Podium
Sekarang tugasku yang penting ialah menjadi muadzin keliling. Beredar tiap hari Jum’at dari masjid kampung ini, ke kampung itu, dan masjid kampung sana telah menunggu untuk giliran berikutnya. Nooriman Dutawaskita, yang memberiku tugas, selalu juga bertindak sebagai Khotib di masjid-masjid itu. Pada minggu-minggu terakhir ini bahkan ada tugas lain: Gus Nooriman (demikian orang-orang kampung memanggilnya) memberi pengajian, dan aku mengawalinya dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur`an.
Ini sungguh-sungguh semangat baru yang memancar di kampung-kampung terutama di daerah Jombang timur. Semangat keagamaan yang dianugerahkan langsung dari langit, bagaikan hujan yang tumpah. Para jemaah di masjid atau muslimin dan muslimat di acara pengajian umum, berjejal-jejal dan terpesona mendengarkan uraian Gus Noor. Mereka bagaikan bermimpi menatap anak ajaib itu di podium. Aku sendiri yang selalu “diseret” Gos Noor ke mana-mana, merasakan getaran keajaiban itu. Waktu beradzan dan mengaji serasa aku sedang turut membangun keajaiban. Bertumbuh kebanggaan yang besar. Aku sering menangis. Tetapi kebanggaan itu segera lebur ketika ingatanku melayang kepada kebesaran Allah. Segalanya niscaya kembali kepada-Nya. Juga setiap kebanggaan yang bisa menggelincirkan.
Usiaku 12 tahun, dan Gus Noor kukira belum lebih 14 tahun. Aku berada di bulan-bulan terakhir SD, sekaligus Madrasah Ibtidaiyah. Sedangkan Gus Noor seingatku sudah 4 tahun terakhir ini berhenti sekolah, dari kelas IV Madrasah. Perihal kemampuanku mengaji Al-Qur`an, bukan hal yang mengherankan untuk situasi pendidikan mengaji di kampung. Sejak sebelum bersekolah, setiap mau tidur Ibu mengelus-elusku sambil mengajari lagu Al-Qur`an atau kasidahan. Di langgar, pelajaran mengaji dilatih terus-menerus. Kepintaran mengaji bahkan menjadi ukuran gengsi seorang anak. Adikku yang berusia 9 tahun berani kupertandingkan mengaji dengan tamatan Muallimat Yogya yang terkenal di sana. Jadi tugasku itu bukan hal yang luar biasa. Gus Noor memilihku kukira hanya karena suaraku kabarnya bagus dan bisa mengalun lebih merdu dibanding teman-teman mengaji di langgar. Kuterima tugas itu dengan perasaan yang khusyu, seakan aku sedang ikut berpergian dengan seorang malaikat.
Aku tidak bergurau. Soalnya kemampuan Gus Noor untuk berkhotbah, menguraikan masalah-masalah agama dan kemasyarakatan, hapalannya yang luar biasa akan seluruh ayat-ayat Al-Qur`an, tidaklah ia peroleh dari langgar, melainkan hanya bisa dijawab langsung oleh Allah Swt sendiri. Masyarakat di seluruh kampung mempergunjingkan bagaimana Nooriman, anak kecil tukang cangkul di sawah itu, bisa punya pengetahuan begitu luas. Kaum muslimin dan muslimat amat terkesima, dan banyak sudah di antara mereka yang menjadi bertambah tebal iman Islamnya, atau bertaubat dari keingkarannya. Gus Noor selalu dikerumuni orang untuk didengar uraiannya. Sekarang bahkan mulai datang undangan dari daerah-daerah lain yang jauh. Orang-orang itu menatap Gus Noor seperti menatap malaikat.
Sungguh tak masuk akal. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang istimewa pada Gus Noor yang mengarah ke situ. Di Madrasah Mansyaul Ulum, Nooriman ini murid biasa-biasa saja. Pelajaran tidak paling pandai, suara tak tergolong merdu, tubuhnya kurus, tak pintar olahraga apa pun. Atau barangkali dasar penilaian masyarakat tidak mampu menangkap tanda-tanda yang lebih dalam umpamanya yang terdapat dalam ruang batin Noor. Kurang jelas juga.
Orangtua Noor termasuk kalangan paling melarat di kampung. Sampai kelas IV, sekolah tak mampu ia lanjutkan. Noor keluar dan membantu kerja orangtuanya di sawah yang hanya sedikit. Noor amat rajin dan tetap pendiam. Di tahun-tahun berikutnya Noor membantu Bapaknya berjualan buah kelapa. Bergantianlah bapak-anak ini membawa puluhan butir kelapa ke pasar kota Jombang. Pakai sepeda. Kelapa dimasukkan ke dalam rengkek yang ditaruh di boncengan sepeda itu. Pada saat itulah Tuhan menakdirkan keajaiban. Di tengah jalan, waktu bersepeda membawa kelapa, Noor jatuh Sakit. Beberapa orang gardu segera menolongnya. Membaringkannya di rumah terdekat dan merumatnya.
Kurang jelas apa sakit Noor. Cuma dingin panas. Demam. Orang-orang desa tentu saja tidak segera punya inisiatif untuk memanggil Dokter. Hanya datang satu dua orangtua mengurutnya, memijat dan meminuminya jamu. Orang tuanya segera dipanggil. Tetapi kemudian datanglah seorang tamu. Seorang pemuda, pakai sarung, baju piyama dan berpeci. Sopan sekali ia.
”Apakah di sini ada anak sakit bernama Nooriman?” ia bertanya. Dan orang-orang kampung itu, sambil terheran-heran, mengatakan memang anak ini bernama Nooriman dan ia sakit.
”Apakah Saudara keluarganya?”
”O, bukan. Saya diutus oleh Bapak Kiai Sahlan untuk mendatangi Nooriman dan beliau menyuruh membawanya ke rumah beliau untuk dirawat.”
Orang-orang kampung itu semula tak mengizinkan. Tapi setelah datang Bapak Nooriman, orang tua ini mengizinkannya. Panggilan seorang kiai telah menggetarkan dan merupakan kehormatan tak terhingga bagi setiap muslim di desa. Akhirnya Nooriman pun dibawa, dengan perasaan yang bergelora pada semua orang yang menyaksikannya. Bapaknya tentu saja turut mengantarkan ke sana.
”Inilah saudaraku yang sejak lama kutunggu-tunggu,” demikian Kiai Sahlan menyambut Nooriman.
Tersiraplah darah semua yang mendengarnya. Kata-kata itu adalah sebuah pernyataan yang khusus dan luar biasa. Semua orang mengenal Kiai Sahlan: sesepuh kaum muslimin yang waskita, orang yang berpuasa sepanjang hidupnya, ahli tarekat dan kiai yang khusyuk. Nooriman adalah saudara beliau? Apa maksudnya? Tak seorang pun mengerti dengan jelas. Tetapi kemudian terjadilah keajaiban-keajaiban itu.
Setelah sembuh dari perawatan Kiai Sahlan, Noor diperkenankan pulang ke desanya. Namanya sekarang bertambah aneh, jadi Nooriman Dutawaskita. Begitu sampai di rumahnya, dan dikerumuni tetangga-tetangganya, ia mulai menunjukkan mukjizat.
”Umurku tak lama lagi akan berakhir,” katanya, yang tentu saja mengejutkan kedua orang tuanya. “Tetapi sebelum ajal tiba, aku diberi tugas oleh Tuhan untuk memperbaiki kampung ini. Kalian semua tak boleh lagi melalaikan sembahyang dan rukun Islam lainnya. Pamong-pamong jangan seenaknya bertindak pada rakyat. Jangan hanya bisa menjilat lurah. Dan lurah kemarin baru saja mengambil uang pajak rakyat dan dipakainya untuk beli sepeda motor baru. Carik juga korupsi, lihat itu pakai uang siapa membangun rumahnya. Mana Sumadi? Cepat cari. Ia kini sedang membawa sepeda mertuanya dan akan dijualnya di pasar kota. Orang-orang kampung ini bagaimana tidak tahu anak-anaknya sering berbuat tak senonoh. Semalam Giman pura-pura mendatangi pertemuan di Jombang, padahal ia janji sama Sumaiyah untuk ketemu di tanggul ujung selatan desa. Mereka bercumbuan di bawah pohon-pohon turi dan tanaman yang rimbun. Mana Samiran? Cepat ia bertobat dan mulai sembahyang. Jangan suka mencopet lagi dan curi tebu di kebun atau ketela di tegalan. Sebab malaikat sudah mulai mengintainya. Si Darip, mataulu desa, mulai hari ini tidak boleh lagi memaksa pemilik sawah membayar pengaliran air, sebab desa sudah menentukan pembagiannya secara adil…”
Mulut Gus Noor seperti memberondongkan peluru-peluru yang mengenai banyak para pendosa di kampung. Maka gaduhlah hari itu. Orang-orang yang dituduh, mula-mula berang. Tapi kemudian takut dan menghentikan kejahatannya, setelah tak bisa menjawab dari mana gerangan Nooriman tahu sekian banyak hal. Terjadilah perubahan luar biasa di kampung. Perbincangan tentang Nooriman menyerap kesibukan masyarakat. Makin lama ia bertambah menjadi semacam kiblat kepercayaan baru.
”Tapi saya ini bukan Nabi,” ia menegaskan. ”Nabi kita tetap Muhammad Saw dan Tuhan kita tetap Allah Swt!”
Akhirnya Nooriman berkhotbah di masjid. Kyai Salam dengan rela memberinya kesempatan. Dan luar biasa. Orang-orang tak mengerti bagaimana anak ini bisa menjadi pintar, fasih dan memesona.
”Ia pasti seorang wali!” kata salah seorang.
Yang lain tak membantahnya, dan segera bersepakat untuk memanggil Nooriman dengan sebutan Gus Nooriman. Gus Noor. Ia menjadi cahaya baru di kampung. Cahaya benar-benar cahaya. Di dapur, di beranda, di masjid, di sawah, di warung dan di mana pun selalu Gus Noor yang diomongkan. Gus Noor, Gus Noor.
Demikianlah akhirnya aku dipilihnya untuk menjadi muadzin dan pengaji Qur`an. Bahkan kemudian ia minta untuk tinggal di rumahku, maksudku di rumah orang tuaku. Tentu saja suatu kehormatan besar yang tak mungkin kami tolak. Di samping itu maksud Gus Noor memang tepat. Kebetulan Bapakku pemuka agama dan masyarakat di kampung. Bapak memegang sekolah Madrasah dan Taman Kanak-Kanak, sekaligus memangku masjid. Rumah kami sendiri adalah pos sosial. Anak-anak belajar malam di sini dan yang besar-besar kumpul tiap malam di sini. Memusyawarahkan segala hal ihwal kampung. Dari soal kegiatan pengajian, peringatan-peringatan Hari Besar Islam, pertanian, sepakbola, dan sekali-sekali soal kenegaraan. Dulu desaku dipecah oleh NU dan Muhammadiyah. Orang sibuk bertengkar seperti kerbau dungu, yang diadu oleh penggembalanya. Kini kami hapus semuanya. Kampung bersatu langsung di bawah atap Tuhan, tanpa tabir-tabir. Dan sejak keterlibatan langsung Gus Noor di sini, ditambah satu kegiatan, ialah Perpustakaan. Dari buku-buku cerita Nabi yang ringan, buku peribadatan, pengetahuan umum, langganan koran-koran, sampai literatur keislaman yang agak berat. Memang belum banyak anak-anak dusun yang gemar membaca, tetapi lingkungan baca-membaca sudah dimulai langsung dengan wadah dan sarananya.
Di rumah kami sendiri suasana menjadi amat lain. Rasanya ada makhluk dari langit menetap dan hidup bersama kami. Hubungan Gus Noor dengan orang tuanya biasa-biasa saja, tetapi orang tuanya pun tentu saja punya perasaan yang lebih dari kami orang kampung. Ketakjuban dan rasa bahagianya tentu lebih besar. Sehari-hari Gus Noor amat bersahaja. Sejak makanan sampai pakaian dan sikapnya. Pakaian hanya dua pasang, ditambah sarung dan peci. Ia hanya mau makan gaplek. Sekali waktu Ibu mencampuri nasi gapleknya dengan jagung atau sedikit nasi. Akibatnya Gus Noor tak mau memakannya, meskipun campuran itu begitu tersembunyi sehingga sukar diketahui. Gus Noor berpuasa tiap hari. Ia sibuk mengaji, melihat anak-anak sekolah, memberi pengajian, sembahyang dan berdoa. Seluruh penghuni rumahku mendapat tugas masing-masing. Bapak-Ibu menjalankan kewajiban seperti biasa. Kakakku dan beberapa Guru Madrasah yang menetap di rumah kami, punya tugas paling berat. Di samping mengelola sekolah, belajar bersama, pengajian-pengajian dan perpustakaan, setiap malam mereka punya tugas khusus. Sehabis tengah malam lewat, mereka dibangunkan Gus Noor. Diajak berwudlu. Diajak sembahyang. Bersujud amat lama dan berdoa hampir tak henti-henti. Sesekali diajak mereka keluar rumah. Ternyata menuju kuburan. Dan masuk. Satu ditinggal di pojok sini, satu di pojok sana, satu di tengah dan lainnya di dua pojok sisanya.
”Sunyi dan rasa takut akan mempertemukanmu lebih cepat dengan Allah!” kata Gus Noor.
Aku sendiri punya tugas ringan. Menjadi muadzin dan pengaji, kemudian setiap sore harus melayani Gus Noor berdiskusi tentang hadis-hadis Nabi, sifat orang, dlsb. Aku tak pernah diseretnya ke kuburan. Gus Noor sendiri, begitu memperoleh kepercayaan dari seluruh masyarakat, sehingga dalam waktu sekitar setengah tahun, ia berhasil mengelola perencanaan pembangunan masjid di tiga desa sebelah. Biaya lengkap, material bangunan tersedia, dan pembangunan pun dilaksanakan secara gotong-royong. Ini merupakan langkah maju masyarakat Islam di tiga desa itu yang semula amat rawan. Gus Noor sungguh-sungguh membawa kemajuan yang nyata, dan terutama menciptakan suasana yang nyata dan memeluk. Tuhan bagaikan hadir langsung.
Pada suatu hari Gus Noor jatuh sakit. Pada rakaat terakhir sembahyang Isya, di mana ia bertindak sebagai Imam di langgar, mendadak ia ambruk. Jemaah tertegun sesaat. Kakakku sambil mengucap ”Subhanalloh”, segera maju ke ruang Imaman dan mengambil oper peran Gus Noor, sementara beberapa orang membatalkan sembahyangnya dan menolong Gus Noor. Langgar ribut. Sesudah salam tahiyat akhir orang segera sibuk. Gus Noor dipapah ke rumah. Ternyata pingsan. Cari minyak angin. Dipijit-pijit. Seluruh kampung segera bersibuk dengan sakit Gus Noor. Suasana menunjukkan kebingungan, rasa panik, tanpa ada pendapat atau kesimpulan apa-apa.
Di malam itu juga, di tengah kesibukan mengurus Gus Noor, datang tamu. Seorang pemuda santri.
”Saya murid Kiai Sahlan. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Saya datang untuk menyampaikan berita bahwa Kiai Sahlan telah diperkenankan untuk menemui Allah Swt. Kami mengharap kehadiran Gus Noor ke sana, untuk turut pada upacara pemakaman beliau besok pagi…”
Tetapi Gus Noor pun jatuh sakit. Pingsan tak jelas karena apa.
”Gus Noor benar-benar saudara Kyai Sahlan,” ujar pemuda santri itu. ”Semoga Allah menakdirkan Gus Noor untuk menggantikan Kyai Sahlan.
Orang pun menghubungkan dua kejadian itu sekaligus.
”Sudah mulai bergerak-gerak. Mungkin akan siuman!” berkata kakakku, tergopoh-gopoh keluar dari kamar di mana Gus Noor dibaringkan.
”Mudah-mudahan.”
Ternyata beberapa saat kemudian Gus Noor benar-benar telah siuman. Sesudah pingsan, kemudian menggigil dan seperti sedang melakukan suatu perjuangan, nafas Gus Noor semula menghempas-hempas, akhirnya mereda. Orang-orang berkerumun. Perlahan Gus Noor membuka matanya.
”Gus Noor… Gus Noor…” Kakakku memanggilnya, sambil memegangi tubuhnya.
Setengah sadar Wajah Gus Noor seperti memancarkan ketidak-mengertian. Ia memandang beredar.
”Gus Noor…,” sahut kakakku lagi.
“Gus Noor?” Gus Noor berkata lemah. ”Siapa itu Gus Noor?”
Orang yang berkerumun itu jadi terdiam. Kemudian saling berpandangan. Kakak mengerutkan keningnya.