Menu Prasmanan Epistemologi Sinau Bareng
“Nomer siji opo senenge, khusyuke, ilmune opo kompake. Kiro-kiro segone opo?,” Mbah Nun melemparkan pertanyaan ini pada awal sekali. Ketika tiba di panggung pada perjamuan agung nan gembira, Sinau Bareng yang digelar pada lapangan desa Sungegeneng, Sekaran, Lamongan. Ini adalah titik ke 4098 majlis Sinau Bareng dan Maiyah di penjuru Nusantara. Peresapan ilmu, nuansa, dan kegembiraan yang coba diantarkan dalam reportase ini tentu jauh dari kemampuan untuk meresapi segala fenomena.
Mari kita zoom-in pada fenomena pertanyaan Mbah Nun tadi, ini sebuah keasyikan sendiri. Kalau Sinau Bareng ini adalah pengajian seperti umumnya pengajian yang beredar di masyarakat, maka sungguh tiada perlu Mbah Nun memberikan pilihan-pilihan pada para jamaah. Andai, dan ini andai saja, Mbah Nun cukup datang saja, mempersiapkan materi apa yang akan beliau bicarakan dan para jamaah akan menyimak, menerima, mendengarkan secara saksama tanpa perlu ditanyakan apakah materi-materi dan sajian yang dibabarkan sudah pas dengan kebutuhan keilmuan dan kebutuhan akan kegembiraan hidup. Tapi tidak, ada proses demokrasi substansial di sini. Kita tidak sedang membandingkan. Dan kita perlu memafhumi bahwa setiap metode tentu punya khasnya sendiri-sendiri. Sinau Bareng dan majelis-majlis Maiyah memiliki ciri khas yang berbeda juga, yakni didemokratiskannya pilihan materi yang dibahas dan diusahakan sebisa mungkin sesuai dengan kebutuhan para jamaah.
Pertanyaan semacam yang diberikan Mbah Nun ini, membutuhkan kesiapan mental sendiri. Kesediaan untuk menerima kemungkinan yang tidak berhingga dan mengkhalifahi kemungkinan itu untuk kemaslahatan bersama. Sinau Bareng memang sangat pas bagi penikmat kejutan-kejutan dalam hidup.
Mbah Nun kemudian melanjutkan dengan mengajak para jamaah untuk berpikir episteme dengan bahasa yang sangat mudah dipahami “ilmunya sekarang ilmu tentang cara berilmu, ilmu memperlakukan sesuatu” dari sini Mbah Nun mengajak untuk kita berpikir shalih, yang maknaya adalah presisi. Dalam pada babaran ini, kita diajak presisi pada keilmuan. Tiap keilmuan punya skala prioritas, punya panggonan keberfungsian. Akademis ilmiah, sains, tasawwuf, kebatinan semua ada tempatnya yang pas. Pun kegembiraan, juga ada tempatnya. Sekali lagi Mbah Nun mengingatkan mengenai bersenang-senang, bergembira yang Allah Swt juga senang dan gembira atasnya.
Dan pengenalan dasar cara mengkhalifahi ilmu, ilmu tentang cara berilmu ini, juga berkaitan dengan bagaimana kita mengenal diri kita sendiri. Apa potensi dasar kita, fadhilah karomah yang kita ekspert didalamnya. Dengan begitu kita bisa efektif mengambil peran dalam masyarakat, presisi peta persoalan dan lebih paham apa yang harus dibereskan pada skalanya masing-masing. Ada Cak Kartolo juga malam hari ini di atas panggung, sahabat Mbah Nun yang sangat rindu pada atmosfer Maiyah. Kita segarkan ingatan sedikit, Cak Kartolo adalah penerima ijazah cinta Maiyah beberapa tahun lalu. Kita nikmati sajian prasmanan kegembiraan dan keilmuan Sinau Bareng malam hari ini. Masih banyak, masih sangat berlimpah cahaya nubuwah ceria di Lamongan malam ini mari kita reguk bersama.