufuran. Ummat manusia sangat berhias diri dengan simbol-simbol ke-Tuhan-an, demi memunafiki Allah Swt dan dirinya sendiri. Abad 21 peradaban manusia adalah Abad Kemunafikan dan Kemusyrikan.
Manusia abad 21 bergelimang Materialisme Agama, belepotan lambang-lambang hampa religiusitas, slogan-slogan kosong peribadatan, serta berkilau-kilau dengan tipu daya jasadiyah kepada Allah Swt, sekaligus penipuan besar-besaran kepada diri manusia sendiri.