CakNun.com

Menuju Peradaban Husnudhdhan, Dialektika Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Mbah Nun pun menunjukkan cara tersendiri dan ini bisa kita maknai sebagai percontohan yang baik, istilahnya seperti da’wah bilhikmah, penyampaian dengan nyata perilaku. Ketika itu Mbah Nun meminta KiaiKanjeng melantunkan Tombo Ati yang dinyanyikan dengan nada Minang. Sedikit Mbah Nun bercerita ini karena untuk menghormati orang tua Ibu Novia yang berasal dari Sumatera Barat.

Malam terasa sangat padat oleh kegembiraan tapi juga syahdu terutama ketika nomor Manungso-Man On The Land dilantunkan. Vokal Mas Doni khusyuk. Pun juga ketika nomor Paman Sing Nguyang Jaran, ada kepedihan pesan soal martabat yang jangan sampai tanggal dan hanyut. Kalau tidak salah ingat, kalau tidak terjadi distorsi dalam memori penulis, ketika nomor-nomor ini dilantunkan para pelanggan di kafe yang aslinya hanya datang untuk nongkrong pun seperti terpaku diam.

Mbah Nun mengalirkan tak henti-henti pancingan keilmuan. Dari ayat Robbanaa maa khalaqta haadza bathila, kita diajak kaya melihat dari berbagai persepektif. Rata-rata orang paham saja bahwa ayat ini tentang Allah tidak menciptakan apapun kecuali ada gunanya. Tapi kita diajak melihat dari proses, bahwa untuk sampai bisa mengucapkan kalimat tersebut, karena secara redaksional dia adalah ucapan manusia kepada Allah tapi justru disampaikan Allah Swt dalam kitab suci maka manusia perlu meneliti terus hingga mendapatkan manfaat dari berbagai hal baru bisa menyelami makna kalimat tersebut dan ketika mengucapkannya menjadi sungguh-sungguh. Ini adalah hal yang perlu dialami sendiri-sendiri, tidak bisa sekadar diceramahkan. Bukankah Sinau Bareng dan Maiyah juga adalah pengalaman sendiri-sendiri yang kita alami bersama? Rupanya Gusti Allah menurunkan kitab suci tetap berdialektika.

Sesi tanya jawab, itu juga adalah bentuk dialektika dalam Sinau Bareng. Zaman perlu tetap dialektis agar selalu menemukan racikan yang pas sesuai kahanan. Seorang hadirin bernama Mas Ruli bertanya mengenai fenomena jenazah-jenazah yang masih utuh setelah sekian lama dimakamkan. Apakah ini adalah pertanda bahwa jenazah tersebut adalah jenazah orang saleh atau bahkan waliyullah? Walau terdengar seperti yes or no question, tapi Mbah Nun membijaksanai dengan lambaran pikir yang mendasar bahwa, “Anda bertemu fenomena apapun terutama yang membuat anda kagum, biasakan husnudhdhan dulu.”

Rasanya satu kalimat itu sudah pas tandas menjawab. Jelas bukan urusan kita itu jenazah wali atau orang saleh atau bukan, tapi tentu kita bisa berbaik sangka. Kemampuan melihat celah husnudhdhan dari segala fenomeman memang perlu dilatih, dari situ kita kemudian bisa ketemu Allah pada setiap gejala. Yang gawat, kita kadang bukannya husnudhdhan malah mengkultuskan. Bukannya husnudhdhan malah menyepelekan. Husnudhdhan menengahi dua hal ini.

Peradaban kita sekarang jelas berjalan ke arah yang salah. Kita tidak sedang saling husnudhdhan, kita saling tidak percaya. Dan ketidakpercayaan satu sama lain di antara kita itu juga terbangun di atas pengkhianatan demi pengkhianatan atas nilai-nilai selama berabad-abad. Kita tidak bisa membangun peradaban di atas ketidakpercayaan lagi, kita akan kerepotan sendiri. Di berbagai majelis Maiyah kita bangn kembali rasa percaya dan rasa layak dipercaya itu. Mungkin itu kenapa kita sampai pada era puncak kerusakan ini, Mbah Nun tegaskan bahwa kalau kita perhatikan, “Sekarang ini semua organisasi, semua parpol terpecah.” Bukankah itu akibat dari ketidakpercayaan?

Selain mengenai itu ada juga pertanyaan tentang alasan kita mesti berijtihad yang berasal dari Mas Arif yang asli Kudus. Pertanyaan ini membuka bahasan sendiri mengenai tadabbur. Kemudian ada pertanyaan mengenai penurunan krisis mentalitas pada generasi muda. Untuk ini Mbah Nun memberikan prinsip dasar, “Yang penting anda bermental sebaik-baiknya pada mereka.” Dan itulah sejatinya da’wah bilhal, bukan?

Tanpa terasa, tanpa direncanakan pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan ini juga mengandung keresahan dan kegelisahan atas zaman. Mungkin memang pada Sinau Bareng kita mendialektiskan segala olahan pikir dan rasa, segala daya penangkapan kita atas gejala dan fenomena peradaban. Mengenang masa lalu secara lumrah dan mencita-citakan kemuliaan tanpa lelah. Mbah Nun memungkasi malam ini dengan saran dan nasihat yang tertangkap sangat menacap di hati, “Tolong pulang dari sini anda mikul duwur mendem jero di lingkup anda masing-masing.”

Lainnya

Topik