Radikalitas Cinta di Plaza Teater Jakarta
Pada setiap pilihan dalam hidup, ada momen radikalitas yang kita alami dalam mengambil keputusan. Cak Nun pernah mencontohkan. Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan telah melakukan konsep radikal dalam dirinya, karena dari sekian banyak perempuan ia memilih satu perempuan yang akan ia nikahi, yang akan ia ajak berjuang untuk membangun keluarga. Pilihan-pilihan dalam hidup tidak selalu mudah. Ada saja pada satu momen kita mengalami kesulitan untuk memilih, dan pada titik tertentu kita diharuskan bersikap radikal untuk menentukan pilihan.
Kenapa tema ini diangkat? Sebenarnya bukan hanya soal bahwa kita secara terang-benderang memang memiliki persoalan dengan kata dan makna kata. Sudah terlalu banyak istilah-istilah yang hari ini melenceng terlalu jauh dari makna dasar dari kata itu sendiri. Sebelum kita membahas kata “radikal” ini, sudah beberapa kali edisi Maiyahan, baik di Kenduri Cinta maupun di simpul-simpul Maiyah lainnya, Cak Nun membahas beberapa kata yang telah jauh melenceng dari makna aslinya seperti Syariah, Jihad, Syahid, dan Khilafah.
Kenduri Cinta edisi November 2019 ini bisa dibilang salah satu radikalitas di Kenduri Cinta. Biasanya, Kenduri Cinta secara tradisi dilaksanakan di hari Jum’at pekan kedua pada setiap bulan Masehi. Pada beberapa momen, biasanya mundur satu minggu atau maju satu minggu dari pakem Jum’at kedua. Tetapi, kali ini Kenduri Cinta cukup radikal memilih menggeser hari pelaksanaan menjadi hari Sabtu. Sebabnya adalah bahwa di hari Jum’at diselenggarakan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Universitas Airlangga, Surabaya.
Ada satu kesepakatan internal di tataran penggiat Kenduri Cinta; apabila bersamaan dengan tanggal yang dijadwalkan untuk pelaksanaan Kenduri Cinta ternyata bersamaan dengan agenda Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di kota lain, maka secara otomatis Kenduri Cinta akan menggeser hari pelaksanaan. Hal ini juga berlaku jika pada tanggal yang sama juga terlaksana Maiyahan di Simpul Maiyah induk; Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat dan Bangbang Wetan. Penggiat Kenduri Cinta memilih untuk menggeser penyelenggaraan Maiyahan jika ternyata tanggal yang ditentukan sebelumnya bersamaan dengan Maiyahan di 4 Simpul Maiyah Induk tadi.
Sebenarnya, ada momen yang lebih radikal. Kenduri Cinta bahkan pernah diselenggarakan di hari Senin. Pada 2014, pada momen kesyukuran 14 tahun Kenduri Cinta, sebuah event besar dirancang. Dengan mengusung tema “Bayang-Bayang Para Ksatria”, saat itu Kenduri Cinta menghadirkan Cak Nun bersama KiaiKanjeng. Selain itu, Komunitas 5 Gunung di bawah asuhan Mas Tanto Mendut juga didatangkan dari Magelang. Teman-teman Teater Flamboyant Mandar pun saat itu hadir. Sebuah pertunjukan kolosal yang dirancang secara matang oleh teman-teman penggiat Kenduri Cinta saat itu. Sisi radikalitasnya adalah; dilaksanakan di hari Senin!
Hari Senin, awal pekan, dan ini Jakarta. Kota yang sangat kompleks problem sosial masyarakatnya. Setiap hari harus menghadapi kemacetan, belum lagi dengan cuaca panas ibu kota yang sangat menyengat. Tapi nyatanya, Kenduri Cinta saat itu tetap bisa dilangsungkan dan berjalan dengan lancar. Hal yang sama terjadi pada 2017, pada edisi bulan Mei, Kenduri Cinta diselenggarakan di hari Senin, 15 Mei 2017.
Dan radikalitasnya bukan hanya dari sisi penyelenggarannya saja. Jamaah yang datang juga menyumbang radikalitas yang tidak main-main. Lazimnya, hari sabtu adalah hari yang pas untuk berkumpul dengan keluarga, yang masih muda mungkin menghabiskan sabtu malam untuk kencan bersama kekasihnya. Maka sebuah pertanyaan muncul dari Erik Supit kepada jamaah; “Apakah kalian ini tidak punya kehidupan di luar Kenduri Cinta ini? Kok malam minggu tetap mau datang Maiyahan?”. Tawa jamaah membahana merespons pertanyaan tersebut.
Nah, salah satu hal yang juga bisa dibilang radikal di Maiyah adalah kemampuan Orang Maiyah menertawakan diri sendiri atas penderitaan yang dialami. Di Kenduri Cinta kemarin, ada salah satu jamaah yang dengan bahagianya ia mengaku datang ke Kenduri Cinta hanya berbekal uang Rp. 20.000,-. Dengan percaya diri ia bercerita, bahwa uang itu Rp. 10.000,- untuk membeli bensin, Rp. 5000,- untuk membeli kopi, kemudian Rp. 5.000,- untuk membayar parkir. Padahal, biaya parkir yang seharusnya adalah Rp. 10.000,-. Dengan gembira ia menceritakan bagaimana proses menawar kepada tukang parkir agar ia diperbolehkan memarkir sepeda motornya hanya dengan tariff Rp. 5.000,- saja. Ia menceritakan, bahwa kepada tukang parkir ia berjanji akan membayar sisanya setelah Kenduri Cinta selesai. “Nanti saya minta ke teman saya di dalam, Pak!”, ungkapnya.
Tentu saja cerita ini mengundang tawa jamaah Kenduri Cinta. Tapi, modal utama sebenarnya bukan uang Rp. 20.000,- yang ia ceritakan tadi, modal utamanya adalah rindu. Ia merasakan kerinduan yang mendalam untuk kembali merasakan sinau bareng di Maiyahan. Uniknya, pemuda ini baru pertama kali hadir di Kenduri Cinta, sebelumnya ia selalu ikut Maiyahan di Simpul Maiyah: Saba Maiyah, Wonosobo. Entah bagaimana ceritanya ia akhirnya merantau ke Jakarta, tapi yang pasti ia telah menemukan obat kerinduan untuk Sinau Bareng di Maiyahan ketika menginjakkan kaki di Jakarta.
Dan lagi, di Maiyahan, bukan hanya di Kenduri Cinta, ekspresi kesenian dan budaya menemukan panggungnya. Seperti kemarin di Kenduri Cinta, beberapa orang membacakan puisi karya Alm. W. S. Rendra, termasuk Clara Sinta, yang merupakan salah satu putri dari W. S. Rendra. Penampilan music dengan berbagai genre juga mendapat porsinya, mulai dari campursari, etnik, indie, jazz hingga dangdut dan gambang kromong pun diapresiasi di Kenduri Cinta. Seperti yang ditampilkan oleh Krist Segara, Beben Jazz and Friends serta Pandan Nanas di Kenduri Cinta edisi November kemarin.
Maiyah is Making the Space For Everyone
Pada Kenduri Cinta kemarin, hadir Mas Ian L. Betts, salah satu sahabat Cak Nun yang menulis buku “Jalan Sunyi Emha”. Mas Ian saat ini tinggal di Bangkok, Thailand. Sekitar dua minggu lalu, Mas Ian intens berkomunikasi dengan Cak Nun, berdiskusi tentang Maiyah hari ini. Ternyata, apa yang ada dalam benak Mas Ian ketika disampaikan kepada Cak Nun juga sama dengan apa yang ada dalam pikiran Cak Nun. Dari diskusi Cak Nun dan Mas Ian L. Betts inilah judul “RADIKALITAS MAIYAH” muncul.
Mas Ian sendiri juga sudah merasa kangen untuk ikut Maiyahan lagi di Kenduri Cinta. Karena saat ini ia berdomisili di Bangkok karena urusan pekerjaan, tidak memiliki waktu yang leluasa untuk bisa terbang ke Indonesia dan hadir di Kenduri Cinta. Sebelum edisi November ini, 2018 lalu pada edisi Desember 2018, Mas Ian L. Betts terakhir kali hadir di Kenduri Cinta. Dan khusus kemarin, Mas Ian terbang dari Bangkok di hari Sabtu siang, kemudian mendarat di Cengkareng, malam harinya menuju Cikini untuk Maiyahan di Kenduri Cinta. Esoknya, di hari minggu sore, Mas Ian kembali terbang ke Bangkok, karena hari Seninnya ia harus kembali bekerja.
Mas Ian memiliki banyak catatan betapa radikalnya Maiyah, dan secara langsung Mas Ian menyaksikan peran Maiyah yang cukup radikal dalam pandangannya. Beberapa tahun yang lalu, Cak Nun, Mbak Via, Mas Sabrang dan KiaiKanjeng menjalani tur Eropa. Ketika di Belanda, saat itu ummat Islam sedang didikreditkan dengan rilisnya sebuah film berjudul “Fitna”, yang dirilis oleh seorang politisi Belanda, Geert Wilders.
Saat itu Cak Nun menggunakan metode Maiyah dan berhasil meredakan ketegangan antar ummat beragama di Belanda, terutama antara Kristen, Yahudi dan Islam. Puncaknya, setelah dua minggu berada di Belanda, Cak Nun mempertemukan 3 pemuka agama dari masing-masing agama; Yahudi, Kristen dan Islam untuk bersama-sama menandatangani Memorandum of Understanding untuk menjaga perdamaian antar ummat beragama di Belanda. Bagi Mas Ian, peristiwa itu adalah pengalaman yang luar biasa, yang ia saksikan sendiri secara langsung.
Apa yang disaksikan oleh Mas Ian selama bersentuhan dengan Maiyah pada akhirnya juga membuat Mas Ian merasa bahwa apa yang ada di Maiyah ini harus ia sebarkan di tempat lain. Dalam beberapa kesempatan, Mas Ian mempresentasikan Maiyah melalui slide-slide presentasi dan jurnal yang ia susun, dan ia presentasikan di beberapa kampus di Eropa.
Satu hal lagi yang sangat dicatat oleh Mas Ian. Pada 2005, saat Paus Paulus Yohanes II wafat, Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah satu-satunya perwakilan yang merepresentasikan Islam untuk menghadiri penghormatan jenazah Paus Paulus Yohanes II di Vatikan. Jika pembaca beberapa hari ini menyimak salah satu video “Puisi Hati Emas”, sebagai informasi bahwa puisi tersebut ditulis oleh Cak Nun di Roma tahun 2005. Beberapa catatan literasinya bisa dibaca di buku “Jalan Sunyi Emha” karya Mas Ian L. Betts.
Dari beberapa momen yang disaksikannya secara langsung, Mas Ian mencatat bahwa Maiyah adalah sebuah ruang yang menampung semua orang. “Maiyah is Makin the Space”, ungkap Mas Ian. Di Kenduri Cinta dan juga di semua forum Maiyahan lainnya, yang hadir adalah masyarakat yang sangat luas, dari berbagai kalangan dan latar belakang. Semua duduk melingkar bersama, Sinau Bareng, tidak ada sekat, egaliter. Mulai dari santri yang berpeci, aktivis kiri garis keras, masyarakat abangan, kaum muda kelas menengah, tidak sedikit pula mereka yang bertato. Dan pernah ada satu momen, ketika seorang pemuda penuh dengan tato di tubuhnya menangis terisak di hadapan Cak Nun, karena ia menemukan kembali sebuah tempat dimana ia bisa diterima dan dimanusiakan, sekaligus ia merasakan momentum kembali mengenal sosok Tuhan, dan ia rasakan itu semua di Maiyah.
Maiyah adalah Hidayah sekaligus Hadiah dari Allah untuk kita
Syeikh Nursamad Kamba, malam itu baru tiba dari Pekalongan. Siang harinya, Syeikh Kamba baru mengisi seminar Nasional di Kampus STAIN Pekalongan. Dari kacamata kita, apa yang dilakukan oleh Syeikh Kamba juga salah satu bentuk Radikalitas Maiyah. Piihan yang paling nyaman tentu saja, setelah perjalanan jauh dari Pekalongan, lebih enak kembali ke rumah, kemudian istirahat, tidur nyenyak, agar besok bisa bangun dengan kondisi badan yang segar bugar. Tetapi, Syeikh Kamba mengakui, justru dengan datang ke Kenduri Cinta beliau mendapatkan suntikan semangat yang baru. Persoalan istirahat, bisa ditunda.
Syeikh Kamba memiliki pandangan bahwa Maiyah adalah hidayah dari Allah dan juga sekaligus hadiah untuk kita dari Allah. Apa yang kita alami di Kenduri Cinta, orang begitu banyak datang, duduk menekun berjam-jam, diajak mikir, belajar kesabaran, tanggung jawab, melatih keseimbangan dengan penuh kedaulatan dalam diri, adalah salah satu bukti bahwa Maiyah adalah hidayah dari Allah. Fenomena Maiyah tidak mungkin bisa dirancang oleh manusia. Orang-orang berkumpul, datang tanpa pamrih, dalam sebuah forum yang dikelola secara swadaya, dan sudah berlangsung hampir 20 tahun di Jakarta, adalah fenomena yang hanya bisa dikreasikan oleh Allah.
Menurut Syeikh Kamba, Maiyah adalah hidayah dari Allah, ketika Syeikh Kamba datang di sebuah kota untuk sebuah urusan yang tidak ada kaitannya dengan Maiyah, Syeikh Kamba selalu disambut hangat oleh anak-anak Maiyah di kota tersebut. Seperti yang baru saja dialaminya di Pekalongan. Teman-teman penggiat Suluk Pesisiran menyambut hangat kedatangannya. Bulan lalu, ketika Syeikh Kamba juga berkesempatan mengisi seminar di Kudus, teman-teman penggiat Simpul Maiyah Semak Tadabburan Kudus juga dengan hangat menyambut kedatangan Syeikh Kamba.
Menurut Syeikh Kamba, ikatan persaudaraan dan paseduluran inilah yang tidak mungkin dirancang dengan tiba-tiba oleh manusia. Perlu sentuhan Allah agar mampu mengkreasikan tali silaturahmi dan persaudaraan di Maiyah yang begitu erat ini. Maka, bagi Syeikh Kamba, Cak Nun telah berhasil membawa Islam sesuai dengan hakikat yang memang semestinya Islam disampaikan seperti ketika Rasulullah SAW membawa Islam di Madinah.
Malam itu, meskipun tanpa kehadiran Cak Nun, Kenduri Cinta tetap berlangsung hangat, menjadi oase bagi masyarakat Maiyah di ibu kota Jakarta. Adalah kerinduan serta cinta kasih yang menjadi sumbu utama mengapa kita betah berlama-lama Sinau Bareng di Maiyah. Sebuah harapan terpanjatkan bersama di puncak Kenduri Cinta edisi November, semoga Cak Nun senantiasa diberi kesehatan agar selalu bisa menemani kita semua, sinau bareng, menyemai nilai-nilai luhur, membangun “Negeri Maiyah”. (Tim Redaksi Kenduri Cinta)