Radikalitas Maiyah
Maiyah dan Luar Negeri
Maiyah bukan hanya di Indonesia. Wakil-wakil kita ada juga di luar negeri, dan mereka aktif antar orang Indonesia dan orang asing untuk membawa dan menyebar nilai-nilai Maiyah.
Di antara mereka adalah beberapa jamaah Maiyah yang aktif dengan menulis skripsi dan tesis di berberapa universitas di UK dan Eropa.
Mereka adalah masa depan dalam pemikiran Maiyah dan kontribusi mereka sangat penting dan otentik. Saya sendiri sudah sering diberi peluang untuk bicara tentang Maiyah di forum dan konferensi internasional.
Tahun depan saya berencana untuk mempresentasikan sejarah, kegiatan dan nilai Maiyah di salah satu forum di Cranfield University, UK, dalam simposium Kontra-Kekerasaan dan Ekstrimisme melalui budaya. Di sana akan hadir dan berkumpul berberapa akadamisi, aktivis dan tokoh-tokoh dari seluruh dunia.
Sebelumnya, saya sudah pernah bicara di sana tentang sejarah Indonesia, Walisongo, Islam dan Jawa, tentang reformasi, tentang otentisitas Islam dalam Maiyah yang berasal dari Al Qur`an, dan budaya kita sebagai orang “Negeri Maiyah”.
Di sana saya berbicara tentang Mbah Nun dan akar-akar maiyah, tentang Padhangmbulan dan Jalan Sunyi, sebagai puisi dan sebagai path – walking the path while constructing it — yang kita di Maiyah menjalankannya bersama-sama dengan Mbah Nun setiap hari, setiap minggu dan setiap bulan selama bertahun-tahun, dan insya Allah seterusnya.
Tahun lalu di Kenduri Cinta, di bulan Desember 2018, saya berbicara tentang perjalanan Mbah Nun, KiaiKanjeng, Mbak Via dan Sabrang ke Belanda. Sekitar sepuluh tahun yang lalu membantu pemerintah disana dengan respons politik dan sosial terhadap berberapa kontroversi terkait dengan Islam dan politik.
Selama dua minggu Mbah Nun dan KiaiKanjeng menjalani konser di gedung kedutaan, gereja, masjid, universitas dan teater. Di mana Mbah Nun bertemu dengan tokoh kaum Yahudi di sinagog untuk membahas iktikad baik antara faith communities — kaum agama — di Belanda.
Di Inggris dan negeri lain di depan berapa audiens saya menceritakan tentang Indonesia, Padhangmbulan, karya-karya Mbah Nun, Cak Fuad dan KiaiKanjeng, serta akar-akar Maiyah sampai prinsip penaburan.
Presentasi saya diterima dengan sangat baik dan juga sempat saya memanfaatkan peluang untuk menunjukan berberapa video dari perjalanan Mbah Nun dan KiaiKanjeng di luar negeri.
Insya Allah audiensnya sudah siap untuk menerima Mbah Nun di antara mereka secara langsung dan insya Allah saya akan mengajak Mbah Nun untuk kembali datang ke Inggris tahun depan.
Saya memohon doa dari Jamaah Maiyah semua supaya saya diberikan peluang untuk melaksanakan tugas ini.
Tadi saya bicara tentang kegiatan contra-extremism dan radikalism. Saya membahas tema yang sama di Kenduri Cinta edisi Desember tahun lalu. Untuk melawan ekstrimisme dan radikalisme bukan berarti kita harus menjadi “moderat”.
Jamaah Maiyah punya radikalitas tinggi dalam rangka membela pluralisme, dan mereka cukup ekstrim dalam rangka toleransi. Dan kita berjihad terus dengan niat perdamaian dan cinta terhadap semua.
Tidak ada force yang lebih kuat dari cinta. Itulah Kenduri Cinta, radikalitas Maiyah yang murni.
Maiyah adalah peluang untuk membangun ruang. It’s about “making the space” dalam hati, dalam pikiran dan dalam kehidupan kita masing-masing dan bersama-sama setiap hari.
Ada berberapa akademisi dari Eropa, Amerika Serikat dan Australia yang pernah datang untuk menyaksikan Maiyah dan kemudian mereka menceritakan Maiyah di negara-negara mereka masing-masing. Ada juga yang menulis buku tentang Maiyah, Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Termasuk di antara mereka adalah: Prof. Timothy Daniels and Prof. Anne Rasmussen di mana keduanya melakukan eksplorasi ruang Maiyah lewat sejarah, musik, dzikir, spiritualitas dan tasawuf.
Radikalitas dan Terminologi
Baru-baru ini ada berberapa polemik yang timbul di media, juga terjadi di antara publik dan instituisi tentang radikalisme di Indonesia. Polemik itu terkait dengan khilafah, cadar dan niqab sampai permakaian celana cingkrang.
Mbah Nun pernah disebut di Italia sebagai “Maestro” atau Tuan Besar dalam rangka musik dan pementas, walaupun beliau mengaku sebagai bukan musisi.
Tetapi dalam hal terminologi dan dekonstruksinya, Mbah Nun memang Maestronya.