Neither Nor
Dalam hidup yang penuh dengan pilihan-pilihan, kita dituntut untuk menentukan pilihan. Jika ada pilihan antara A dan B, kita diseret untuk menentukan memilih A atau B, pilihan untuk tidak memberitahukan pilihan antara A atau B tidak dianggap sebagai pilihan, kita dipaksa untuk mengumumkan memilih A atau B.
Dan di kondisi yang penuh dengan polarisasi ini, untuk menegaskan diri menjadi orang yang tidak pro atau tidak kontra terhadap sesuatu adalah persoalan yang sulit dalam konteks hubungan sosial masyarakat. Tidak peduli apapun profesinya, kita dipaksa untuk pro atau kontra. Dan untuk menjadi manusia yang memposisikan diri mampu melihat kejernihan dari setiap isu, risikonya adalah menjadi kelompok yang tidak akan dilihat, tidak diperhitungkan.
Genderang bertalu ditabuh, sangkakala perang telah dibunyikan. Beribu bahkan berjuta dari dua pasukan sudah berhadap-hadapan, siap saling membumi hanguskan lawan. Sri Bathara Kresna telah rampung menyusun strategi untuk memenangkan Pandawa, begitu juga Maha Patih Sengkuni telah mengantogi siasat pemenangan Bala Kurawa. Perang saudara Baratayuda nyaris mustahil untuk dibatalkan.
Namun kali ini ada yang janggal di panggung padang Kurusetra. Biasanya, Janoko (Arjuna) beserta tokoh-tokoh protagonis berada disisi kanan, sedangkan Basukarno (Karna) beserta Bala Kurawa berada disisi kiri. Entah salah setting posisi atau keliru peran wayang. Tokoh-tokoh Antagonis Bala Kurawa beserta koalisinya justru sering muncul di sisi kanan, sebaliknya pasukan Pandhawa cenderung tampil di sebelah kiri. Wajar jika kemudian muncul kecurigaan dan pentingnya kehati-hatian penonton dalam menentukan keberpihakan kepada tokoh Pandawa-Kurawa yang sedang bermain diatas panggung.
Normalnya, seorang dalang mempunyai kontrol penuh atas setiap wayang pada lakon cerita yang sedang dimainkan. Tidak di panggung saat ini, yang sedang terjadi justru banyak dalang sedang rebutan wayang. Di balik layar, ada pertarungan antar dalang yang berebut peran untuk memainkan wayang. Bahkan tidak jarang, dalang-dalang menancapkan modal kekuasaannya di kedua belah pihak. Akibatnya nampak gerakan-gerakan wayang yang tidak enak ditonton. Bagaimana tidak, satu wayang bergerak dan digerakkan oleh beberapa dalang sekaligus. Sangat mungkin masing-masing dalang berbeda kepentingan. Boleh jadi mereka akan berebut untuk memunculkan suara kepentingannya melalui mulut wayang yang sama.
Terlepas dari pertarungan antar dalang di balik layar, the show must go on. Pertunjukan wayang harus terus berjalan. Masing-masing pasukan sudah mati-matian berusaha untuk memenangi peperangan. Penggalangan kekuatan, pengumpulan amunisi senjata serta perbekalan, penyusunan berbagai strategi dan siasat perang hingga latihan jurus-jurus mematikan telah diusahakan untuk memenangi setiap adegan pertarungan. Lebih banyak peristiwa yang berlangsung ketimbang yang akhirnya dapat muncul di panggung pertunjukan.
Gemetar siku Karna merentangkan busur Panah Pasopati mengarah ke Arjuna, yaitu adik kandung yang sedang memperbaiki roda kereta karena terperosok. Tidak, tidak begitu pakem cerita yang benar. Sebaliknya, semestinya Arjuna yang membidik Karna dan menewaskannya. Untuk sebuah pertunjukan wayang yang absurd dengan banyak dalang dan banyak kepentingan, apapun bisa terjadi. Tapi bagaimana dengan adegan Ibu Kunthi yang sedang menyaksikan kedua anaknya saling berusaha membunuh itu. Bagaimana para dalang arogan di balik layar akan menghadirkan adegan seorang ibu kandung yang sedang menyaksikan kematian anak kandung di tangan anak kandung lainnya.
Berpihak kepada siapa kita sebaiknya? Kurawa atau Pandhawa? Apakah sudah pasti Pandhawa itu baik dan Kurawa itu buruk? Siapa yang lebih baik, Kresna atau Sengkuni? Dan hari ini, manakah yang lebih baik? Kiri atau Kanan? Sosialis atau Kapitalis? Radikal atau Liberal? Moderat atau Konservatif? Bahkan dulu, Bung Karno pernah menyatakan bahwa Sosialisme di Indonesia itu tidak sama dengan Sosialisme Uni Soviet, Cina, bahkan Yugoslavia. Ke mana sebenarnya arah Negara ini akan dibawa? Kapitalis atau Sosialis? Nyatanya, Negara dan Pemerintah saja, kita masih gagap membedakan. Indonesia ini sebenarnya Republik atau Kerajaan? De jure-nya adalah Republik. De facto?
Di panggung sejarah, kematian dan kelahiran setiap peradaban masih dapat kita tonton melalui berbagai literasi. Bahkan dari kisah anak-anak Adam AS, yaitu perkelahian Habil dan Qabil masih dapat kita ambil pelajaran darinya. Tentu akan sangat bodoh jika dari kisah itu lantas hanya menghasilkan keberpihakkan pro-Habil ataupun pro-Qabil. Begitupun dengan pelajaran dari panggung sejarah, lenyapnya kerajaan Sulaiman, hancurnya perdaban Mesir, Yunani dan Romawi, kelahiran abad Renaissance dan Revolusi Industri, Perang Dunia kesatu dan Perang Dunia kedua, hingga adegan-adegan Kemerdekaan, Revolusi di Orde Lama, Reformasi paska Orde Baru yang terjadi di negeri ini. Sangat merugi jika dari panggung sejarah itu kita hanya mendudukkannya sebatas persoalan pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme semata.
Islam memiliki konsep Ummatan Wasthan, khairul umuuri ausatuhaa, Laa syarqiyah wa laa gharbiyah. Mungkin konsep paling mudah adalah kosong. Seperti gelas, jika kita selalu memosisikan diri sebagai gelas kosong, maka kita akan sanggup menerima limpahan informasi yang datang dari mana saja, tanpa batas. Dalam khasanah Jawa kita mengenal istilah Sak madya, karena hidup berlangsung begitu dinamis. Kebenaran hari ini belum tentu akan berlaku sebagai kebenaran di kemudian hari. Masih ingat tentunya bulan lalu di Kenduri Cinta kita belajar bersama tentang konsep fakta dan makna.
Apalagi terhadap pertunjukan ritual pesta-demokrasi lima tahunan yang kita saat ini sedang berada di tengahnya dan mungkin terlibat di dalamnya. Mau tidak mau, kita bakal turut menyaksikan dan mungkin terlibat dalam pilpres dan pemilu yang katanya berasaskan Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Walaupun di pertunjukan itu kita jumpai tidak langsung, tidak umum, tidak bebas, tidak rahasia, tidak jujur dan tidak adil.