CakNun.com

Pak Tanto Mendut: Ini Tempat Ibadah Bernama Sinau Bareng

Sinau Bareng “Urip Iku Urup”, Ngluwar, Magelang, 24 Januari 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 3 menit

Betul tak habis-habis kejutan dalam Sinau Bareng, malam ini pula di lapangan Danurojo. Masih, masih Sinau Bareng yang tanggal 24 Januari 2019 M ini juga. Terpaksanya laporan atas kejadian-kejadian ini dipisah, karena sayang sekali bila kita kehilangan fokus momen. Baru saja kita mengalami kejutan atas spontanitas Pak Nuriadi yang bisa pembaca budiman lihat pada reportase sebelum ini. Dan kemudian kita dikejutkan oleh Pak Tanto Mendut.

“Sama-sama kita simak Begawan Pandito Sutanto Mendut,” ujar Mbah Nun, Pak Nuriadi yang tadi berjogetan itu duduk di sebelah Mbah Nun menepati janji untuk menyimak tanpa mengeluarkan keliarannya yang brutal. Pak Sutanto Mendut memang selalu mengejutkan dengan kalimat-kalimat yang sering liar, nakal dan tak dikontrol oleh mazhab-mazhab etika. Para hadirin dan jamaah tampaknya sudah menyiapkan kuda-kuda batin untuk menerima kesegaran yang riang dari Pak Tanto dan di situlah kita tak menyangka.

Pak Tanto Mendut mengawali dengan mengucap salam “assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh” Apa ini? Khusyuk betul? Tidak seperti Tanto Mendut yang biasanya itu, oh mungkin Pak Tanto sedang membercandai satire para agamawan-agamawan yang terkungkung mazhab dan tarekatnya sendiri, biasalah Pak Tanto. Tapi ternyata tidak, malam ini Pak Tanto Mendut tidak seperti biasanya yang merentetkan kata-kata seperti senapan mesin, mempersetankan segala batasan. Kali ini bahasa beliau tertata, Tanto Mendut yang hadir malam ini di Ngluwar, Magelang adalah Tanto Mendut yang mbegawan pinandito dan adalah Tanto Mendut yang manusia dengan instrumen haru. Seperti jelmaan imam-imam dari sebuah zaman yang terlupakan.

“Saya kira di dalam kehidupan ada sesuatu yang kita impikan, kita rencanakan seperti kehidupan kita sehari-hari. Tapi saya bersaksi sementara di sebelah sana ada pengajian yang isinya marah-marah, sebelah sana ada yang merasa paling benar, sebelah sana lagi ada yang hanya bicara mazhabnya sendiri. Tapi sesungguhnyalah pengajian yang malam hari ini yang di luar rencana….” Pak Tanto menyebut Pak Nuriadi sebagai ustadz yang benar-benar manusia dan itu hanya bisa mendapat tempat di Sinau Bareng. Sebagai pengantar, Pak Tanto menyebutkan besok hari beliau akan bertemu dengan berbagai macam jenis tamu, dari Ramos Horta yang presiden Timor Leste, seorang wantimpres dari ormas tertentu yang diaku sebagai yang terbesar di negeri ini saat ini, juga dari berbagai komunitas agama, kepercayaan, berbagai bangsa dan menurut Pak Tanto Mendut mereka semua memiliki satu kesamaan yakni sedang mengalami gejala “kegelisahan spiritual”. “Dan dari itu semua, tuhan memilih tempat ibadah yang bernama Sinau Bareng” Ini momen yang tidak akan sering kita jumpai, kata-kata Pak Tanto Mendut tercekat dan air matanya menetes, malam hening. Hujan pun enggan mengusik.

“Cak Nun memberi kesempatan tentang artinya kemanusiaan. Saya kira malam ini saya bisa merasakan haru sekaligus bahagia. Saya bersaksi, Cak Nun dan kalian semua adalah orang-orang yang beruntung” dan air mata itu betul-betul tidak lagi tertahankan, entah apa yang dipendam Pak Tanto Mendut. Dengan segala pemahaman beliau mengenai kebudayaan dan peradaban-peradaban dunia, dengan segala hasil pertapaan beliau di kuil-kuil tempat lahirnya peradaban, ada makna apa Pak Tanto menyebut Sinau Bareng sebagai tempat ibadah?

Kita berada pada titik puncak peradaban saling tidak percaya, untuk diakui sebagai pemihak perdamaian orang harus manut dan tunduk pada definisi perdamaian yang dibuat bukan olehnya sehingga harus ikut memusuhi pihak yang dianggap ancaman dari perdamaian. Hasil akhir paling mentok dapat nobel dan nonsense belaka dalam capaian peradaban, hanya membawa pertikaian baru lagi. Pak Tanto menyebut bersamanya ada seseorang anggota FPI dan sangat ramah ketika sedang Sinau Bareng. Tapi di tempat lain, latar belakang seperti ini akan membuat dia tidak diterima. Padahal bisa saja dia menjadi inspirator dari komunitasnya untuk sama-sama lebih ramah dan lebih jembar penerimaan. Tapi bagaimana bila orang masih saling curiga atas latar belakang orang lain? Di mana letak penerimaan?

Entah berapa kali Pak Tanto Mendut mengucapkan kalimat “inilah audiens yang akan mengejutkan…” mungkin keterbiasaan para sedulur JM dalam menerima spontanitas, ketidakterdugaan adalah bekal yang sangat penting untuk merengkuh misteri masa depan yang akan penuh kejutan. Pak Tanto Mendut tidak berlama-lama, Begawan Pandito Tanto Mendut seperti seorang petapa di tengah kuil-kuil di Judea, di Syria, di Babylon, di Yunani, di Alexandria, Tiongkok, Nusantara. Ada orang-orang yang ditakdirkan menyaksikan timbul-tenggelamnya peradaban dan seperti para imam ribuan tahun lalu yang tengah melihat petanda akan lahirnya peradaban baru, Sang Begawan mengudar sabda harapan dan doa

“Semoga Cak Nun terus seperti ini, merawat komunitas ini yang non Sunnah wal Jamaah, non Wahabi, non FPI, non HTI, non label apapun. Saya bersaksi demi Allah inilah audiens yang akan mengejutkan peradaban manusia di masa depan”

Dan air mata, dan hujan menutup kalimat Sang Begawan.

Lainnya

Samudera Spontanitas Ilmu Pak Nuriadi

Samudera Spontanitas Ilmu Pak Nuriadi

Saya rasa saya mesti kembali menuliskan dengan angle first person, karena kejadian tidak terduga malam hari ini agak sedikit di luar jangkauan pandang saya.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Exit mobile version