Millata Ibrahim dan Transformasi Zaman
“Al Qur’an tidak cuma berisi hukum-hukum, moral atau fiqih halal-haram saja. Ada juga hal-hal sederhana yang justru jarang dibahas” itu salah satu hal yang diungkapkan oleh Mbah Nun di desa Muarareja Tegal pada gelar Sinau Bareng tadi malam.
Dalam Sinau Bareng, dalam berbagai majlis Maiyah sangat tampak bahwa segala hal ditempatkan sebagai sama imbang untuk dibahas. Sesekali membahas politik dan kekuasaan, tidak menjadikan dia lebih penting dari urusan-urusan keseharian yang wajar. Hal yang dianggap oleh sebagian kalangan hanya sambil lalu seperti ritual Bersih Desa saat Sinau Bareng di Cirebon beberapa hari lalu, atau soal pernikahan, bahkan malam hari ini Mbah Nun sesekali mengambil sampel soal tradisi khitanan dan mengangkatnya menjadi tema yang sepenting urusan peradaban. Khitanan itu adalah bentuk “millata ibrahim”.
Kalau kita berpikir dengan cara pandang bahwa ada ukuran besar dan kecil yang menentukan penting-tidaknya suatu urusan kita mungkin akan terjebak menganggap betapa remehnya urusan khitanan. Atau urusan pernikahan. Hal soal pernikahan juga sering disinggung oleh Nbah Nun, uniknya kali ini Mbah Nun mengambil sample tentang khitan dengan menyatakan tanya memancing “Penting mana khitanan dengan urusan negara?” tentu para hadirin langsung mengerti jawabannya. Banyak, banyak sekali urusan dalam hidup kita adalah warisan ide dari tradisi keberagamaan dan rasa bertuhan. Sedangkan apabila manusia menggunakan logika negara saja atau sekadar logika ideologi, maka hal semacam ini masih akan ditemukan urgensinya jauh setelah banyak urusan lain telah rampung dibahas dan diformulasikan. Yah sekitar dua-tiga mileniumlah. Jadi, rasa beragama sebenarnya adalah shortcut peradaban. Maka jangan jadikan dia mandek.
Sayangnya, hal-hal semacam ini seringnya tidak dielaborasi dengan serius, persoalan privat dianggap yang kalah urgen dari urusan negara, bangsa, peradaban dan sebagainya yang megah-megah itu.
Tapi Mbah Nun memberi satu sudut pandang “Bocah khitan lebih penting daripada negara”. Peristiwa Sinau Bareng juga dari sudut pandang tertentu adalah perombakan terhadap pola pikir yang terlalu maskulin dan patriarkhis membatu. Over-maskulin maksudnya pola pikir terlalu mengagung-agungkan kebesaran, kemegahan, prestasi yang monumental sementara juga sambil menegasikan atau minimal menganggap sepele hal-hal yang partikel dalam hidup, yang dapur, yang privat. Salah satu persoalan ketimpangan gender adalah ketidakadilan dalam memandang hal semacam ini sebenarnya. Cara pandang kita terhadap sejarah dan ilmu sosial akhirnya terbentuk dengan ketergila-gilaan pada kebesaran candi, bangunan, infrastruktur dan sejenisnya. Kita masih berkutat pada nama besar, sosok tenar. Masih sering meributkan apakah Borobudur dibangun oleh Raja Jawa atau Sulaiman, sambil melupakan orang-orang kecil, penduduk desa maupun pekerja kasar yang pastinya ikut terlibat dalam struktur pembangunan candi megah itu. Sejak kapan kita tergila-gila pada kemegahan?
Sinau Bareng justru konsentrasi pada hal-hal yang terlupakan ini. Ada sisi feminin, keibuan, pengayoman dan kepengasuhan tanpa pilih kasih.
Seperti ketika Mbah Nun menjelaskan bahwa dalam hidup ini kita secara natural lebih akan patuh pada ibu, sosok yang mencintai dan melahirkan kita daripada otoritas ekspert. Kita mungkin bisa mulai membangun mental yang ekspert dalam keilmuan tapi tetap berjiwa pemomongan. Ekspertasi mungkin belum menjadi masalah, bahkan pada ranah praksis sangat dibutuhkan. Dia jadi masalah ketika dia mengambil peran otoritas baku yang tidak memungkinkan disanggah. Apalagi kalau sudah dikawinkan tidak sah dengan wacana relasi magis pengkeramatan sosok. Bencana yang dilahirkan kemudian adalah terhentinya proses perkembangan ilmu. Karena imajinasi kreatif dimandekkan. Pertanyaan dan sanggahan ditabukan. Pada Sinau Bareng dengan tema Syukur pada malam hari ini, ekspresi tampak jelas. Sahut-sahutan para jamaah kadang menimpali. Walau tentu dengan batas adab dan akhlak yang juga tetap dikedepankan.
Tegal tampaknya rindu tak habis-habis pada nada-nada kemesraan KiaiKanjeng dan sikap kepengasuhan yang selalu ada pada Mbah Nun. Lokasi acara yang merupakan jalanan desa di depan kediaman Pak Adi, dipenuhi para jamaah yang mulai berdatangan tanpa henti sejak ba’da Maghrib. Dan kemesraan langsung dimulakan ketika pukul 20.00 WIB KiaiKanjeng melantunkan Shalawat Badar bersamaan dengan itu Mbah Nun juga menuju panggung bersama penyelenggara. Sedikit agak malam, ketika sedang berjalan Sinau Bareng, hadir pula Pak Wakil Wali Kota Tegal, Pak Jumadi.
Kembali membahas “millata Ibrahim” yang salah satunya adalah soal khitan. Menurut Mbah Nun ini adalah penanda transformasi kedewasaan. Dimana seseorang sudah mesti lebih jangkep dan mulai serius menemukan dirinya. Namun sesungguhnya selama kita hidup kita terus bertransformasi, bahkan kematian pun juga sesungguhnya adalah sebentuk transformasi itu sendiri. Dari soal khitanan, kita kemudian bertualang menjangkau awal-awal mula peradaban dari kisah para nabi yang selalu Mbah Nun punya sudut pandang yang menarik yang selama ini belum banyak digali. Juga dengan sesekali dilengkapi pengetahuan kitab-kitab sang Kiai Madura, Yai Muzammil.
Sinau Bareng rasanya adalah peristiwa dimana manusia diajak untuk bebarengan mengasyiki Al-Qur’an. Dalam satu kesempatan Mbah Nun menunjukkan, “Buku hanya informasi. Sedangkan Al-Qur’an berisi informasi, hidayah dan cinta. Dan membaca Al-Qur’an tidak harus pintar.” Kegembiraan tadabbur itu benar-benar terasa. Buat apa ber-Al-Qur’an kalau tidak asyik? Di Sinau Bareng kita konsentrasi pada kebersenangan manusia.
Panggung KiaiKanjeng yang disetting tidak terlalu tinggi dengan ukuran-ukuran teknis cahaya dan sound yang pas untuk membahasakan konsep gembira dan egaliter bahkan seperti “dikepung” dari berbagai arah oleh para jamaah. Seperti dikepung rindu.
Ada nomor “One More Night” karya Maroon 5 yang dibawakan dengan meriah disambungkan dengan Cublak-Cublak Suweng dan Gundul Pacul. Ini bukan pertandingan Barat vs Timur. Seperti kata Mbah Nun sesungguhnya semua tempat kita berpijak adalah pusat dunia sebab bumi itu bulat. Orang Jawa bilang pusat bumi ada di Jawa. Orang Sulawesi bilang manusia pertama turun di gunung Bawa Karaeng, suku Apache di Amerika mungkin punya versi sendiri, beberapa suku Afrika percaya leluhur manusia berasal dari tanah mereka, orang Nordik di Eropa sana meyakini alam semesta berasal dan berpusat pada pohon Ygddrasil.
Semua itu, adalah produk kesadaran manusia yang martabatnya belum dirusak oleh kepongahan industri. Kita masih bisa membangun martabat dan sambil gembira pula, seperti yang dilakukan di Maiyah dengan berbagai ragam ekspresi Sinau Bareng. Dan harap pembaca yang budiman catat juga, sesi improvisasi pada nomor “One More Night” di Tegal ini, adalah pertama kalinya dialami oleh personel KiaiKanjeng yang termuda yakni Nofan yang mengisi alat musik tiup. Dan ciamik betul imrpovisasinya, dia dengan segera mengganti flute dengan seruling bambu lantas meliuk-liukkan nada tanpa meninggalkan permainan nada yang sedang dibangun bersama.
Karena kegembiraan, karena tawa, karena nada yang menyenangkan ilmu mudah terresap dan tanda ilmu sudah mulai memproses dalam diri sang alim adalah timbulnya pertanyaan. Maka tidak heran ketika Mbah Nun membuka kesempatan untuk berdialog, bertanya jawab, para hadirin berrebutan ingin mengajukan pertanyaan. Dan ragam sekali pertanyaannya. Ada yang sudah menuliskan buku karena terinspirasi kalimat Mbah Nun di masa mudanya, ada yang pekerjaannya terganggu karena kesempitan pikir ala tafsir doktriner, ada yang menanyakan sikap-sikap pribadinya mengenai sholat berjamaah dan banyak macam lagi. Timbulnya pertanyaan, sekali lagi adalah salah satu gejala bahwa ilmu telah meresap. Soal pertanyaan-pertanyaan ini sudah dituliskan langsung oleh Mas Helmi. Karena ini Sinau Bareng, ini adalah transformasi zaman baru.
Menanggapi berbagai pertanyaan itu, Mbah Nun mengajak kita untuk selalu melatih keluasan, presisi, dan logis. Misalnya kita diajak untuk membedakan mana sunnah sebagai anjuran fiqh dan mana sunnah sebagai tradisi kebiasaan hidup Rosulullah Muhammad Saw. Dan dengan begitu kita juga menjadi mengenang sang nabi agung dengan manusiawi, humanis. Bahwa sebagaimana manusia, beliau Muhammad Saw juga lahir dalam sebuah tradisi. Manusia di depan tradisi posisinya bisa mengubah, mendekonstruksi, memaknai ulang, menghapuskan atau justru mempertahankan. Semua pilihan wajar sebagai manusia. Mbah Nun dengan sangat ringkas menyatakan “Ada tradisi lama yang tidak lagi dilanjutkan dan ada tradisi yang dilegitimasi oleh Islam”.
Rasanya dalam Sinau Bareng di Tegal ini, kita diajak melihat wajah agama yang menjadi sumber kreatifitas budaya. “Kita jangan nafsu-nafsu amat sama surga dan jangan trauma-trauma amat sama nerakalah,” ujar Mbah Nun. Sinau Bareng tidak menjadi forum pengatur-ngatur tindakan, dan menjadi bukti bahwa beragama ternyata bisa seasik ini. Selalu Mbah Nun tekankan, hidup perlu kita asyiki. Begitu pun hubungan dengan Tuhan, selalu mesra, kadang manja. Sesekali khusyuk formal tentu perlu tapi masa iya formal terus? Tapi jangan sampai bikin Allah marah dengan mengkhianati cinta-Nya. Musyrik adalah kita membuat Tuhan cemburu karena menduakan cinta-Nya dengan harta, jabatan, ketenaran, status sosial dan banyak lainnya yang sering kita tuhan-tuhankan tanpa sadar.
Mbah Nun memaknai dengan asik pula gambaran surga, bahwa kalau surga dikisahkan banyak sungai mengalir di dalamnya maka bisa kita maknai bahwa surga adalah tempat bagi manusia yang bisa memanage berbagai aliran-aliran, “sungai” dalam kehidupan dan aliran positif-negatif dalam dirinya.
Pada penghujung acara KiaiKanjeng mengajak hadirin dan para jamaah bergembira dengan Medley Era. Tumpah semua ekspresi kebahagiaan. Yang di panggung maupun para jamaah. Pak Atmo, seniman lokal daerah ini bahkan sangat riang wajahnya. Juga sempat diberi kesempatan untuk memberi persembahan sebuah lagu berjudul “Ubrus” nada tarlingan khas pesisir utara pulau Jawa dengan celotehan kritik sosial yang keras. Khas karang-karang pantai. Dan KiaiKanjeng dengan segera mampu mengkhalifahi nada-nada tersebut. Melahirkan keindahan lagi, dan lagi.
Keindahan ini perlu kita alirkan, kita kontinuasi dengan semangat kreatifitas. Dengan daya juang jihad serta kemerdekaan ijtihadi. Selalu mengasah ilmu, menanungi, dan menampung keluasan. Tidak semua hal bisa dituliskan dalam satu dua kali reportase. Kita manusia punya banyak sekali limitasi pandang, dan fenomena Sinau Bareng akan terlalu sayang bila dilewatkan partikel-partikel di dalamnya. Misalnya ada kabar yang sampai ke saya bahwa ada jamaah yang malam ini bernadhzar untuk berjalan kaki dari tempat tinggalnya sejarak 35 KM ke lokasi Sinau Bareng, ada angin yang berhembus, ada tawa yang terurai. Semua itu bisa jadi data yang bermakna bagi para generasi setelah kita kelak. Maka akan banyak baiknya jika kawan-kawan mulai sering menabung tulisan, reportase mandiri, menangkap fenomena sekitar ketika Sinau Bareng. Tidak ada yang penting atau tidak penting, semua adalah hal wajar. Mencatat adalah menabung harta data di masa depan. Sedangkan Maiyah dan Sinau Bareng ini, rasa-rasanya bisa kita katakan sedang membimbing transformasi kepada kesadaran zaman baru. (MZ Fadil)