Merajut Fadlilah Otentisitas dalam Kesatuan Budaya Dunia
Hal pertama yang diberikan oleh Mbah Nun pada malam hari ini adalah sebuah pertanyaan yang menggugah, “Dalam hidup, anda lebih mendengarkan ibumu atau profesormu di kampus?” Dan Mbah Nun melanjutkan bahwa pada kondisi sekarang ini kita dikepung oleh otoritas-otoritas yang menghalangi kita untuk menjadi lebih otentik. Padahal dalam hidup, otoritas itu bisa sangat semu. Dengan meresapi analogi seorang ibu dan profesor, impresi yang saya dapat secara pribadi adalah betapa kita seolah punya banyak tokoh dari agamawan hingga ningrat wacana tapi kita tidak punya sosok sepuh yang urusannya bukan pakar tapi kepedulian, pemomongan dan kepengasuhan. Tampaknya titik-titik bahasan Maiyah selalu bertemu dan terajut dengan mesra.
Bahasan dari Mbah Nun kemudian berlanjut. Mbah Nun mengambil ayat “wa laa tansa nashiibaka minad-dunya”. Mbah Nun kembali memberikan pertanyaan bahwa ada persoalan bahasa di situ yang mungkin masih jarang dikaji. Yakni mengapa Allah memilih kata “min” yang artinya dari. Berarti kita sedang menuju. Menuju ke mana? Ke mana lagi kalau bukan pulang. Tapi bagaimana pulang apabila kita tidak membawa diri kita yang otentik? Maka di sinilah Mbah Nun tegaskan bahwa kita perlu otentik agar dalam hidup kita efektif dan maksimal. Dan ini dirangkum oleh Mbah Nun dengan meminjam nasihat lama orang Jawa “Ojo kagetan, ojo gumunan lan ojo dumeh”.
Mbah Nun sebagai orang yang kita tuakan, terasa memiliki kepedulian yang sungguh besar pada nasib dan relasi iman anak-cucunya. Sehingga Mbah Nun mewanti-wanti agar sejak awal kita sudah bisa mengidentifikasi minat, bakat dan kemampuan kita. Minimal saya merasa agak berhasil sudah bisa mengidentifikasi saya tidak akan pernah jadi suporter sepakbola, karena saya tidak suka sepakbola. Tapi tampaknya saya hanya sekedar ge-er karena Mbah Nun juga mengingatkan, bahwa di Maiyah kita tidak membenci siapa-siapa tapi berlatih presisi dan waspada.
Pak Iman kemudian dipersilahkan berbicara. Lirih. Dan suara Pak Iman seperti musik gamelan yang menyapu rembulan. Utuh, penuh dan lembut. Maaf saya jadi sedikit terbawa suasana dan agak puitis. Ini bukan berusaha untuk tampak otentik, tapi memang seperti itu yang terpikirkan. Pak Iman banyak menyegarkan ingatan kita kembali pada atmosfer suasana pedesaan dan kampung halaman. Bahwa manusia di masa lalu tampaknya punya suasana yang lebih kondusif untuk otentik. Dan zaman berganti. Karena memang dunia pasti berubah. Saya rasa wajar juga Pak Iman agak sedikit romantis masa lalu, mengingat usia beliau.
Tapi kita perlu mendengar suara-suara dari masa lalu, kenapa? Karena diri dibangun di atas memori atau ingatan. Secara biologis kita hanyalah kumpulan ingatan. Hal semacam ini sering kita dengar dalam kuliah-kuliah Prof Robbert Sapolsky yang bertebaran di YouTube. Maka menyegarkan ingatan mengenai masa lalu seperti yang dilakukan Pak Iman adalah agar kita tidak kehilangan diri kita. Jangan sampai kita salah mengingat diri kita.