CakNun.com

Radikalitas Maiyah

Catatan Kenduri Cinta edisi 16 November 2019
Ian L. Betts
Waktu baca ± 12 menit

Sebagai bagian dari persiapan untul perjalanan ke Eropa di tahun 2008, Mbah Nun menulis beberapa istilah berikut sebagai satu di antara berjuta tafsir. Semoga definisi ini memberi konteks dan arti untuk terminologi yang sering kita dengar:

Sepuluh Idiom Islami

1. Islam

Kata “Islam” sekaligus mengandung makna aktif dan pasif. Islam adalah “menyerahkan diri”, tapi juga “menyelamatkan diri”.

Sesungguhnya keduanya bisa identik jika dilihat dari prinsip bahwa yang dimaksudkan adalah menyerahkan diri kepada Tuhan dan menyelamatkan posisi diri di depan Tuhan.

Multi-tafsir manusia terhadap “penyerahan” dan “keselamatan” melahirkan dinamika sejarah, persekutuan atau peperangan, pernyatuan atau perpecahan, pembangunan atau penghancuran.

Pada dasarnya penyelamatan dan penyerahan diri di depan Tuhan itu metode utamanya adalah menyamakan atau menyatukan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan. Alam dan Malaikat seratus persen berlaku sebagaimana Tuhan menghendaki mereka berlaku. Mereka disebut “makhluk kepastian”, sedangkan Jin dan Manusia disebut “makhluk kemungkinan”.

Manusia hidup dalam kemungkinan berdasarkan hak yang diberikan oleh Tuhan untuk memilih, memanaje atau menentukan arah dan apa saja dalam hidupnya. Tuhan meletakkan Malaikat dan Alam sebagai bagian dari pelaksanaan dari kehendak-Nya (“sunnah”), sedangkan kepada Jin dan Manusia dibukakan “ruang demokrasi” untuk menentukan dirinya sendiri.

Keadaan Alam bisa terpelihara, bisa menjadi lebih indah, atau bisa juga menjadi rusak, ditentukan oleh kesatuan atau perbedaan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia atasnya.

Keadaan Manusia bisa selamat dan sejahtera, bisa juga hancur dan musnah, bergantung pada dinamika dan kontroversi interpretasi mereka terhadap sama atau berbeda antara kehendaknya sendiri dan kehendak Tuhan.

2. Dien

“Dien” merupakan kata standar untuk dimaknai “Agama”. Bukan tidak ada kontroversi interpretasi mengenai itu. Secara umum ia berkonotasi ajaran, tuntunan, guidance dan berbagai pemaknaan lagi.

Induk ajaran pada Ibrahim di mana Agama Yahudi, Nasrani dan Islam berakar, biasa disebut dengan kata lain: “Millah”.

Kontroversi interpretasi juga pasti terjadi pada pandangan yang bermacam-macam tentang benar tidaknya ia disebut Agama, metodologi historis untuk melegitimasinya.

Termasuk tentang Kitab atau ayat-ayat Tuhan yang menyertainya, terdapat berbagai-bagai pandangan dan kepercayaan bagaimana membenarkan bahwa itu berasal dari Tuhan atau karangan Nabi, Rasul atau manusia.

Tuhan memberi pernyataan “La Ikraha fid-Dien”, tak ada paksaan dalam hal yang menyangkut Agama. Manusia sepenuhnya memiliki hak pilih untuk mempercayainya atau tidak, untuk menerimanya atau menolaknya, untuk mematuhinya atau mengingkarinya.

Setiap pilihan ada risikonya, dan risiko itu berlaku di antara manusia dengan Tuhan, meskipun seringkali justru berisiko di antara manusia dengan manusia, atau di antara para pemeluk Agama yang berbeda, atau di antara orang beragama dengan yang tidak beragama.

Risiko di antara manusia ini bahkan memuai sampai tingkat peperangan sangat besar dan dalam waktu sangat lama serta menghasilkan penghancuran atau pemusnahan ummat manusia, harta benda dan peradaban.

Juga manusia berhak meyakini bahwa percaya atau tidak, menerima atau menolak, itu semua tak ada risiko apapun antara manusia dengan Tuhan. Terlebih lagi pada manusia yang di dalam kesadarannya tidak terdapat faktor Tuhan.

3. Iman

Kata “Iman” berkeluarga dengan sejumlah kata yang lain: “Mukmin”, “Aman”, “Amin”. Maknanya yang paling elementer adalah “percaya kepada Tuhan”, percaya kepada keberadaan-Nya maupun percaya kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.

Iman adalah landasan nilai, sistem atau metode, serta mekanisme untuk mencapai keadaan “aman”.

“Aman” ini tidak terbatas: aman pangan, aman sandang, aman lingkungan hidup, aman Negara, aman politik, aman ekonomi, aman hati, aman kebudayaan dan apapun saja.

“Aman” adalah suatu keadaan yang memungkinkan manusia berpeluang penuh menjadi dirinya, bergembira, bersemangat dan bercita-cita ke masa depan. Pelaku segala kegiatan yang bertujuan menciptakan keamanan dalam kehidupan manusia disebut “Mukmin”. Pemimpin dari suatu organisasi yang bekerja untuk menciptakan dan memelihara “Aman” disebut “Amirul Mukminin”.

Sedangkan kata “Amin” (“Amen!”) adalah ungkapan literer dari getaran hati manusia di tengah harapannya agar “Aman” bisa tercapai. Dari perspektif itu maka sesungguhnya semua Negara dan Pemerintahan, semua Organisasi dan Kepemimpinan, di bidang apapun, sepanjang goalnya adalah “keamanan kemanusiaan” maka bisa disebut itulah pekerjaan “Iman”, diorganisir oleh “Amirul Mukminin” dan semua yang terlibat berdoa: “Amen!”.

4. Tafsir

“Tafsir” adalah perhatian, penilaian, pendalaman, analisis, kesimpulan dan pemilihan atas sesuatu hal. Pernyataan Tuhan “La Ikraha fid-Din”, tidak ada paksaan dalam hal apapun yang menyangkut Agama, berlaku juga dalam konteks ini.

Agama adalah suatu sistem nilai yang ditawarkan oleh Tuhan kepada ummat manusia dengan hak tafsir sepenuh-penuhnya, serta hak menerima atau menolak, dengan risiko atau akibat tertentu bagi masing-masing pemilihnya. Karena Agama juga terbuka penuh terhadap “Tafsir”, maka tafsir terhadap apa risiko tafsir, bagaimana sikap terhadap bermacam-macamnya tafsir, juga merdeka untuk ditafsirkan.

Di dalam tubuh Kaum Muslimin di dunia terdapat sangat banyak tafsir dan itu memproduk sangat banyak pilihan, aliran, golongan, madzhab dlsb.

Dari perspektif kebebasan tafsir, maka sesungguhnya golongan-golongan dalam tubuh Kaum Muslimin bisa sebanyak jumlah pemeluknya.

Bahkan aliran-aliran itu bisa berlipat-lipat lagi jumlahnya karena semua dan setiap manusia di muka memiliki hak yang sama untuk menafsirkan Islam, termasuk tafsir terhadap apa saja syarat-syarat untuk boleh atau layak menafsirkan.

Yang tidak mudah adalah mengatasi kelemahan mental sejumlah manusia yang sering tidak merasa aman hatinya untuk mendengarkan, melihat atau mengalami produk tafsir yang berbeda dibanding tafsirnya sendiri.

5. Jihad

Secara etimologis Jihad memiliki “famili kata”: Ijtihad dan Mujahadah. Jihad secara literer berarti berjuang atau berusaha. Seorang Bapak atau Ibu yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, adalah Jihad. Para aktivis, cendekiawan, buruh, pejabat Negara, pengusaha, seniman dan siapa saja yang bekerja untuk kebaikan dan keindahan sosial, disebut Mujahid, atau Pelaku Jihad.

Aktivitas intelektual yang mendasari dan mengolah perilaku Jihad disebut Ijtihad. Para peneliti, eksplorator ilmu, inovator, penemu, para penerjemah ilmu ke teknologi, juga para penyebar hasil inovasi yang semuanya menggunakan aktivitas akal pikiran, disebut Mujtahid atau Pelaku Ijtihad.

Sedangkan segala aktivitas yang modal utamanya menggunakan spiritualitas, hati nurani dan estetika, disebut Mujahadah.

Dunia internasional mengenal kata “Jihad” dalam konotasi eksklusif: perang, bom bunuh diri, dst. Jihad sesungguhnya adalah milik setiap orang, karena secara universal bermakna “perjuangan”. Hanya saja paradoks interpretasi terhadap apa yang diperjuangan, siapa yang harus dilawan, apa yang harus dipertahankan dst, melahirkan dua kemungkinan.

Pertama, benturan kecil maupun peperangan besar. Kedua, penyempitan dan kesalahpahaman terhadap makna orisinal “Jihad”.

Kata “Jihad” lazim diucapkan dalam satu idiomatik dengan kata “Sabilillah”. “Jihad fi Sabilillah” diartikan berjuang di jalan Tuhan. Yang dilakukan oleh nelayan yang bertaruh nyawa di tengah gelombang laut dalam rangka mencari penghidupan bagi keluarganya adalah “Jihad fi Sabilillah”.

Sangat menyedihkan bahwa terdapat kenyataan sejarah di mana “Jihad fi Sabilillah” dipersempit maknanya menjadi berperang membela golongan Muslim.

Lainnya

Exit mobile version