Multidimensional Novi Budianto, Multilayer Reality
Malam itu, Minggu 24 November 2019, pendopo Rumah Maiyah menjelma menjadi ruang pameran. Benar-benar sebuah art space. Orang-orang yang datang langsung menghambur mendekati karya-karya visual yang terpajang begitu seremoni pembukaan selesai. Satu per satu mereka memandangi setiap lukisan dan goresan di situ. Itulah suasana Pameran Visual Hitam Putih karya Novi Budianto–yang familiar dipanggil Pak Nevi. Pameran ini sendiri berlangsung sejak 24 November hingga 27 November 2019.
Ada 17 lukisan hitam putih yang dipajang di dinding bagian atas pendopo, dan 1 yang diletakkan di antara dua pilar pendopo rumah Maiyah dengan dihias kain warna putih. Kemudian dari sebuah kotak hitam, keluar kertas panjang, yang terpajang di bawah ketujuhbelas lukisan tadi, terulur dari sisi selatan, ke barat, lalu ke utara, dan balik ke timur di dinding utara. Uluran ini membentuk letter U. Di sepanjang kertas yang terulur dan terpajang di dinding kayu itu, orang-orang menyusuri goresan tangan hitam putih Pak Nevi. Kabarnya seluruh lukisan yang dipajang di Rumah Maiyah ini menghabiskan lebih dari seribu ballpoint. Semua karya visual ini memang dibuat hanya menggunakan ballpoint.
Saya pun ikut di antara orang-orang yang menikmati. Untuk hal ini, beruntung Pidato Kebudayaan Pak Simon HT mengantarkan kemerdekaan. Dikatakan oleh beliau, selama ini dunia seni kita terkungkung oleh sebuah rezim, dan rezim itulah yang menentukan ini seni ini bukan, ini aliran ini, ini aliran itu, ini bagus ini tidak. Dan kita perlu membebaskan diri dari situ. Pak Nevi sudah selesai sebagai kreator dengan karya yang telah dihasilkannya, dan giliran pemirsa selanjutnya untuk menikmati, mengapresiasi, dan memberikan pemaknaan. Kurang lebih begitu penegasan dan deklarasi Pak Simon.
Pada mulanya hal yang membuat saya senang adalah pameran Pak Nevi ini merupakan kesempatan di mana kita dapat melihat sisi lain atau lebih tepatnya satu dari sekian kekayaan talenta yang dimiliki oleh seseorang bernama Novi Budianto. Pada diri Pak Nevi kita bisa melihat tak sepenuhnya di era late capitalism atau era kontemporer ini dicirikan oleh kenyataan bahwa manusia umumnya dibikin menjadi one dimensional man. Pak Nevi adalah salah satu contoh dari manusia yang tak bisa dijerat untuk menjadi manusia satu sisi belaka.
Resminya kita mengenal Pak Nevi sebagai musisi. Di ranah musik sendiri, Ia juga komposer. Mampu memainkan sejumlah alat musik. Dan juga kita bisa menyaksikan naluri musiknya yang seperti tak terbendung. Mendengar sesuatu bunyi, pasti akan memunculkan reaksi musikal dari dirinya. Nyanyi juga bisa. Waktu teman-teman KiaiKanjeng dan Letto ikut mangayubagyo pameran ini, dan saat menghadirkan alunan keroncong, Pak Nevi juga ikut bersuara di nomor Keroncong Kemayoran. Perlu diingat pula, lebih dari segalanya, dialah penggubah atau pencipta Gamelan KiaiKanjeng.
Selain itu, Pak Nevi juga aktor andal di bidang teater. Silakan lacak sendiri peran-peran yang telah dimainkan. Pak Nevi juga seorang guru, dan mata pelajaran yang diampunya adalah justru seni rupa. Bidang yang bukan merupakan penanda utama dirinya di tengah masyarakat. Dan bersyukur selama empat hari ini, kita diberi kesempatan Pak Nevi untuk menikmati sebagian dari jenis atau karya seni rupanya itu. Pak Nevi juga orang yang religius. Seluruh perjalanan panjang bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng dihayatinya sebagai diperjalankan oleh Allah.
Memasuki Alam Mitsal
Barangkali Anda pernah melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan ini. Kadang atau pernah, saya memejamkan mata, tapi tidak tidur. Mata saya terpejam, tapi masih memandang dengan penuh kesadaran, memandang kegelapan di depan mata saya, yang terpejam itu. Semula seperti hamparan gelap, tetapi lama-lama muncul gambar-gambar sosok, wajah mendekat ke mata. Sosok atau wajah itu rupa-rupa bentuk dan ekspresinya. Kebanyakan tidak seperti yang saya temui di kehidupan ‘nyata’ dengan mata terbuka. Ada yang pandangannya tajam tapi kosong. Ada yang wajahnya seram dan seperti hendak menakut-nakuti. Atau yang sekadar tampak hanya ingin lewat di depan mata. Bermacam-macam kemunculan.
Menikmati lukisan Pak Nevi membawa saya memasuki alam pejam mata itu secara lebih mendalam lagi dan lebih kaya. Pilihan warna hitam putih makin menegaskan ranah alam yang saya masuki itu. Tidak selalu tepat kalau saya sebut mengerikan, menyeramkan, atau horor. Namun, barangkali lebih pas jika kita sebut sebagai tamasya ke ‘alam lain’, tapi kayaknya bukan alam hantu atau jin. Atau tidak menutup kemungkinan disebut lukisan-lukisan itu menunjuk ke alam mitsal. Di situlah kita masih menjumpai irisan manusia secara figuratif maupun sosok, tapi tak sepenuhnya dalam konteks yang sama dengan di alam yang sekarang ini. Sesuatu yang berposisi representasi dari alam yang tak sepenuhnya kita kuasai atau kita sadari. Barangkali itu alam di mana kita dulu pernah mendiami atau akan masuk ke situ pada suatu ketika di masa mendatang.
Di situ, kita melihat kerumunan orang-orang, dengan rambut panjang menjuntai hingga ke bawah, kepalanya mendongak ke atas menghadap sesosok yang lain, dan tak jelas apa yang sedang belangsung, tapi terasa oleh kita suatu suasana yang asing yang sepertinya berada di posisi yang teramat jauh alamnya dari kita. Atau orang-orang yang tertidur miring, meski dimasukkan di dalam kotak televisi, namun kita merasakan suatu atmosfer yang juga asing. Kita diajak lompat ke alam lain itu oleh Pak Nevi, dan dengan warna hitam putih, Pak Nevi membawa ke kedalaman, kelebatan, kekentalan, dan ke keasingan alam itu secara intens.
***
Pertanyaan yang rasanya kurang etis, tapi boleh jadi muncul dalam benak kita adalah apa makna lukisan hitam putih itu bagi penikmat atau pemirsa? Tentu saja, bermacam-macam, sesuai penangkapan masing-masing. Sementara buat saya, sangat sederhana saja. Mata saya terbiasa melihat penampakan yang wadag. Saya belum pernah melihat hantu, jin, atau makhluk-makhluk yang biasa disebut halus. Pernah suatu ketika terpaksa dimintai tolong tetangga yang saudaranya “kesurupan”. Diminta mendoakan. Terdengar dari mulut saudara tetangga saya itu suara yang aneh, tapi tidak tampak oleh mata saya sosoknya, dan memang tidak berharap juga sih.
Kalau bicara seni, mata saya belakangan lebih dimanjakan oleh makin banyaknya desain-desain yang mewarnai setiap kafe-kafe yang bertumbuhan. Seakan mereka sedang mempraktikkan adagium di Inggris bahwa desain adalah urusan hidup atau mati. Design is a matter of life or death. Sementara, kalau di dunia WA, mata saya sedang disuguhi macam-macam foto yang “disiksa” menjadi sticker. Mbak-mbak cantik yang ditempeli kata seperti, “Njih Gus!” untuk mengiyakan suatu pesan yang diterima. Atau gambar seorang tokoh yang tangannya sedang menunjuk ke depan, dan ditempeli kata, “Lanjutken!” Macam-macam visualitas sedang ditundukkan pada kebutuhan komunikasi medsos seperti itu yang sebagian bernada kesegaran dan canda.
Pameran Visual Hitam Putih Pak Nevi bagi saya memberi ruang untuk melihat visualitas yang lain dari yang saban hari saya jumpai itu. Sketsa-sketsa Pak Nevi mengingatkan bahwa realitas tidak hanya yang tampak oleh mata. Bahwa realitas itu berlapis-lapis. Bahwa realitas itu mulilayer, dan Pak Nevi mengajak saya meyadari hal itu. Siapa tahu saya telah terdominasi oleh semua warna-warni yang tampak secara kasat mata di depan saya. Saya diajak Pak Nevi lompat sejenak meninggalkan visualitas yang selama ini sehari-hari memenuhi mata saya itu untuk mengingat multilayer reality.
Yogyakarta, 27 November 2019