CakNun.com

Orang Berpuasa atau Manusia Puasa

dr. Ade Hashman, Sp. An.
Waktu baca ± 8 menit

Kurikulum pendidikan Shiyam Ramadlan dalam 3 jenjang

Selama sebulan atau tiga puluh hari berpuasa ini, para ulama sering membagi puasa menjadi 3 bagian dalam rentang per-10 hari-an, yang memiliki titik tekan dan pencapainnya masing-masing. 10 hari pertama adalah masa adaptasi secara fisik, yakni jenjang puasa jasmani (berdimensi fisik). Inilah periode saat beradaptasi terhadap irama jadwal makan yang baru saat sahur dan waktu berbuka, juga penyesuaian dalam konteks mengurangi jumlah asupan makanan. Demikian pula ada adaptasi biologis terhadap irama tidur. Periode ini mewakili fase pendisiplinan terhadap fisik jasmani kita.

Dalam dunia kesehatan, kini telah terbukti luas manfaat puasa bagi kesehatan jasmani. Penelitian terbaru misalnya, Prof.Dr.Noboru Mizushima dari Tokyo Medical University mengatakan “orang yang menjalani proses kelangkaan makanan, ia telah memfasilitasi mekanisme daur ulang bagi sel-sel didalam tubuhnya untuk menyapu sel-sel yang aus dan rusak. Dalam tinjauan biokimiawi terbaru, berpuasa itu mengaktifkan proses autofag seluler (pencernaan sampah dalam sel) & apoptosys, mengakibatkan terjadi proses detoksifikasi dengan membersihkan sampah-sampah seluler (zombie sel).”. segudang fakta klinis lain yang akan panjang lebar untuk membahas hikmah puasa dari kesehatan ini. Dan bukankah Rasulullah saw sendiri juga mengatakan secara eksplisit “Berpuasalah niscaya kamu sehat”.

Pada 10 hari kedua, diharapkan kita naik kelas masuk pada fase jenjang puasa nafsani (berdimensi psikologis). Di fase ini kita melatih kedisiplinan diri khususnya dari segi mental kejiwaan. Dari segi psikologis, puasa tentu tidak sekedar menahan makan dan minum atau sekedar persyaratan sah secara fiqih saja. Namun puasa harus disertai peningkatan pemahaman tentang apa yang sesungguhnya harus kita tahan selama kita menjalani ibadah shiyam ini. Nabi saw menjelaskan keharusan yang semestinya dijalani melebihi sekedar makan minum dalam berpuasa ini dengan mengatakan “Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Tetapi puasa adalah menahan diri dari lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya ‘Aku sedang berpuasa, sedang puasa””. Mengontrol emosi, meninggalkan perbuatan yang tidak produktif, menjauhi aktivitas yang tidak menambah nilai kemanusiaan, meninggalkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya seperti : dusta- perilaku kasar agresif- bergihibah- berdusta- mengumpat- berkata-kata kosong dsb.

Puasa yang tidak memberi dampak terhadap fisik dan kejiwaan, hanyalah puasa yang ibaratnya hanya mengubah jadwal makan minum & istirahat saja. Kini popular istilah sinisme dalam dunia politik :”kampret vs cebong”. Saya tergoda untuk merenungkan, bagaimana bila fenomena istilah cebong-kampret ini bukan sekadar meme sarkastik politik? Bagaimana jika ini sebuah pertanda isyarat atau amsal zaman? Yang jelas menjadi cebong dan kampret di dunia hewan adalah suratan Ilahi, itu merupakan kemuliaan bagi mereka. Tapi berlaku seperti cebong atau kampret, atau mengatribusikan percebongan dan perkampretan pada manusia adalah pelecehan terhadap kemanusiaan.

Dalam kaitan dengan puasa, hindarilah “model puasa kampret dan cebong”. Kampret berpuasa pada siang hari, namun justru “berpesta pora” divmalam hari. Manusia adalah makhuk diurnal bukan species nokturnal seperti kampret. Sistem pencernaan manusia secara fisiologis dirancang untuk mengkonsumsi secara baik bagi kesehatannya pada siang hari bukan pada malam hari. Jadi berpuasa disiang hari dan melampiaskan konsumsi dimalam hari adalah seperti pola kampret yang nokturnal.

Lalu bagaimana pula model puasa yang dijalani kecebong? Ternyata menurut literatur, kecebong yang aslinya mahkluk herbivora ketika mengalami krisis makanan berubah tabiatnya menjadi pemakan segalanya bahkan bersifat kanibalis (memangsa saudaranya sendiri) Ramadlan-lah saatnya kita kembalikan marwah dan kehormatan manusia dengan tidak melabel pada sesame saudara-saudara kita dengan gelar-gelar yang tidak simpatik yang menurunkan derajat kemanusiaan.

Dan pada 10 hari ketiga terakhir, diharapkan kita akan sampai pada level yang bersifat Rabbany (level spiritual), yakni perolehan prestasi secara ruhani. Dengan mujahadah (berjuang sungguh-sungguh) kita berharap meraih pencapaian prestasi ruhani itu seperti yang disimbolkan dalam pertemuan dengan Laylat al-Qadr. Laylat al-Qadr sendiri digambarkan sebagai malam yang mampu “melipat ruang dan waktu secara quantum” yang analog dengan waktu bernilai lebih baik dari 1000 bulan. Tentunya bagi yang mendambakan ampunan Ilahi, limpahan pahala dan kesempatan melipatgandakan kebaikan, dan merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, malam Laylatul Al-Qadr merupakan moment yang sangat istimewa dan ditunggu-tunggu..

Bila kita mampu melampaui tiga jenjang hirarki dalam per-sepuluhan disaat Puasa maka diharapkan saat memasuki satu Syawal kita akan terlahir kembali menjadi manusia atau disebut menjemput kembali fitrah asli kemanusiaan kita. Jika Ramadlan bermakna “membakar”, maka Syawal secara generik artinya “meningkat”. Diharapkan memasuki bulan Syawal terjadi peningkatan kwalitas diri, penambahan bobot kepribadian bukan peningkatan berat badan. Hidup harus dijalani secara progresif berubah hari demi hari waktu demi waktu menuju perbaikan. Orang beriman pantang berprinsip “aku masih seperti yang dulu”. Para muballigh sering membuat perumpamaan, jika pada Bulan Sya’ban kita masih seperti ulat yang rakus dan menjijikkan maka memasuki Ramadlan kita di gembleng-ditatar-dididik dengan institusi Ramadlan untuk menjadi kepompong, hingga pada akhirnya memasuki bulan Syawal kita laksana menjadi kupu-kupu yang berpenampilan indah dan membawa kemanfaatan bagi kehidupan.

Dan sesungguhnya, nilai puasa (shoum) sebenarnya baru akan teruji dan dimulai justru ketika Ramadlan berakhir.

Wallahu’alam bi al shawab.

Sangatta, 12 Mei 2019

Lainnya

Exit mobile version