CakNun.com

Merajut Fadlilah Otentisitas dalam Kesatuan Budaya Dunia

Catatan Majelis Maiyah Mocopat Syafaat, 17 Juli 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Pak Eko Tunas juga sempat diberikan kesempatan untuk menguasai panggung. Dan mengalirkan cerita serta berpuisi. Pak Eko Tunas tampak sangat bahagia dan riang gembira walau ternyata sedang berada pada tahap post-stroke yang beliau pelesetkan dari istilah post-truth. Dan tawa bahagia berderai-derai, sementara saya baru dapat kabar bahwa seorang kawan saya yang namanya Diza juga hadir di Mocopat Syafaat malam hari ini. Suaminya sedang tidak mengantarkan karena sedang bekerja di luar wilayah negara, sementara ini masih ada negara biarlah. Saya ajak Diza ke warung tempat saya dan Mang Moel duduk menikmati sajian kemesraan yang otentik. Kopi hitam, mie goreng telur dan Mang Moel masih sambil merajut, mempersiapkan karyanya yang akan dipamerkan di Bangkok dan tahun depan di Los Angels, US. Bila ada kesempatan berkunjunglah menikmati karya beliau.

Inilah kita sedang belajar menjadi manusia seotentik-otentiknya menuju kesatuan budaya dunia, merajut kembali kekompakan manusia dari berbagai bangsa yang terpecah akibat kesilapan generasi sebelum kita. Generasi kolonialis sudah berlalu, generasi nasionalis juga segera akan lewat. Sekarang kita akan mengenang nasionalisme sebagaimana kita mengenang kolonialisme. Sementara nomor-nomor dari KiaiKanjeng melantun, membawakan syair Umbu “Apa Ada Angin di Jakarta” dan nomor berbeda “Engkau Menjelang”.

Pagar dari Mbah Nun juga jelas bahwa kita tidak boleh belajar dan kemudian menganggap orang-orang tua kita lebih bodoh dari kita. Benar bahwa akses informasi serta berbagai ilmu mudah sekali ditangkap pada era ini. Tapi kebijaksanaan dan jiwa pengasuhan tetap pada generasi tua. Dan kepengasuhan itu kemudian juga ditunjukkan untuk menjadi contoh kita bersama manakala adik-adik yang peserta workshop telah hadir untuk menjawab tantangan-tantangan yang diberikan pada mereka. Mbah Nun memberi contoh seperti permainan sepakbola, kita mesti mengerti posisi kita. Striker jangan jadi gelandang apalagi jadi gelandangan di rumah sendiri. Kan kasihan.

Setelah mendengar jawaban-jawaban dari para peserta workshop, Mbah Nun masih memberi bebekel pada kita para anak-cucu ini. Bahwa capaian-capaian kecil kita itu sesungguhnya adalah tahap-tahap ma’rifat. “Ma’rifat ini tidak selalu yang serem-serem,” kata Mbah Nun dan dilanjutkan bahwa, “Sedikit kesalahan Mbah-Mbah kita dulu adalah terlalu nyerem-nyeremin kata ma’rifat.” Padahal dia tidak selalu berurusan teologis tapi justru sangat keseharian. Sementara thoriqot adalah titian jalan hidup yang selalu kita presisikan kembali ritme dan alunan langkahnya. Kita menghormati leluhur kita dengan cara merawat pesannya dan mencoba memperbaiki apa yang kurang jangkep. Sebab proses sejarah adalah estafet impian.

Malam berakhir dengan sangat sejuk tapi Maiyah tidak berakhir karena tantangannya ada di luar sana. Tantangan untuk merajut kemesraan dengan otentik, menjaga dunia milik bersama ini dan presisi dengan fadlilah masing-masing, meniti thoriqoh sendiri melangkah pada Diri dan Kampung Halaman Yang Sejati. Dan dingin malam dihangatkan dengan lantunan doa.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik