Metode Eliminasi untuk Mencari Ingsun yang Sejati
Bayangkan ketika tiba-tiba Anda mendapatkan titah untuk mencari sesuatu yang Anda belum pernah tahu sebelumnya. Bagaimana Anda bisa mencarinya? Di mana Anda bisa menemukannya? Sekalipun jarum yang sangat kecil perawakannya hilang di antara tumpukan kerikil, akan masih lebih banyak peluang ditemukannya dibandingkan dengan mencari piring Baginda Nabi Sulaiman yang kita belum pernah melihatnya, misal. “Kalau kita mencari sesuatu yang kita ketahui, gampang menemukannya,” begitu kata Mas Sabrang.
Lantas, bagaimana kita bisa mencari sesuatu yang kita sendiri sama sekali belum pernah melihatnya? “Caranya adalah eliminasi. Laa ilaha.” Mas Sabrang, yang merupakan alumnus jurusan Matematika University of Alberta, pun mencoba menerapkan metode eliminasi untuk mencari sesuatu yang kita tidak tahu.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai Sapa Sira Sapa Ingsun, yang merupakan tema BBW tadi malam, Mas Sabrang mengajak jamaah untuk bersama-sama mencari perbedaan antara term ‘siapa kita’ dengan ‘milik kita’. “Apa bedanya kamu dan milikmu?”
Sederhananya, kita dengan apa yang menjadi milik kita, akan lebih ‘berumur panjang’ diri kita. Tapi, masalahnya, saat ini kita sedang berada dalam posisi mencari jawaban atas pertanyaan siapa diri kita. Untuk itu, Mas Sabrang mengajak jamaah mencoba mengeliminasi apa-apa yang berumur lebih pendek dari diri kita. Hingga kita menemukan satu yang tersisa, yang lebih abadi, dan itulah diri kita, jawaban atas pertanyaan yang kita cari sedari tadi.
Mas Sabrang menganalogikannya dengan seseorang yang sudah meninggal. Apa gerangan yang paling kita ingat dari orang itu? Jamaah pun setuju, bahwa yang paling diingat bukanlah paras, jabatan, ataupun kekayaannya. Melainkan, yang paling diingat adalah perilakunya. “Melihat orang pada perilakunya, karena itu lebih abadi dibandingkan dengan apa yang kita kumpulkan.”
Barangkali, inilah mengapa Tuhan mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan. Terus belajar mencintai perbuatan membantu dan meringankan beban orang. Tak lain, agar kita semakin lebih dekat dengan keabadian. Agar kita ‘berumur’ lebih panjang, lebih abadi.
Seorang jamaah melontarkan pertanyaan. Jika perilaku menggambarkan jawaban atas pertanyaan ‘siapa kita’, mengapa pertanyaan ‘siapa’ harus selalu dijawab dengan ‘apa’? Mengapa bukan jawaban, dosen, mahasiswa, guru, dokter, yang menjadi jawaban atas siapa kita?
Sinau Bareng di Majelis Masyarakat Maiyah BangbangWetan malam ini sangat hidup. Mas Sabrang, Pak Suko, dan Pak Darmaji, dosen Matematika ITS membersamai jamaah untuk bersama-sama mengulik kotak ketidaktahuan, guna memancing puing-puing tahu, yang semoga diizinkan menjadi paham, dan bermetamorfosa menjadi ilmu melalui laku.
Hingga angka di kalender sudah berganti menjadi 21 Agustus 2019, jamaah masih setia merawat rasa ingin tahu. Dalam gembira, tertawa bersama, sistem berpikir mereka nyatanya masih tetap mencoba mencerna. Ini tampak pada adegan timpal balik tanya yang masih tetap terjaga.
Menanggapi pertanyaan salah seorang jamaah yang bertanya mengapa ‘apa’ sering menjadi jawaban dari siapa tadi, Mas Sabrang menjawabnya dengan kembali memberikan umpan tanya. Bukankah guru sendiri juga merupakan istilah yang mendefinisikan pekerjaan orang yang mengajar? Apalah artinya istilah nama, jika perilakunya pun tak ada. Kita ‘ada’ karena perilaku kita. (Hilwin Nisa’)