CakNun.com

Radikalitas Maiyah

Catatan Kenduri Cinta edisi 16 November 2019
Ian L. Betts
Waktu baca ± 12 menit

6. Syari’ah

“Syari’ah” adalah salah satu faktor dalam satu sistem nilai perilaku hidup di samping faktor-faktor lain: “Hakikat”, “Thariqat” dan “Makrifat”.

Syari’ah” berasal dari “Syari’’ yang berarti “Jalan”. Juga “Thariqat” berasal dari “Thariq” yang bermakna “Jalan” juga, meskipun pasti ada perbedaan konteks, penggunaan dan nuansa di antara keduanya.

Hakikat” merupakan kontekstualisasi pada wilayah makna tertentu dari kata “Haq” yang berarti “Kebenaran”.

Dalam penerapannya “Kebenaran” itu menunjuk pada “Kesejatian” atau semacam orisinalitas atau keaslian. Mungkin maksudnya yang sejati adalah yang benar, yang palsu itu tidak benar.

Human Right” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “Hak Asasi Manusia”. Digunakan kata “Hak” yang berasal dari “Haq”.

Human Right dalam konteks itu mungkin memaksudkan bahwa diperlukan kesadaran, gerakan dan sistem yang melindungi manusia agar terpelihara kesejatiannya, orisinalitasnya, dengan kata lain manusia tidak terjebak atau direkayasa menjadi manusia-palsu.

Atau berbagai faktor dari peradaban membuat manusia tersembunyi kemanusiaannya karena lebih diperhatikan “kepalsuan”nya.

Syari’at” adalah jalan dan arah yang disediakan oleh Tuhan untuk ditempuh manusia.

Sistem dan mekanisme perjalanan itu disebut “Thariqat”. Landasan nilai dan prinsip-prinsip yang dianut disebut “Hakikat”. Sedangkan setiap tahap pencapaian yang dihasilkan oleh perjalanan itu disebut “Makrifat”.

7. Ibadah

“Ibadah” itu pengakuan dan ungkapan terima kasih manusia kepada Tuhan, yang diwujudkan dalam suatu pola perilaku tertentu, pada waktu tertentu, dengan cara dan batas tertentu. Ada dua macam bentuk dan arah Ibadah. Pertama “Ibadah Mahdlah”, kedua “Ibadah Mu’amalah”.

Ibadah Mahdlah garisnya dari Tuhan ke manusia, Ibadah Mu’amalah dari manusia ke Tuhan. Ibadah Mahdlah ditentukan Tuhan misalnya berupa Syahadat (pernyataan pengakuan kepada Tuhan), Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.

Ada penafsir yang menyebut Ibadah Mahdlah itu semacam “upah”nya Tuhan, atau “prosentase pendapatan” Tuhan. Dari 100% sahamnya atas kehidupan manusia, Tuhan meminta 3.5%.

Prosentase ini berdasarkan jumlah ayat-ayat Tuhan yang menyangkut Ibadah Mahdlah, serta berdasarkan sangat sedikitnya waktu dan enerji manusia yang diperlukan untuk melakukan hal itu.

“Upah” Tuhan yang hanya 3,5% tidak boleh dikurangi atau ditambahi, juga tidak boleh diubah bentuknya dan segala sesuatunya kecuali atas perkenan dan kemurahan Tuhan sendiri.

Sedangkan yang 96,5% disebut Ibadah Mu’amalah. Tuhan memerdekakan ummat manusia untuk menginterpretasikan alam dan kehidupan, menyikapinya dengan kreativitas dan cita-cita.

Manusia dimerdekakan untuk membikin Negara, Perusahaan, Pesawat, Mobile Phone, Listrik, Partai Politik, Fashion, Karya Seni dan apa saja.

Batasnya adalah keselamatan ummat manusia sendiri dari destruksi yang dimungkinkan oleh kreativitas manusia sendiri. Batasan itu diungkapkan Tuhan dalam berbagai wacana yang sangat multi-interpretable dan “mengajak berdiskusi”.

8. Allahu Akbar

Allahu Akbar” sangat populer di dalam berbagai upacara dan keindahan perilaku beragama Islam, tetapu juga sangat lazim terdengar di dalam kejadian-kejadian yang mengerikan yang menimbulkan frustrasi besar kemanusiaan.

Allahu Akbar” bisa menggema dari suatu pasukan yang sedang berperang melawan pasukan lain yang teriakannya bukan “Allahu Akbar”, tetapi kata “Allahu Akbar” bisa juga terdengar di antara dua pasukan yang sama-sama saling menyerbu dan berusaha saling memusnahkan.

Di dalam Bahasa Arab, “besar” disebut “kabir” dengan “ka” panjang: jika yang dipredikati “besar” bukan Tuhan. Jika sifat itu diperuntukkan bagi Tuhan, maka “kabir” dibaca dengan “bir”-nya yang panjang. Kata “Akbar” lazimnya dimaksudkan “lebih besar”.

Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan “Maha Besar” atau “Amat Sangat Besar”, atau kebesarannya tak terhingga. Sehingga mungkin yang dimaksud dengan “Akbar” adalah suatu makna yang dinamis, di mana Tuhan itu “selalu lebih besar” dari apapun saja. Bukan dalam pengertian bahwa ia berubah-ubah, melainkan batas pandangan manusia yang selalu menemukan bahwa Tuhan selalu lebih besar dari yang bisa dijangkaunya.

Ungkapan “Allahu Akbar” sangat indah jika diperlakukan sebagai pernyataan ilmu di mana pemikiran manusia sangat kecil, rendah dan terbatas untuk mampu menjangkau kebesaran Tuhan. Kesadaran atas sangat terbatasnya ilmu, membuat manusia menata mentalnya dengan landasan kerendah-hatian, serta meletakkan hatinya dengan landasan cinta.

9. Khilafah

Tuhan menyatakan bahwa Ia menciptakan manusia untuk dijadikan “Khalifah” di muka bumi. “Khalifah” sangat luas maknanya: pemimpin, pengelola, manager, pengolah, pembangun, pemelihara, penjaga.

Khalifah” mensyukuri bumi dengan kekayaannya, mengolahnya, mengkreatifinya, mengeksplorasinya, melestarikannya, membangun segala kemungkinan agar kekayaan bumi menjadi bahan untuk menyejahterakan dan membahagiakan ummat manusia.

Petani yang menggarap tanah dan bercocok tanam, ilmuwan yang memahami alam dan teknolog yang melahirkan berbagai hal yang memudahkan dan mengenakkan kehidupan manusia, Pemerintahan, ide-ide, gagasan-gagasan, ideologi, karya seni, penataan aturan hukum, pengelolaan keadilan ekonomi, segala kreativitas kebudayaan, serta apapun saja yang memakmurkan bumi dan membahagiakan penghuninya — adalah pekerjaan “Khalifah”.

Prinsip dasar dan goal utama “Khalifah” adalah “Rahmatan lil-‘Alamin”, rahmat bagi seluruh alam semesta dan penduduknya. Pembangunan peradaban para “Khalifah” diukur berdasarkan produk kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan yang ditimbulkannya bagi semua ummat manusia. Dan bukan khusus bagi Kaum Muslimin.

Jika pekerjaan “Khalifah” itu wilayahnya adalah teknologi kebenaran, kebaikan dan keindahan, maka perilaku benar, baik dan indah itu bersifat otonom. Manusia mencintai sesamanya, karena semua makhluk adalah ciptaan Tuhan, sehingga tidak menyayangi makhluk Tuhan sesungguhnya adalah tindakan yang “menyakiti hati” Penciptanya.

Manusia memberi minum kepada siapapun saja manusia atau binatang atau tumbuh-tumbuhan yang kehausan, tanpa menanyakan apa Agama manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan itu. Menolong adalah menolong, mencintai adalah mencintai, bersikap adil adalah bersikap adil — tanpa persyaratan atau ketergantungan terhadap identitas pelakunya serta yang diperlakukannya.

10. Syahid

Berbagai peristiwa kematian yang sebabnya adalah kemuliaan di hadapan Tuhan, manusia yang mati itu lazim disebut “Syahid”. Ada sejumlah kriteria “Syahid”, namun ia lebih merupakan “nilai” disbanding “norma”, sehingga terdapat multi-interpretasi atas idiom tersebut.

Sedemikian cair dan dinamisnya makna “Syahid” sehingga setiap orang yang meninggal didoakan “Semoga dan insya-Allah mati syahid”.

Orang mati ketika melakukan ibadah, ketika melakukan pekerjaan suci, disebut “Mati Syahid”. Tetapi makna ibadah dan kesucian sedemikian luasnya.

Sopir Bus yang melakukan perjalanan ribuan kilometer untuk menghidupi anak istrinya adalah pekerjaan suci dan ibadah.

Akan tetapi kata “Syahid” selama ini memang popular diperuntukkan bagi Muslim yang mati dalam peperangan “membela Islam”. Sehingga muncul “inisiatif untuk mati Syahid”, misalnya dengan melakukan sesuatu yang pada pandangan orang lain disebut bunuh diri.

Syahid” bermakna juga “orang yang menyaksikan”. Mungkin maksudnya adalah suatu kemuliaan jika manusia meninggal pada peristiwa di mana ia “menyaksikan” nilai yang tertinggi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, yakni kemuliaan ibadah.

Tetapi “Kemuliaan” ini juga berbeda-beda orang memahaminya.

Mungkin lebih aman bagi semua pihak jika manusia berkonsentrasi pada pencarian kemuliaan hidup, bukan “bersangka-sangka” terhadap posisi “Syahid”nya.

Kemuliaan lebih mudah dipahami oleh ilmu dan kebijaksanaan manusia, dibanding “Syahid” yang hanya Tuhan mengerti persis maknanya.

Kesimpulan

Contoh dari Belanda, Italia, Australia dan negara lain membukti bahwa Maiyah punya radikalitas yang tinggi, dan yang berani melawan status quo. Orang Maiyah berani membela kaum yang tersingkir, di Indonesia maupun di luar negeri. Di setiap contoh Mbah Nun memakai prinsip Maiyah dan penafsiran terminologi untuk memecah masalah dan menuju jalan ke depan. Radikalitas ini adalah sesuatu yang konkrit, substantif dan real.

Penafsiran terminologi diatas adalah penafsiran yang otentik yang menunjuk kemurnianya dalam Islam. Radikalitas Maiyah memungkinkan kita untuk melakukan hal yang sepertinya mustahil. Semoga kita berjalan terus dalam Maiyah.

Lainnya

Exit mobile version