Perahu Sandeq dan Inspirasi Budaya Tanding
Masyarakat Mandar adalah masyarakat Maritim. Dari masa ke masa terkenal keulungannya di dalam melaut. Perahu Sandeq menjadi terkenal karena ia menyandang predikat perahu tercepat Nusantara. Konon bahkan perahu tercepat di dunia. Sandeq adalah perahu tradisional milik orang Mandar. Hanya dilengkapi cadik pada kiri dan kanan serta memanfaatkan terpaan angin pada layar untuk bergerak. Dahulu, perahu ini dipakai untuk menangkap ikan.
Setelah modernisasi merasuk, perahu motor hadir menjadi alternatif. Tetapi Sandeq tidak pernah benar-benar hilang. Atas aspirasi sebagian penduduk yang memang profesinya sebagai nelayan, untuk melestarikan perahu sandeq ini dicetuskanlah perlombaan “Sandeq Race”. Perlombaan ini sudah lebih dua puluh tahun berlangsung, adu balap perahu Sandeq dihelat sebagai acara besar tahunan.
Dari Makassar sampai Mamuju, tim Sandeq yang terdiri atas enam orang tiap perahunya diuji ketangkasannya. Bang Aslam, anggota Teater Flamboyan yang menemani kita sepanjang rihlah adalah salah seorang juri Sandeq Race ini. Ia bertugas di tengah lautan ketika Sandeq Race berlangsung. Seru sekali menyaksikan Sandeq beradu cepat katanya, melihat bagaimana effort masing-masing tim untuk memenangkan perlombaan menjadi yang tercepat. Peserta seperti mempunyai tiga nyawa cadangan katanya, saking beraninya mereka beradu tangkas di tengah lautan.
Perlombaan ini memang benar-benar membutuhkan totalitas di dalam mengendalikan layar dan cadiknya, kalau tidak ahli betulan pelakunya, nyawalah taruhannya. Oleh karena itu peserta Sandeq Race haruslah orang yang mahir betul. Harus piawai betul.
Lain Peserta Sandeq Race, lain dengan Bang Aslam. Ia tidak mahir melaut, tetapi ia adalah seorang yang piawai di dunia event organizer. Pantaslah jika ia digandeng Pemprov Sulawesi Barat untuk ikut terlibat di dalam ajang-ajang seperti Sandeq Race ini. Bang Aslam juga aktif membuat event-event Mandiri di bawah bendera EO yang ia miliki. EO-nya namanya KCI, singkatan dari Kenduri Cinta Indonesia.
Aih, pantas saja Bang Aslam begitu apik di dalam menyambut, mengantar dan mengorganisasi perjalanan kita selama #RihlahMandar berlangsung kemarin. Waktu yang ada diefektifkan untuk agenda yang padat dan kita dihantarkan pada destinasi yang lengkap.
Kembali soal perahu Sandeq, ia bukan hanya jago kandang. Perahu ini pernah dirakit khusus untuk ikut terlibat di sebuah perhelatan internasional. Sandeq berhasil memukau tampil di Brest Festival di Paris. Hadirnya Sandeq di Eropa membuktikan bahwa Orang Mandar ini kaum yang mampu untuk tampil unggul dengan memanggul mahakarya warisan leluhurnya, Sandeq.
Saya mengenal Sandeq lebih dekat dari buku yang saya dapati di Dondori Kafe, sebuah kafe Literasi di Majene. Buku berjudul “SANDEQ, Perahu Tercepat Nusantara” ditulis oleh M. Ridwan Alimuddin. “Jangan salah, Bang Ridwan ini ‘anggota’ kita juga”, tukas Amir, salah seorang Anggota Teater Flamboyan Muda. Penyebutan ‘anggota’ ini sebetulnya maksudnya adalah anggota Teater Flamboyan, sama maknanya dengan kebiasaan kita di Jawa yang kerap memakai kata ‘jamaah’, untuk menyebut sesama Jamaah Maiyah.
Sayang, saya tidak sempat bertemu dengan Bang Ridwan ini, karena ia memang sibuk melanglang lautan. Bang Ridwan ini memang seorang yang fadhilah-nya di lautan, ekspertasinya adalah dunia kebaharian. Mengarungi lautan dengan perahu tradisional ke Australia dan ke Jepang, ia sudah pernah jalanin. Aih, mantap! Luar biasa sekali. Bang Ridwan ini dulu sewaktu kuliah di Jogja adalah termasuk yang ikut tinggal di rumah Ali Sjahbana, Sahabat Mbah Nun yang mengajak pertama kali Mbah Nun untuk datang ke Mandar.
Untuk yang belum pernah datang ke Mandar, jangan membayangkan bahwa Mandar ini adalah sebuah suku pedalaman. Bukan. Mandar ini adalah kota modern juga sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia. Bahwa di sini jarang minimarket, di sini orang kebanyakan masih menggunakan BBM Premium hal itu wajar, sebab untuk menjangkau tempat ini perlu setengah malam perjalanan menempuh Jalan Poros Sulawesi, modernitas dari kota metropolitan terdekat lumayan tersengal-sengal untuk hadir di sana untuk merasuki kebersahajaan hidup di Mandar ini.
Buku Sandeq saya baca di Dondori Kafe. Ini tempat asik juga. Terpampang di sana tulisan Kafe Literasi. Di tembok-tembok ada rak buku untuk baca di tempat. Ada pula buku yang untuk dijual. Kafe ini milik Jamaah Maiyah juga, Bang Arifin namanya. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris di Teater Flamboyan.
Ketika Kafe-kafe marak dibuat untuk nongkrong, Bang Arifin memberanikan diri membuat sentuhan berbeda di kafenya, kafe literasi. Tampak di temboknya lukisan empat tokoh: Mbah Nun, Gus Dur, Baharudin Lopa, dan Soekarno. Dalam suasana santai Bang Arifin mengobrol dengan rombongan #RihlahMandar seputar dunia literasi. Sangat tepat topik obrolan, karena di dalam rombongan ada penggiat Literasi muda dari Surabaya, Semarang, Magelang, Purwokerto, Lampung, dan Samarinda.
Masih ada lagi Jamaah Maiyah sekaligus anggota Teater Flamboyan yang menginspirasi, namanya Kak Hijrah. Di rumah keluarga Kak Hijrahlah kita menginap selama berada di Mandar kemarin. Ia adalah seorang guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sebuah MTs. Selain menjadi guru, Ia juga mempunyai banyak kiprah. Kak Hijrah ini pada saat kuliah di Jawa dulu sempat beberapa tahun ikut terlibat menjadi bagian dari KiaiKanjeng, menjadi vokalis.
Selain kegiatan mengajar dan pengalaman menjadi vokalis, Kak Hijrah ini juga seorang aktivis sosial. Ia tergabung dalam Yasmib Sulawesi, yakni sebuah LSM besar di Sulawesi yang kerap menjadi mitra Pemerintah Pusat maupun lembaga Internasional ketika mereka mengerjakan project di seputaran Sulawesi. Saat ini project yang sedang ditangani adalah advisori penyusunan kebijakan untuk lansia di Kabupaten Polewali Mandar, kerja sama Kementerian Sosial dengan Pemkab setempat.
Sosok inspiratif satu lagi adalah Ahmad Zinnun, pemuda kelahiran 1994 ini tidak lain adalah anak dari Bang Tamalele, ‘panglima’ Jamaah Maiyah di Tanah Mandar. Bang Zinnun ini sengaja pulang dari pekerjaannya di Mamuju yang berjarak tiga jam perjalanan dengan sepeda motor, demi bisa ikut menyambut 16 rombongan #RihlahMandar.
Bang Zinnun ini seorang anak muda berbakat, selain pekerjaan sehari-hari menjadi staf DPRD Prov Sulbar, ia adalah seorang instruktur diving. Ia kerap mendampingi tamu-tamu yang hendak berlatih menyelam dan hendak menikmati indahnya bawah laut perairan Mamuju.
Aih, sayang kita tidak diajak oleh Bang Zinnun ini. Akan tetapi, kalau diajak pun, tidak ada diantara kita yang bisa menyelam. Ketika hari terakhir di ajak ke Pantai Dato Majene saja, teman-teman sudah kegirangan minta ampun. Menikmati laut yang jernih, pasir putih, ombak yang bersahabat serta panorama sunset. Itu semua sudah lebih dari cukup untuk teman-teman dari Semarang yang meski punya laut tetapi tak dapat mencebur sembarangan. Lebih-lebih untuk teman-teman dari Wonosobo yang jelas-jelas tidak punya laut.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat dari Bang Amru Sadong ketika menjelang kami pamitan kepulangan. “Jadikan persambungan kita di Maiyah ini jalan untuk kita menyambung silaturahmi yang lebih luas”. Ya, ada begitu luas persambungan yang mungkin dijalin antara saudara Al-Mutahabbina Fillah dari dua pulau yang berbeda ini. Bang Amru menyampaikan bahwa saudara-saudara dari Jawa yakni kita-kita ini jangan merasa hanya diterima oleh Teater Flamboyan saja, tetapi kita semua sudah diterima oleh seluruh Mandar. Begitulah prinsip yang berlaku di Mandar.
Ungkapan pelepasan Bang Amru yang terbilang pendek ini sangat selaras dengan yang disampaikan Mbah Nun dan Mas Sabrang tentang ‘Maiyah yang inklusif’ yang sudah diresonansikan semenjak tahun lalu itu. Dari saudara-saudara kita di Tanah Mandar itu kita belajar, bahwa Orang Maiyah itu menginspirasi. Di manapun saja berada, apapun saja peran kita.