Puisi Juragan
Seseorang bermimpi ketemu dengan Raja yang bertanya kepadanya: “Siapakah rakyat?”
Ia menjawab: “Rakyat adalah junjungan kita”.
“Abstrak,” kata Sang Raja, “Apa itu junjungan kita?”
“Junjungan artinya berderajat lebih tinggi dari kita, sehingga harus kita junjung tinggi”.
“Kalau demikian siapakah Raja?”
“Raja adalah pembantu rumah tangga rakyat.”
“Kalau begitu rakyat itu juraganku?”
“Rakyat adalah juragan kita bersama. Kalau pagi kita siapkan air hangat untuk membasuh kakinya, dan jika malam kita bernyanyi untuk menentramkan tidurnya.”
“Bagaimana mungkin setiap pagi harus kubasuh kaki seratus sembilan puluh juta orang?”
“Itulah sebabnya Paduka dipilih menjadi pembantu utama rumah tangga mereka. Kalau yang lain belum tentu sanggup melakukannya.”
“Tapi bukanah mereka justru yang sekarang berebut hendak membasuh kakiku setiap pagi dan berlomba nyanyi untuk menghibur hatiku jika malam?”
“Itu tanda bahwa Paduka sudah didoakan diam-diam agar tidak lagi menjadi pembantu rumah tangga mereka.”
Mendadak orang itu terbangun dari mimpinya. Pipinya terasa sangat panas, seperti habis ditampar entah oleh siapa.
Tapi esok malamnya ia bermimpi lagi dan sang Raja yang sama bertanya kepadanya lagi: “Jadi apakah aku ini semacam pelayan?”
Ia menjawab: “Paduka adalah pelayan yang bertugas mengumpulkan modal dari mereka serta menyediakan alat-alat untuk kerja rakyat Paduka. Sebab sebagai juragan, rakyat tidak di kursi goyang, melainkan memeras keringat dan membanting tulang”.
Sang Raja mengangguk-anggukkan kepala sambil menyandarkan punggungnya di singgasana: “Bolehkan aku mengambil bagian dari pengadaan modal dan alat-alat itu? Juga bagaimana kalau supaya rakyat tak perlu susah payah bekerja, biar aku, permaisuri dan pangeran-pangeranku saja yang menangani pekerjaan-pekerjaan itu?”
“Paduka sangat punya kekuatan untuk melakukan itu, tetapi para pangeran dan anak cucu Paduka yang akan menanggung akibatnya.”
Mendadak ia terbangun lagi. Kali ini punggungnya yang terasa pegal-pegal karena mungkin ada jin yang datang membawa pentungan dan menggebugnya.
Ketika malam berikutnya ia memimpikan adegan yang sama, dijumpainya Sang Raja sedang bernafas terengal-sengal, ia menemukan dirinya sedang bergumam.
“Rakyatmu tidak peduli bagaimana cara Paduka menanak nasi, apakah memakai cara masyarakat primitif ataukah mengoper dari mancanegara, apakah Paduka pakai kompor ber-merk Islam atau Posmo, apakah Paduka gunakan korek api berpentol tunggal atau sulutan api dari warisan nenek moyang, apakah Paduka memanfaatkan tali ikatan para cendekiawan ataukah dupa para tukang santet. Yang ditunggu rakyat Paduka adalah di atas meja kebangsaan ini mana makanannya…”
Kali ini bukan saja terbangun dan sakit-sakit tubuhnya: tiba-tiba saja ketika terhenyak dari lelap tidur ia menemukan dirinya sudah meringkuk di sel penjara yang dingin dan kotor.
1994
(Diambil dari Kumpulan Puisi Emha Ainun Nadjib, ABACADABRA Kita Ngumpet..., Yayasan Bentang Budaya dan Komunitas Pak Kanjeng, 1994. Kumpulan puisi ini diterbitkan mengiringi Pergelaran Puisi Emha dan Musik KiaiKanjeng, 1994)