Mocopat Syafaat Membincangkan Dialektika Altruism dan Selfish
Dialektika Teori ke Praktik
Terhadap beragam pertanyaan dari jamaah, Mas Sabrang mengulas mengenai dialektika antara teori dan praktik. Menurutnya, manusia adalah salah satu makhluk yang mampu mentransformasikan informasi melalui bahasa. “Itu bedanya kita dengan hewan,” ungkapnya.
Ia menganalogikan betapa penting teori itu lewat keterampilan mengasah gergaji. Mengasah gergaji sudah barang tentu memerlukan teori dan keterampilan. Alat hingga cara asah bukan sesuatu yang terpisah. Keduanya saling melengkapi.
“Ketika melakukan sesuatu pun juga akan melahirkan teori. Banyak aktivitas dalam kehidupan kita, disadari atau tidak, pasti membangun teorinya masing-masing. Tergantung efektivitas dirinya sendiri,” tambahnya.
Secara naluriah, bagi Mas Sabrang, manusia itu membangun teori. Ada yang memperbarui teorinya atau tidak, tergantung pengalaman personal. “Jangan pernah meremehkan teori. Apa yang Anda pelajari dari orang lain itu teori pula,” tandasnya.
Menyambung pertanyaan kedua dari jamaah seputar altruism (mendahulukan kepentingan orang banyak) dan selfish (mementingkan diri sendiri), Mas Sabrang mengatakan, “Di dalam kehidupan bermasyarakat kita tak bisa menjamin mana yang bersedia berbagi atau tak mau berbagi. Salah satu dasar dari altruism adalah pertaruhan yang belum pasti,” responsnya.
Mas Sabrang menghamparkan dua pola. Pertama, memberi kepada orang yang berkecenderungan “mementingkan diri sendiri” maka sekadar akan bermanfaat bagi satu individu. Kedua, memberi sesuatu kepada individu yang memiliki sifat “mendahulukan kepentingan orang banyak” maka akan bermanfaat dan berdampak kolektif.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana meningkatkan populasi altruism? Mas Sabrang menyodorkan strategi dan siasat. “Beri tanda kepada orang yang memiliki kecenderungan altruism atau selfish. Walaupun pada situasi dan keadaan sekarang, kita akan susah membedakan dua hal itu. Yang jelas altruism akan menguat dalam kebersamaan.”
Meningkatkan populasi alturism ditempuh melalui membangun sistem. Bukan sekadar kultur, melainkan subkultur. “Nilainya sebetulnya sudah ada, yakni gotong royong. Tapi gotong royong sampai sekarang baru sekadar nilai, belum dibikin sistem. Kalau dahulu Soekarno baru mempropagandakannya. Kuncinya itu di sistem yang harus dibangun,” pungkas Mas Sabrang.