Persaudaraan Lawen-Menturo
Hanya istirahat beberapa jam saja selepas kembali dari acara Sinau Bareng di Mojokerto, Mbah Nun, beberapa personel KiaiKanjeng, dan teman-teman Progress siang kemarin langsung bergerak ke Lawen Pandanarum Banjarnegara untuk takziah atas wafatnya Ibunda Pak Toto Rahardjo.
Dengan medan dan rute yang sedemikian rupa, melewati puncak Dieng, sebelumnya ada antrean panjang buka tutup perbaikan jalan di Wonosobo, lalu dari Dieng menuju Wanayasa menyibak kabut yang membuat roda mobil harus berjalan pelan karena jarak pandang yang hanya sekian meter saja, dari keberangkatan pukul 13.00, rombongan baru tiba di kediaman keluarga besar Pak Toto pukul 19.45 WIB.
Di rumah yang berhalaman cukup luas, masyarakat dan warga setempat yang baru saja usai melaksanakan tahlilan telah menunggu kedatangan rombongan dari Jogja ini. Niat ikut tahlilan bareng-bareng, tapi karena terlambat jadinya berdoa saja secara sirr dan langsung. Sebenarnya, Pak Toto juga tidak tahu kalau Mbah Nun akan datang, mengingat jadwal yang padat. Tahunya hanya KiaiKanjeng dan Progress. Jadi ini surprise juga buat Pak Toto.
Turun dari mobil, Mbah Nun dan rombongan menyalami bapak-bapak dan semua yang hadir. Terlihat senang di wajah mereka menyambut kedatangan Mbah Nun dan rombongan dengan hormat. Pak Toto segera ambil inisiatif untuk memanfaatkan kehadiran Mbah Nun buat ngobrol-ngobrol dan memberi kesempatan kepada para tetangga untuk barangkali ada pertanyaan yang ingin disampaikan. Sebelumnya, Pak Toto juga menyampaikan kepada Mbah Nun bahwa sejumlah teman Jamaah Maiyah dari Banjarnegara, Purwokerto, dll juga telah takziah.
Mbah Nun menyampaikan permintaan maaf karena telat dan bercerita sekilas tentang kedekatan keluarga beliau dan keluarga Pak Toto. Mbah Nun cerita kepada semua warga di situ bahwa Ibunda Halimah dulu sudah tiga kali ke sini dan saat itu fasilitas dan prasarana transportasi belum seperti saat ini. Bahkan Mbah Nun juga pernah nitip seseorang untuk dibawa ke Lawen. Sementara Mbah Nun dan Pak Toto sendiri sudah bersahabat sejak awal tahun 80-an.
“Saya gembira Ibu dipanggil Allah tanpa masuk rumah sakit, tanpa ada masalah. Ibu adalah generasi yang tanpa beban dan kepentingan duniawi. Ibu meninggal dengan cara yang tanpa berat, tanpa bagaimana-bagaimana. Ibu adalah contoh generasi yang murni, yang tidak kadonyan, tanpa penyakit, baik penyakit badan maupun penyakit pikiran. Nah, anak-anak kita jangan kita jadikan korban dari penyakit yang macam-macam itu,” kata Mbah Nun memuji almarhumah Ibu Surtinah dan mengajak kita belajar dari hidup beliau.
Obrolan berlangsung enak dan mengalir. Suasana keguyuban desa memancar dari wajah-wajah para tetangga Pak Toto. Mbah Nun bercerita beberapa soal, termasuk situasi hakiki negara lima tahun ke depan yang rasanya mustahil diatasi dan yang kalau dipikir bisa bikin kepala hang tak kunjung berhasil loading. Maka Mbah Nun mengingatkan bahwa kita ini aslinya hidup di dalam Allah kalau saja kita mau bersungguh-sungguh, dan bagi yang mau bersungguh-sungguh Allah berjanji akan menunjukkan kekayaan jalan, yang semuanya adalah jalan Allah. Karena itu hendaknya kita jangan mencari jalan yang nggak-nggak. Kalau diambil contoh dari konteks negara, misalnya, mbok ya kalau hutang ke luar negeri itu janganlah dalam skala yang tidak ukuran. Itu jalan yang sangat nggak-nggak.
Dua orang minta nasihat Mbah Nun ihwal bagaimana menghadapi anak yang kecanduan smartphone, dan satu lagi ihwal ziarah kubur. Tentang smartphone, menurut Mbah Nun, memang plus minus. Tidak mungkin dihindari sama sekali, karena sudah merupakan perkembangan manusia yang banyak manfaatnya juga. Yang perlu diperjuangkan oleh orangtua dan guru adalah memastikan keseimbangan jenis kecerdasaan anak sehingga dia bisa memutuskan membatasi penggunaan handphone, sehingga peranti tersebut hanya dipakai untuk menunjang belajar dia atau dipakai secara proporsional. Adapun ihwal ziarah kubur, respons beliau sama seperti yang sudah menjadi pengetahuan kita bersama di Sinau bareng.
Satu hal yang saya catat dari respons Mbah Nun tentang handpone, bila orangtua membikin peraturan misalnya pada jam-jam tertentu anak tidak boleh pegang HP, dalam pelaksanaanya, hendaknya jangan disertai dengan teror psikologis semisal “Nggak bisa baca peraturan ya!” dan sejenis. Cukup ambil HP-nya, nanti waktunya ambil biar dia datang dan kalau perlu diskusi bisa didiskusikan. Jadi, anak tidak merasa direndahkan oleh sikap teror dari orangtua atau guru.
Meresmikan dan mendoakan kelompok musik Tarbiyah Cinta
Dalam kesempatan tadi malam, Pak Toto juga meminta Mbah Nun untuk semacam meresmikan dan mendoakan kelompok musik Tarbiyah Cinta. Ini anak-anak muda Lawen yang ternyata diam-diam berproses, berkumpul, dan menyimak Maiyahan via YouTube. Malah tidak pernah langsung bilang-bilang ke Pak Toto Rahardjo sendiri. Mereka setahun terakhir ini bikin kelompok musik yang berguru dan berafiliasi ke KiaiKanjeng.
Mereka bikin gamelan sendiri, dan sedang pesan bonang ke Mas Giyanto KiaiKanjeng. Pak Toto juga baru tahu belum lama ini. Senyampang Mbah Nun sedang silaturahmi ke Lawen, Mbah Nun diajak melihat ke studio mereka, sebuah ruang mungil terbuat dindingnya dari kayu dan bambu dan di situlah tempat latihan mereka. Mereka belajar lagu-lagu KiaiKanjeng dan hampir semua sudah dihapal. Di dinding ruang itu tertera daftar lagu KiaiKanjeng yang mereka pelajari. Semuanya via YouTube.
Mbah Nun meminta Pak Joko Kamto dan Mas Yoyok untuk menjajal gamelan mereka dan memberikan pandangan dari sisi bunyi. Apakah sudah sama antara satu gamelan dengan gamelan lain pada nada dasarnya, dlsb-nya. Termasuk saran untuk belajar ke Mas Giyanto merekomposisi bunyi antar bilahan gamelan tersebut supaya sinkron dan pas menurut antar tangga nada, juga bagaimana menyempurnakan alat nuthuk-nya supaya suaranya enak.
Atas semua proses yang sudah mereka jalankan selama ini, Mbah Nun mengapresiasi kemandirian dan otentisitas proses mereka. Seperti itu pula selayaknya setiap lingkaran-lingkaran yang tumbuh terinspirasi oleh Maiyah. Belajar otentik, mandiri, dan murni. Setelah cukup memberi kesempatan kepada Pak Jokam dan Mas Yoyok, Mbah Nun mendoakan untuk teman-teman yang menyebut lingkaran mereka dengan Tarbiyah Cinta ini.
Berjalan keluar dari ruang latihan mereka, yang berada di seberang rumah Pak Toto, Mbah Nun sempat menyaksikan benih pohon Jambu yang dulu ditanam Mbah Nun sewaktu acara Sabda Leluhur mengenang almarhum Bapak Soebarno, ayahanda Pak Toto, pada 2015. Alhamdulillah benih itu sudah tumbuh menjadi pohon yang besar. Selanjutnya, Mbah Nun dan rombongan diaturi makan malam sembari ngobrol-ngobrol lagi.
Menjelang pukul 23.00, rombongan mohon pamit untuk kembali ke Jogja. Tanpa terasa, karena tidur sih, menjelang subuh rombongan sudah tiba kembali di Jogja. Tiba di Jogja itu ternyata Mbah Nun tidak langsung tidur, melainkan bersiap menulis sebuah kata pengantar untuk buku yang nanti kalau sudah terbit, kita semua perlu banget membacanya. Buku itu berjudul Sejarah Otentik Politik Nabi Muhammad Saw karya Prof. Dr. Husain Mu’nis dari Mesir. Pukul 07.30 kata pengantar itu sudah jadi dan mendarat di email saya. Ah, saya suka dibuat malu kalau sudah seperti ini. (Helmi Mustofa)