Merajut Fadlilah Otentisitas dalam Kesatuan Budaya Dunia
Semua zaman tentu adalah zaman keemasan dari standarnya masing-masing. Berbagai tokoh lahir pada masa lalu dengan peran yang dibutuhkan pada masanya. Saat itu negara penting, sekarang tidak begitu dipedulikan lagi. Sekarang mungkin era di mana seorang bocah bernama Greta Thunberg bisa menceramahi pimpinan negara dunia mengenai climate change. Atau remaja muda yang menderita mental illness dan antisocial bisa menciptakan nada-nada menyenangkan seperti yang dilakukan Billie Eilish.
Atau Brielle yang sering diundang di acara Ellen deGeneres Show, anak kecil imut yang sudah khatam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan bahkan sebelum usia sepuluh tahun. Atau keponakan saya yang belum berusia lima tahun sudah hapal wayang dan bisa nembang Jawa, padahal omnya yang orang Bugis-Tolaki ini malah lebih senang mitologi Nordik daripada wayang Jawa. Atau pembaca yang budiman bisa lihat anak sendiri atau anak tetangga. Bagi yang masih jomblo bisa berusaha menikah dulu supaya sah untuk beranak-pinak.
Ini generasi baru, tolok ukur dan cita-cita mereka baru. Medan tempur mereka juga berbeda. Sekat kebangsaan dan negara mulai tidak ada dalam imajinasi mereka dan memang tidak perlu ada kalau sudah tidak ada gunanya. Life must go on. Kita hanya perlu menyediakan atmosfer yang kondusif dan cerita-cerita kenangan agar mereka tidak kehilangan diri mereka. Ada kutipan begini: “Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya”. Membicarakan otentisitas dan fadlilah diri pada malam hari ini juga adalah membangun kembali optimisme pada masa depan dunia.
Tapi kerakusan dan ketamakan berbungkus pembangunan dan impor cita-cita yang tidak otentik dengan label investasi, jalur pendanaan dan sebagainya masih merajalela. Dan itu sesungguhnya adalah ancaman terhadap terajutnya kesatuan budaya dunia. Kita hanya bisa berharap pada dunia di mana semua orang adalah pribumi di atas satu dunia, manakala kita sejajar dan otentik sebagai masing-masing diri kita. Ini diingatkan betul oleh Mbah Nun, bahwa sebagai bangsa kita masih menyimpan cita-cita ingin menjadi yang bukan diri kita.
Karena sejak awal, kita tidak pede dengan diri kita dan lantas ikut mengimport bentuk-bentuk negara seperti bangsa lain. Pada masa itu, masa pasca Perang Dunia II, trend nation-state dengan ideologi nasionalisme ala US memang menjadi trend global dan ya kita katut dalam trend itu. Walau dengan sedikit improvisasi pengantagonisan Barat, karena kita juga menyerap cita rasa imperialisme Nippon. Jadi sesungguhnya rumus nasab nasionalisme yang kita anut adalah: Nation-state ala Amerika, feodalisme ala Eropa, plus antagonisme barat ala Nippon, nasionalisme kita impor campur aduk memang. Jangan lupakan fakta bahwa dulu Nippon juga berhasil menjadi Khilafah pasca kegagalan muktamar Khilafah di Mekkah dan Mesir. Itu yang membuat Nippon cukup mesra dengan tokoh agamawan di pelosok-pelosok pedesaan.
Ini bahasan sejarah yang cukup panjang dan bisa kita ambil rujukan dari penelitian-penelitian Ben Anderson, Julian Benda sampai Cemil Ayden. Dan oleh Mbah Nun dirangkum singkat padat: “Kita mengalami kesalahan sejarah yang luar biasa, sehingga kita kehilangan otentisitas diri sebagai bangsa.” Dilanjutkan kembali oleh Mbah Nun bahwa Maiyah mengajak untuk melihat diri sendiri untuk menjadi diri sendiri.