CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4134

Mensyukuri Syukur Bersama Warga Desa Gunungsari

Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Lapangan Desa Gunungsari Dawarblandong Mojokerto, Rabu 4 Desember 2019
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Rindu itu akhirnya terobati. Tempatnya di pelosok desa Gunungsari Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto. Jamaah Maiyah berangkat menuju satu titik lokasi. Mulai dari jalan raya alas Dawarblandong hingga memasuki lokasi lapangan Gunungsari, jalan desa dipadati motor dan mobil. Rabu (4/12/2019), Mbah Nun dan Kiai Kanjeng Sinau Bareng “Gunungsari Bersyukur 5”.

Malam itu, Sinau Bareng yang sempat tertunda menjadi ruang rindu bagi jamaah. Mereka seakan ingin menuntaskan rasa kangen kepada Mbah Nun. Namun, saya merasakan getaran yang lain. Tiba di atas panggung Mbah Nun, bapak-bapak Kiai Kanjeng bersama para undangan yang lain tetap dalam posisi berdiri. Syair-syair Asmaul Husna Emha Ainun Nadjib, “Allah Allah”, narator Mas Seteng, merangkul kalbu jamaah. Disusul lantunan Shohibu Baity — lampu di atas panggung pun dimatikan — membawa rasa rindu mikraj ke hadirat Rabbul ‘Alamin.

Sinau syukur bersama warga desa Gunungsari menemukan momentumnya. Bahkan sebelum memulai sinau apa yang patut disyukuri, bagaimana menemukan sikap syukur yang tepat, mengapa kita bersyukur, lalu mengapa pula ada manusia yang bersyukur karena kepentingan egonya tercapai, sementara yang lain bersyukur atas kenikmatan menjalani hidup bebrayan, guyub rukun dalam kebersamaan — Mbah Nun memasang pondasi tauhid di awal perjumpaan acara.

“Dunia dan Indonesia membutuhkan Islam, karena konsep syukur tidak dijumpai di luar Islam,” ungkap Mbah Nun. Islam mengajarkan rasa sekaligus sikap bersyukur sehingga seorang muslim, dan apalagi manusia Jawa, tangguh menghadapi tekanan dan cobaan hidup.

Persoalannya, apa yang perlu disyukuri dan mengapa kita bersyukur? Mas Jijid dan Mas Doni memandu jamaah menemukan jawabannya. Sebagai warga desa Gunungsari apa yang patut kita syukuri? Syukur yang dimaksud bukan dalam konteks pribadi melainkan sebagai manusia yang hidup bersama manusia lainnya.

Kita kerap bersyukur karena kepentingan pribadi kita tercapai. “Itu syukur yang egois,” ujar Mas Jijid. Sementara dalam konteks hidup sosial, hidup bebrayan bersama warga yang lain, kesanggupan bersyukur kita terbilang rendah.

Sama-sama membaca kalimat, “Alhamdulillah,” antara manusia egois dan manusia altruis berangkat dari kesadaran yang berbeda. Manusia egois bersyukur karena egoisme dirinya. Manusia altruis bersyukur karena diberi kesempatan dan kemampuan oleh Allah untuk berbagi bahagia bersama manusia yang lain.

Merespons hal itu Mbah Nun menyampaikan ada dua model manusia. Pertama, manusia yang dipenuhi oleh egoisme untuk menguasai apa saja. Berkuasa sendirian. Kaya sendirian. Senang sendirian. Kedua, manusia yang kebahagiaan hidupnya adalah berbagi bersama orang lain. Ia gemar memberi untuk melangsungkan keseimbangan hidup bersama.

Hal itu diperkuat oleh simulasi permainan yang berlangsung bersama jamaah. Simulasi ini menjadi thariqah yang membuka pintu ilmu dan kesadaran untuk menatap cakrawala manusia egois dan altruis. Sekaligus mengetuk hati kita agar kembali menghitung berapa persen pengarus kekuatan egois dan altruis itu dalam hidup keseharian kita.

Yang tak kalah indah adalah manakala Kyai Muzammil menceritakan adegan pemindahan Hajar Aswad. Masyarakat dan pemuka Quraisy berdebat untuk menentukan siapa yang berhak memindahkan Hajar Aswad. Mereka menemui jalan buntu. Setiap pihak merasa paling berhak.

Lalu dibukalah semacam sayembara. Siapa yang datang paling pagi di Ka’bah itulah orang yang berhak memindahkan Hajar Aswad. Dan orang itu adalah Muhammad Saw. Sebagai “pemenang” sayembara, Muhammad Saw memiliki hak total untuk memindahkan batu mulia itu sendirian.

Namun, yang dikerjakan Muhammad Saw justru sebaliknya. Ia bukan pemimpin yang egois dan sok berkuasa. Muhammad Saw membentangkan kain. Batu diletakkan di tengah. Setiap ujung dan bagian kain dipegang oleh pemuka Quraisy. Muhammad Saw sendiri memegang Hajar Aswad di bagian bawah. Mereka bersama-sama memindahkan Hajar Aswad.

Kita pun telah mengalami Majelis Sinau Bareng adalah ruang bagi manusia altruis yang saling rela berbagi kebahagiaan bersama manusia, pohon, udara, rumput, angin, dan seterusnya. Bahkan kesanggupan untuk bersyukur pun patut disyukuri. Bagaimanapun rasa syukur ini bukan milik kita, melainkan Milik-Nya juga.

Malam itu kita mensyukuri syukur.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version