“Orang Gila”
Hari masih pagi, orang-orang berangkat subuhan ke masjid. Terdengar deritan kursi bambu di teras depan. Jendela belum dibuka. Masih gelap.
Ah, pasti si Nur.
Kubuka jendela. Benar saja, sambil senyum-senyum kadang diikuti tawa panjang Nur menyambutku. Asem.
Nur gadis belia. Baju dan rok lusuh. Rambut acak-acak. Orang-orang menyebutnya gila. Anehnya betah sekali bertandang ke teras rumah kontrakan Emha. Sejak subuh sudah datang. Lalu pergi lagi. Siang dan sore, kadang malam-malam bertamu lagi. Kami, semua penghuni tidak merasa terusik. Tak pernah mengusirnya.
Kadang, malah, di saat Emha menemui tamu-tamunya tiba-tiba dari balik tirai Nur melongok. Kemudian tanpa sungkan ikut duduk di kursi yang kosong. Banyak tamu-tamu yang jengah tapi tidak berani menunjukkan ketidaksukaannya di depan Emha.
“Nur…!” sapa Emha.
Nur hanya tersenyum, matanya kosong. Lalu Emha menceritakan sekilas siapa Nur kepada tamunya.
Nur, entah siapa nama lengkapnya, sebagaimana gadis yang tumbuh dewasa, jatuh cinta dan saling cinta dengan laki-laki pujaannya. Sekian lama pacaran tiba-tiba pacarnya menghilang. Bisa jadi mahasiswa yang sudah selesai kuliahnya lalu pulang kampung. Nur patah hati dan stress.
Kesempatan lain bertandanglah seorang tamu, sebutlah seorang ustadz. Saat berbincang dengan Emha, Nur dari arah jalan raya berlari kencang sekali menuju arah teras rumah dan bruk, ikut duduk pas di kursi samping tamu. Perbincangan terhenti. Sang tamu kaget dan berusaha menjauh mencari tempat duduk lain.
“Jika kepada orang yang dianggap gila kau merasa jijik karena menganggap diri lebih bersih dan suci, sekarang juga silakan pulang!” kata Emha tegas.
Emha mengatakan bahwa memperhatikan dan memberi empati terhadap orang yang butuh perhatian saja enggan dan merasa jijik; maka jangan diharap mampu melayani masyarakat secara luas. Tugas pemimpin, ustadz atau kiai adalah melayani rakyatnya atau umatnya.
Dengan rasa sesal dan bersalah sang tamu meminta maaf kepada Emha dan berterima kasih telah diingatkan.
Entah kenapa banyak orang “gila” yang terseret magnet Emha. Bukan hanya Nur, beberapa orang “gila” datang ke rumah kontrakan di Patangpuluhan, bahkan mengunjungi acara-acara Emha di berbagai tempat.
“Emha, keluarlah!”
Teriakan dari luar sangat terdengar di dalam rumah. Hanya dibatasi ketebalan tembok. Teriakan kembali terdengar. Jam menunjuk angka 8 malam. Magrib baru saja lewat. Pesawat televisi menyiarkan acara Kethoprak. Acara kesenian yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar Warga Yogyakarta.
“Emha harus bertanggungjawab!”
Saya keluar rumah. Dua orang anak muda menenteng tas besar. Yang satu terduduk lunglai, satunya berdiri berkacak pinggang teriak-teriak. Lalu saya ajak masuk ke teras. Emha keluar dari kamar. Berceritalah salah satu tamu, sementara yang tadi teriak-teriak diam menunduk dan menangis.
Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa dari Malang. Sengaja datang untuk menemui Emha. Sebenarnya yang ingin bertemu dengan Emha hanya satu orang, kawan satunya hanya menemani. Sang mahasiswa merasa bertanggung jawab terhadap bobroknya masyarakat dan bangsa Indonesia. Merasa tak mampu harus berbuat apa; dalam pikirnya, sosok Emha-lah yang berkelebat dan harus ikut bertanggung jawab.
“Sanggalah yang kalian sanggup menyangganya. Kewajiban kalian adalah menyelesaikan kuliah!”
Kata-kata Emha tidak sesingkat itu. Tapi intinya begitu. Kemudian mereka dipersilakan istirahat. Melemaskan kembali urat syaraf yang tegang. Tak perlu menunggu lama, kepala di atas bantal, meskipun beralaskan tikar pandan, kelelahan yang sangat menyergap mereka tak mampu ditahan-tahan, Bagai disirap matra, mata terasa berat. Pulaslah.
Esok paginya, usai sarapan dan diberi sekadar ongkos transport mereka kembali ke Malang dengan hati dan pikiran yang lebih fresh.