Menyulam, Menyelam, dan Mengolah Resolusi Pandang Zaman
Kalau kita lihat juga, kata-kata semacam ini sebenarnya sudah pernah dipopulerkan oleh Yuval Noah Harari ketika dia menjelaskan soal fiksi-fiksi yang perlu. Pembaca yang budiman bisa baca bukunya atau lihat kuliah-kuliahnya di internet. Ini sekadar tambahan karena rasanya hal tersebut senada dengan penjelasan Mas Sabrang soal apa itu fiksi. Maka, Maiyah memang bukan menggugat ini-itu, Maiyah mengambil posisi pembuka jalur pikiran yang selama ini tersumbat oleh berbagai legitimasi golongan, menyulam kembali sulaman peradaban zaman yang selama ini kusut semrawut dengan jalinan yang tidak me-lita’arofu-kan manusia. Kalau kita rajutkan dengan bahasan Harari, dia sempat bilang bahwa apakah itu sistem ekonomi, konsep teologis, konsep ilmiah dan sebagainya adalah fiksi yang diperlukan agar manusia bisa bekerja sama satu sama lain. Malam ini dan malam-malam di berbagai majlis Maiyah rasanya sulaman-sulaman itu terjalin kembali.
Pak Munir, salah seorang sesepuh yang menyemai benih-benih ilmu di Solo dengan lingkar Suluk Surakartan juga dipersilakan ke panggung. Dari beliau kita mendapat tambahan suntikan semangat memulai sesuatu dan mengelola dengan landasan sesrawungan. Nilai tauhid bukan sekadar konsep teologis, tapi dia harus menemukan titik konkretnya dalam praktik hidup bersama.
Karena yang mencatat reportase ini sedang berada pada posisi di belakang, agak mengkhawatirkan busa luput mencatat pertanyaan-pertanyaan dan dilaog mesra antara para jamaah, para hadirin dengan para marja’ yang berada di panggung. Maka seorang pendekar pengelana yang sedang berada di barisan depan membantu mencatatkan pertanyaan yang bermunculan pada sesi menjelang akhir.
Apakah karena telah terbiasa dibuka sumbatan pikiran, kadang terasa memang pertanyaan-pertanyaan yang muncul di berbagai majelis Maiyah sangat liar dan beragam. Dari pertanyaan apakah benar usia bumi 1500 tahun bahkan ada yang menanyakan hadits tentang Islam apakah memang hanya akan berakhir pada masa tertentu.
Ada yang tanya dengan sedikit menggugat, kenapa acara-acara debat dan diskusi di televisi-televisi nasional tidak pernah ada solusi yang ditawarkan selain hanya perdebatan tanpa tuntas. Untuk yang ini, Mas Sabrang memberi angle yang menarik bahwa kita bisa lihat sisi positif, bahwa kalau kita lihat sebagai proses bisa saja ini sedang masa di mana orang sedang menyarung ide atau pikiran apa saja yang akan tetap relevan di masa depan. Sedangkan Mbah Nun menenangkan penanya yang menuntut itu dengan memberi tekanan bahwa sebaiknya hal-hal yang terjadi di NKRI tidak merasuk terlalu dalam menjadi kecemasan dan kekhawatiran.
“Yaa namanya juga orang nanya ya Mbah.” Rupanya penanya ini menyusulkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Dan, “Yah namanya juga orang njawab,” singkat Mbah Nun sehingga terjadi kejenakaan yang melimpahkan cinta. Tapi tidak sekadar retorika jenaka belaka, Mbah Nun segera menangkap bahwa ini adalah seorang yang sedang berlatih berpikir kritis sehingga Mbah Nun menyemangati agar terus dengan jalur tersebut. “Kalau anda terbiasa dengan tradisi berpikir kritis, anda juga perlu siap mendapat jawaban tidak seperti yang anda inginkan.” Bekal yang sangat berharga, tentu saja.
Ada juga pertanyaan mengenai kenapa MUI sampai harus mengeluarkan fatwa haram soal hoaks padahal semestinya tanpa fatwa tersebut orang harusnya sudah tahu bahwa itu haram. Jawaban Kiai Muzammil cukup singkat untuk ini, “Ya supaya ada kerjaan MUI-nya, soalnya kalau tidak ngeluarin fatwa kerjanya apa?” Mas Sabrang menjelaskan dengan runtutan logika, “Ini persoalan manusia zaman sekarang, merasa bahwa segalanya bisa diperbaiki dengan anjuran.”
Kita punya kecenderungan seperti ini memang sekarang. Mengurusi pucuk persoalan tanpa menyentuh akar sebab. Betapa banyak anjuran untuk toleran untuk (seolah) menghalau kaum intoleran, tanpa disentuh akar kenapa orang jadi intoleran. Berapa sering orang menyuruh tampilkan Islam yang ramah tanpa coba memahami kenapa ada orang yang marah. Masa kita berpikir ini hanya karena orang cukup bodoh menerima aliran-aliran tafsir tertentu? Begitupun soal hoaks, rata-rata produsen dan distributor hoaks apa tidak tahu bahwa hoaks itu buruk? Tentu kebanyakan mereka tahu. Tapi tidak ada yang mendidik logika dan rasio agar orang punya kepekaan dalam menganalisis, memilah serta mengidentifikasi mana hoaks dan mana yang bukan hoaks.