CakNun.com

Mocopat Syafaat Membincangkan Dialektika Altruism dan Selfish

Majelis Ilmu Mocopat Syafaat Yogyakarta, Selasa 17 Desember 2019
Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Memungkasi tadarus Surat Thaha Ayat 20 bersama Mas Ramli, Mas Helmi naik ke panggung dengan pegiat Rembuk Mocopat Syafaat (RMS), Nahdlatul Muhammadiyin (NM), dan Koordinator Simpul Maiyah. Mas Angga, perwakilan RMS, membagikan khasanah ilmu sepulangnya dari Silatnas di Semarang tempo hari.

“Salah satu hal yang menarik di Silatnas, Simbah bertanya apa bedanya laku lokomotif dengan arus sungai,” ucapnya. Beragam jawaban direspons audiens. Tiap jawaban menitikberatkan pada perbedaan sistem pergerakan antara lokomotif dan arus sungai.

Mas Angga melanjutkan, perbedaan di antara kedua hal itu antara lain ditandai dua hal. Pertama, pergerakan lokomotif ditarik oleh kepala kereta. Kedua, arus sungai didorong oleh mata air. “Kira-kira Maiyah yang mana? Sungai? Lokomotif? Kenapa?” tanyanya kembali.

Berlangsungnya arus Maiyah niscaya karena dorongan kasih sayang dari mata air. Mas Angga menyebut mata air itu adalah Marja Maiyah. Itu kenapa, lanjutnya, sangat penting bagi jamaah Maiyah untuk menjaga ketersambungan. Agar ia menjadi berkah yang senantiasa mengalir. “Meski dalam arus sungai tersebut ada batu di tengahnya, namun arus itu terus berlangsung,” tambahnya.

Ketersambungan di Maiyah mengajarkan antarjamaah mempunyai nilai bersama. Pun juga dalam membangun apa pun, bila disokong spirit kolektif, maka tampak ringan. Termasuk dalam kebahagiaan. Kebahagiaan itu mesti dibagi agar dirasakan manfaatnya secara bersama.

Mas Helmi merespons, kalau sisi kebersamaan dalam cakupan Sinau Bareng, seperti ia kutip dari Cak Nun, “Maiyah itu adalah cetak biru peradaban masa depan manusia. Dan gejalanya sudah pelan-pelan mengarah sana.” Dari pegiat hingga simpul Maiyah, baik di Nusantara maupun mancanegara, telah memperjuangkan nilai bersama agar kemanfaatan dirasakan menyeluruh.

Mas Rizky, salah satu Koordinator Simpul Maiyah, menuturkan setiap penyelenggaraan Silatnas selalu menyimpulkan wacana tahunan. Sebagai contoh, tahun 2014, disepakati Maiyah sebagai benteng arus globalisasi. Setahun berikutnya, kepengasuhan Maiyah kepada masyarakat.

Sedangkan tahun 2019 terdapat tujuh kesepakatan sebagai berikut. Pertama, membentuk Pasukan Wirid Hishbul Maiyah. Kedua, membentuk tim Litbang (penelitian dan pengembangan) tiap simpul. Ketiga, menggali, mendorong, dan mengembangkan segenap potensi keahlian di wilayahnya.

Keempat, mendorong kolaborasi orang Maiyah di pelbagai bidang. Kelima, membuat celengan bersama. Keenam, meneruskan kegiatan produksi pengetahuan. Ketujuh, mengembangkan kebermanfaatan dalam skala luas. “Silatnas kemarin diikuti 131 orang,” ujar Mas Rizky.

Menyeruaknya Kompleksitas

Cak Nun mengajak jamaah untuk berefleksi. “Dari sekian pengetahuan yang dimiliki, lebih banyak mengetahui atau tak mengetahui?” paparnya. Ia hendak menjelaskan betapa kompleksitas dan karut-marut sistem yang menopangnya tak berjalin-kelindan.

Dalam wacana tasawuf, ungkap Cak Nun, lazim diketahui tingkatan “hierarkis” syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. “Saya kira bagi orang Maiyah ada perbedaan cara pandang. Yang pertama hakikat, syariat, tarekat, dan makrifat. Ada dialektika antara substansi ke aplikasi, dari hakikat ke syariat,” tuturnya.

Lompatan dari tarekat ke makrifat dapat dipahami secara personal. Bila seseorang di waktu kemarin belum memahami, namun setelah mengalami, maka bertambahlah pemahaman itu. Bagi orang Maiyah, sebelum melakukan sesuatu tentu saja telah dipahami hakikat lakunya tersebut.

Mas Sabrang mempertajam paparan Cak Nun mengenai dimensi kompleksitas. “Kalau kita melihat kompleksitas situasi sekarang, kita akan melihat ketidakidealan. Itu bukan keadaan yang unik sebab keadaan ini sudah pernah terjadi pada tiap zaman,” jelasnya.

Menurut Mas Sabrang, sistem jual-beli masa silam melalui barter sudah dianggap cukup. Itu disebabkan bahan yang dijual masih terbatas. Setelah sistem berubah menjadi komoditas massal yang kompleks maka dibutuhkan alat tukar lain. “Belakangan kita memakai alat tukar berupa uang. Sistemnya pun juga makin kompleks,” ujarnya.

Alat tukar meniscayakan kesepakatan bersama. Mas Sabrang menyebut jumlah jenis yang dikomoditaskan sekarang sekitar 10 miliar. Lebih banyak ketimbang jumlah penduduk dunia. Maka untuk mengatasi kompleksitas, lanjutnya, dibutuhkan sistem agar menjaga keseimbangan pada komponen yang lebih. Demikian pula dalam sistem bernegara. Kasus dan polanya sama.

Sistem pendidikan juga tak dapat menjawab kompleksitas di masyarakat. Disrupsi sebetulnya menjawab kompleksitas yang baru. Caranya harus baru untuk menjawab kompleksitas yang baru.

Harus menggunakan pendekatan multidisipliner untuk menjawab kompleksitas demikian. Kalau sistem tak dapat menopang kompleksitas maka sekadar menunggu kehancuran. “Maiyah berusaha menjawab kompleksitas itu melalui agama,” jelasnya. Setarikan napas dengan Mas Sabrang, Cak Nun merencanakan adanya Simposium Maiyah sebagai usaha kolektif menjawab kompleksitas zaman itu.

Lainnya

Topik