Mewedar Jalan Kesehatan Emha
Bagi jamak orang yang mengikuti Maiyah, sebagian besar selalu terbesit pada satu pertanyaan: di tengah kesibukan Cak Nun di pelbagai acara, melompat dari satu tempat ke tempat lain, durasi acara dari surup ke subuh, masihkah ada ruang istirahat dalam pengertian “kesehatan modern” baginya?
Pertanyaan elementer ini lazim dipikirkan jamaah Maiyah, khususnya saya pribadi, karena kepadatan jam terbang ternyata tak mengurangi stamina Cak Nun. Ia selalu energetik di depan audiens yang beraneka rupa itu.
Fenomena kesehatan Cak Nun demikian ternyata gayung besambut untuk ditelisik secara saintifik. Dokter Ade Hashman, penulis buku bertajuk Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib (2019), menghamparkan hasil risetnya yang kemudian dibukukan sekaligus diterbitkan Bentang Pustaka.
Ia tergelitik untuk meneliti rekam jejak Cak Nun dalam perspektif kedokteran karena sebelumnya mengikuti pengajian Mocopat Syafaat cukup lama. Atas dasar antusiasme serta takjub akan kiprah Cak Nun di dunia sosial-kemasyarakatan tapi selalu terlihat segar-bugar, dr. Ade berinisiatif untuk ikut berkontribusi dalam program penulisan berbasis penelitian volunter empat tahun silam yang diadakan Progress.
Buku ini disusun berdasarkan pendekatan etnografis dengan mengumpulan data berupa pengamatan langsung selama Cak Nun menggelar Maiyah, wawancara mendalam, dan pendarasan literatur lisan maupun tulisan, sehingga data yang terkumpul bukan sekadar dihamparkan, melainkan juga dianalisis secara kritis. Pada aras ini dr. Ade berhasil menyajikan bangunan utuh konsep sehat dan kesehatan ala Cak Nun.
Yang membuat buku ini menarik dibaca masyarakat luas adalah dr. Ade tak semata-mata membedah fenomena kesehatan Cak Nun secara medis-akademik. Ia juga melakukan peneropongan lewat lintas perspektif disiplin keilmuan. Itu kenapa buah pena yang ia uraikan sedikit-banyak menyentuh sisi nonmedis seperti gejala santet yang sempat menyerang Cak Nun.
Fenomena yang kerap dihindari, bahkan acap kali dianggap irasional, oleh sebagian dokter konvensional semacam itu, didobrak dr. Ade dengan sejumlah argumen nonakademik. Sebagai seorang dokter yang tiap hari bekerja di atas tanggung jawab ilmiah tak membuat gentar dr. Ade untuk menjelaskan peristiwa nonmedis yang diderita Cak Nun pada tahun 2002.
Sepanjang hidupnya Cak Nun pernah sekali mengalami peristiwa sakit yang menurut keterangan dokter dianggap di luar nalar. Perubahan fisik secara ekstrem pernah dialami Cak Nun, yakni kehilangan bobot 26 kilogram, sehingga hanya menyisakan berat badan 46 kilogram. Wajahnya kala itu pucat pasi.
“…membawa Emha ke bagian radiologi Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito untuk menjalani pemeriksaan diagnostik dengan radioaktif (Pc 99). dr. Bambang Supriyadi, Sp.Rad(K) lalu memeriksa dan menemukan adanya unsur logam (dicurigai semacam zat uranium) pada kelenjar tiroid Emha sehingga menyebabkan intoksikasi pada organ tersebut” (hlm. 37).
Uji laboratorium yang telah Cak Nun lalui akhirnya menuai hasil. Tubuhnya ditaksir hanya bertahan paling lama sekitar 3,5 bulan. Ahli radiologi angkat tangan. Para dokter yang memeriksanya masih terbelalak bingung: bagaimana bisa benda sejenis logam bersemayam di tubuh Cak Nun? Suatu peristiwa yang masih menuai tanda tanya di antara para dokter yang menangani Cak Nun saat itu. Belakangan diketahui kalau fenomena itu terjelaskan sebab-musbabnya, namun dilihat dari sudut pandang klenik.
Pendek kata, sebagaimana diuraikan dr. Ade, “Saat ilmu medis sudah angkat tangan, dan tidak ada lagi ikhtiar yang mampu dilakukan, tepat pada momen itulah kita harus menyerahkan seluruh sepenuhnya kepada Allah” (hlm. 39). Berpakaian rapi dengan peci berwarna merah-putih khas Maiyah, Cak Nun kemudian menjalani tarekatnya sendiri. Ia duduk bersila di bawah pancuran air di kamar mandi. “Merapal doa, berzikir, dan menjalin kemesraan dengan Allah” (hlm. 40).
Usai melakukan tarekat itu Cak Nun sembuh total. Badannya kembali pulih. Ia beraktivitas seperti biasa, menemani rakyat kecil di acara Maiyah, baik di dusun maupun kota. Titik peristiwa itulah yang membuat dr. Ade sebagai seorang dokter antusias ingin mendapatkan penjelasan dari pendekatan alternatif itu.
Ia bertanya-tanya bahwa segala prognosis buruk terhadap kesehatan Cak Nun yang sempat dicemaskan para dokter di UGM akhirnya tak terbukti. Apa kaitannya antara pancuran air, merapal doa, dan kesembuhan penyakit yang sebelumnya disimpulkan mematikan itu? Barangkali rasio manusia belum mampu mewedarkannya secara ilmiah. Namun, setidaknya, dr. Ade di dalam buku ini mampu menguak kejadian yang menimpa Cak Nun secara fenomenologis.
Penyembuhan Holistik
Buku ini menyodorkan pernyataan klise di dunia medis, yakni sejauh ini masih banyak terbentang misteri penyakit yang belum terpecahkan. Sekalipun alat kedokteran telah berkembang secara canggih, belum tentu ia menjadi jaminan atas terpecahnya misteri pelbagai penyakit berikut obat mujarabnya. Penyakit Cak Nun dan cara penyembuhannya merupakan salah satu objek material yang dr. Ade teliti.
“Lantas, bagaimana mengobati secara tuntas penyakit karena infeksi virus? Senjata biologis apa yang efektif mengeliminasi virus secara radikal? Mengapa ada peristiwa autoimun, saat sel-sel kekebalan yang seharusnya menjaga tubuh dari invasi agen asing malah berubah menjadi ‘tentara gila’ hingga gagal mengindentifikasi mana musuh dan mana bagian dari diri sendiri? Bagaimana manajemen gangguan alergi yang ampuh…dan, banyak lagi pertanyaan lainnya” (hlm. 42).
Uraian-uraian yang dihamparkan dr. Ade di buku ini seperti melengkapi pandangan konvensional yang biasa dipercakapkan di dunia medis. Ia tak ingin menjadi dokter yang hidup dalam tempurung yang sekadar bermazhab “ekstrem materialistis” yang seputar menyodorkan obat-obatan farmakologis sebagai jawaban atas penyakit fisik maupun nonfisik. Di balik teknologi medis, menurutnya, terdapat erosi komunikasi yang seharusnya tak terjadi karena jagat kedokteran harus penuh empati antara dokter dan pasien.
Itu kenapa, bagi dr. Ade, pengobatan paling besar adalah sebuah proses, termasuk dalam konteks komunikasi. “Saya percaya bahwa proses penyembuhan bukan hanya melibatkan peristiwa fisik, melainkan jauh lebih kompleks dari itu. Manusia tak sekadar otot, tulang, dan darah. Penyembuhan melibatkan unsur mental, bahkan bertautan dengan hal-hal spiritual. Sejatinya, penyembuhan merupakan ‘peristiwa langit’. Obat bukan faktor utama kesembuhan. Obat adalah wasilah yang logis dalam upaya penggalian ijtihad terhadap sunatullah untuk menuju proses penyembuhan” (hlm. 43).
Kelebihan buku yang ditulis dr. Ade, sepanjang pendarasan saya, berpusar pada poin-poin itu. Ia meneliti fenomena kesehatan Cak Nun yang tak sebatas dikarenakan peristiwa fisik, tapi juga meliputi laku-laku Cak Nun selama hidupnya. Demikianlah bila membincang kesehatan ala Cak Nun maka dibutuhkan penyelidikan secara menyeluruh. Khususnya bagaimana laku puasa yang telah lama dipraktikkannya. Tak banyak buku yang sebegitu rinci dalam meneliti kehidupan sekaligus kesehatan Cak Nun kecuali buah pena karangan dr. Ade ini.