Menggembirakan Anak-anak SMA NU Al-Ma’ruf Kudus
Sepanjang berlangsung acara tadi malam, Senin 9 September 2019, rona senang, gembira, dan bahagia menghiasai wajah para pelajar, guru-guru, dan alumni sekolah ini. Rangkaian kegiatan memeringati hari ulang tahun ke-50 almamater yang mereka cintai terpuncaki oleh kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Inilah SMA NU Al-Ma’ruf Kudus. Menurut Muhammad A. Idris, salah seorang alumni sekolah ini yang turut naik ke panggung, sekolah ini sedari awal dirancang untuk menjadi laoratorium kaderisasi Nahdlatul Ulama dan didirikan oleh almarhum KH. Munawar Kholil. Sebuah sekolah yang juga berbasis pesantren, karena untuk para siswa sekolah ini telah didirikan pondok pesantren, bahkan acara tadi malam juga sekaligus dimaksudkan untuk meresmikan pondok pesantren SMA NU Al-Ma’ruf Kudus ini.
Terhadap visi dan cita-cita sekolah ini, Mbah Nun melengkapi mereka, para pelajar ini, dengan cara-cara berpikir yang menopang visi luhur lembaga pendidikan tempat mereka belajar. Yaitu, berpikir dalam skala-skala yang lebih panjang. Contoh sederhana, anak-anak perlu kenal dengan tingkatan-tingkatan silsilah di atas mereka. Umumnya paling jauh mereka hanya mengenal sampai buyut. Padahal peradaban Jawa mengenal 18 tingkat silsilah berikut nama pada setiap tingkatan.
Dalam cara yang sederhana pula, Mbah Nun melengkapi mereka dengan pertanyaan, “Apa yang membuatmu berkumpul sekarang ini di sini?” Subjek yang dimaksudkan. Tapi memang butuh waktu. Ada yang menjawab almuni, guru, Mbah Nun, dan Gusti Allah. Ketika sampai pada jawaban yang terakhir ini, lalu diajak mereka untuk menemukan satu subjek utama lagi yaitu Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jawaban-jawaban ini, kata Mbah Nun, “mencerminkan seberapa jauh Anda memandang”.
Sebelum itu malahan mereka langsung diajak sinau mencari ilmu lewat pertanyaan, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un itu satu titik atau dua titik? Jabarannya, dari Allah ke Allah itu satu titik atau dua titik? Sampai akhirnya mereka menemukan bahwa jawabannya adalah satu titik. Tentang Allah, mereka juga dilatih untuk mengenali penempatan Allah dalam kesadaran diri yaitu Allah sebagai pihak ketiga, Allah sebagai pihak kedua, dan Allah sebagai pihak pertama. Mereka sebagai para penimba ilmu juga didorong menyadari bahwa apapun nama mata pelajaran yang mereka pelajari, temukan hubungannya dengan Allah, dan itulah ilmu agama, yakni yang tidak tergantung objeknya melainkan tergantung cara pandangnya dalam kaitannya dengan posisi dan peran Allah.
Pada tahap paling awal, seusai bersama-bersama mereka diajak membaca alam nasyroh, mereka sudah langsung diajak berpikir mendasar. Termasuk mereka diingatkan akan kota Kudus yang sejarahnya lebih tua dibanding Indonesia. Mbah Nun minta Anak-anak SMA NU Al-Ma’ruf sregep belajar sejarah.
Warisan Sikap Kemuliaan
Butir-butir pengolahan cara berpikir berlangsung dalam suasana yang menggembirakan dan hal itu tercipta lantaran disampaikan dengan metode yang mengedepankan kedekatan, kesegaran, dan pengayoman.
Selain itu, suasana itu terasa menyenangkan karena dilibatkannya para siswa dalam beberapa keperluan. Ada sepuluh orang yang siap berpartisipasi mendiskusikan pertanyaan Mbah Nun. Ada yang siap maju untuk bernyanyi, bahkan Bu Mul guru musik di sekolah ini yang sudah 29 tahun mengajar juga siap menyumbangkan lagu. Ada anak-anak yang siap menafsirkan lirik Lir-Ilir, Dik Esha namanya dan masih kelas 1 atau kelas 10. Ada Riza yang menghadirkan suara indahnya dalam melantunkan ayat al-Qur’an dan Shalawat sekaligus mendapatkan sentuhan sinau dari Mbah Nun. Dan beberapa partisipan lain, tak terkecuali semua jamaah yang ikut workshop musikal yang dipandu oleh Mas Doni dan Mas Jijid: bernyanyi, bergerak, gembira, sembari menemuka nilai-nilai yang perlu disadari seperti kekompakan, saling empati, dan mengerti posisi atau peran.
Rasa senang dan gembira, berjalan beriringan dengan kebutuhan untuk berpikir. Setidaknya dasar-dasar paradigmatik dalam melihat sesuatu telah ditanamkan oleh Mbah Nun. Satu misalnya, berkaitan dengan sejarah Kudus di mana masyarakatnya mewarisi sikap Sunan Kudus yang tak mau makan daging sapi demi menghormati laku pemeluk agama lain kala itu. Mbah Nun membawa jauh pemaknaan atas sikap Kanjeng Sunan itu ke soal sikap mulia. Dan ini, rasa-rasanya pemaknaan baru dan dengan term baru pula: kemuliaan.
Dalam pandangan Mbah Nun sikap mulia adalah mau melakukan sesuatu yang sebenarnya boleh tidak dilakukan. Mau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib. Mau melakukan sesuatu yang sebenarnya kurang disuka. Mau tidak melakukan sesuatu yang aslinya boleh dilakukan. Mau tidak makan daging sapi walau sebenarnya daging sapi boleh dimakan demi menghormati orang lain adalah salah sikap kemuliaan itu. Sampai hari ini masyarakat Kudus masih mewarisi sikap kemulian Sunan Kudus. Lewat contoh mengenai puasa dan shalat, anak-anak diajak pula memahami salah satu perspektif lain yang memperkaya pandangan mengenai mengapa kita mau melakukan ibadah kepada Allah.
Jadi, pemaknaan yang lebih mendasar pada sikap Kanjeng Sunan Kudus bukan hanya mengenai ajaran toleransi, melainkan pilihan sikap mulia. Barangkali ini sumbangan pemikiran dari Mbah Nun yang bisa memperkuat alasan dan pandangan mengenai warisan sikap Sunan Kudus ini.
Menyangga Islam
“Kudus mempunyai beberapa faktor yang tidak ada di tempat lain”. Demikian Mbah Nun mengatakan, dan ini diteruskan dengan menegaskan bahwa fadhilah setiap tempat harus dipahami agar masa depan kota itu juga dimengerti. Tentang Kudus ini, misalnya, Mbah Nun mengingatkan mereka bahwa di seluruh dunia tidak ada yang sanggup menyangga Islam. Boleh dikata, Islam sesungguhnya dititipkan ke Indonesia. Yang mampu menyangga Islam adalah muslim bangsa Indonesia, khususnya daerah-daerah seperti Kudus Demak dan sekitarnya. Demikianlah Mbah Nun mencoba membukakan cakrawala masa depan Islam di dunia dan menggambarkan posisi Kudus di dalamnya. Para siswa diajak mengerti Kudus dalam big picture keislaman dalam skala mondial.
Warisan para wali, seperti tembang Lir-Ilir yang tadi sudah dilantunkan Mbah Nun bersama anak-anak dan seluruh jamaah, serta sudah coba dimaknai oleh Dik Esha, adalah salah satu modal yang akan menampilkan keislaman yang menandai kemampuan menyangga Islam pada tingkat dunia tersebut. Semangat dan kepercayaan diri juga menjadi modal yang lain. Memaknai tentu adalah hal yang luas. Esha yang masih kelas 10 ini berani maju untuk menerima tantangan Mbah Nun menafsirkan lirik Lir-Ilir.
Dan benar, semuanya mesti siap dengan keluasan tafsir. Dik Esha menafsirkan Lir-ilir itu sebagai umat Islam. Wus sumilir dia artikan menyejukkan. Dan ijo royo-royo, di luar dugaan, kata ijo mengaosiasikan dia pada warna hijau traffic lights yang artinya hijau adalah lurus atau jalan terus. Mbah Nun tak menyangka, dan ini justru membuat Mbah Nun semakin membimbing dia menuju keluasan makna. Sempat juga dicoba dikasih pertanyaan kemesraan, “Kalau mereka (cowok-cowok yang di depan panggung) kamu kasih lampu hijau apa nggak”” Kontan dijawabnya, “Lampu merah!” Tawa segar pun menghiasi untuk kesekian kalinya dalam acara ini.
Tuhan Aku Berguru Kepadamu
Sepuluh siswa-siswi yang maju dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok putra dan kelompok putri. Kelompok putra bertugas mendiskusikan apa makna yang bisa diambil dari lirik lagu Putra Masa Depan, dan kelompok putri bertugas mendiskusikan tafsir atau makna yang bisa diambil dari lirik lagu Berguru yang lengkapnya adalah Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu, salah satu puisi Mbah Nun.
Mbah Nun sampaikan, hidup harus ada kesiapan untuk berpikir, dan ada saat senang. Suasana senang dan menggembirakan sudah mereka alami lewat beberapa lagu sebelumnya, seperti Suket Teki yang dilantukan Mbak Fara didampingi Mbak Nia dan Mbak Yuli, juga Bu Mul yang memilih menyumbangkan lagu Andaikan Kau Datang Kembali-nya Koes Plus, dll yang membuat anak-anak SMA NU ini tak henti-hentinya melambaikan tangan mengikuti irama dan menandakan kegembiraan yang mereka alami, khususnya sangat terekspresikan pada para siswi yang mengenakan baju dan jilbab putih yang mendominasi separuh lebih area di depan panggung.
Lirik dua lagu ini memang dilantunkan dalam nuansa yang bukan mengundang ledakan ekspresi gembira, tapi lebih pada kesubliman dan perenungan. Lagu Berguru dibawakan oleh Mbak Yuli, dan Putra Masa Depan dibawakan oleh semua vokalis putra KiaiKanjeng. Dua kelompok ini pun menyampaikan hasil diskusi mereka. Hampir semua ikut urun bicara. Kelompok putra bahkan sistematis presentasinya, yaitu setiap paragraf pada lirik Putra Masa Depan diberi makna. Misalnya, paragraf pertama diartikan sebagai Kanjeng Nabi yang diutus untuk menjadi penerang yang membawa pergerakan dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Paragraf kedua dimaknai: seolah-olah dia tak punya beban karena audah manunggaling kawulo-Gusti. Itulah contoh anak-anak SMU NU menafsirkan lirik yang sangat sufistik dari Mbah Nun.
KH. Abdul Jalil dan Habib Anies Sholeh Ba’asyin diminta oleh Mbah Nun untuk memberikan respons atas presentasi mereka. Kyai Jalil menanyakan kepada Mbah Nun kapan lirik Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu ini ditulis, dan Mbah Nun katakan tahun 1974. Kyai Jalil sangat terkesan dengan lirik ini, dan menurut dia isinya sangat sesuai dengan ayat al-Qur’an surat Hud (11) ayat 52: wa ya qaumistaghfiru robbakum tsumma tuubu ilaihi yursilis sama-a ‘alaikum midrara wa yazidkum quwwatan ila quwwatikum wa la tatawallau mujrimin.
Kyai Jalil lantas menerangkan perbedaan antara istighfar dan taubat, di mana kita sering salah sangka. Kita baru beristighar tapi sudah merasa bertaubat. Sementara Habib Anies lebih mengajak kepada adik-adik pelajar SMA NU ini untuk mengagumi bahwa lirik ini ditulis oleh Mbah Nun pada usia baru 21 tahun. Pada usia segitu sudah bisa menulis kalimat yang secara tasawuf dan filsafat sangat dalam. Kalimat seperti, “tidak tidur di kereta waktu”. Juga ini proses di mana Mbah Nun telah melewati banyak hal, di antaranya mempertanyakan apa yang dia yakini, dan lain sejenisnya. Pada usia 21 kesadarannya sudah jauh. Itulah yang Habib Anies ingin para siswa belajar dari lirik dan pengalaman Mbah Nun.
Inilah liriknya:
Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu
Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu
Meragukan Setiap yang Kutemu
reff :
Kelemahan Menyimpan Berlimpah Kekuatan
Buta Mata Menganugerahi Penglihatan
Ketika Aku Tahu
Terasa Betapa Tak Tahu
Aku Melihat Betapa Penuh Rahasia
Gelap yang Dikandung oleh Cahaya
Di dalam lirik di atas ada kalimat “kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan” dan ini dirasakan oleh Kyai Jalil sangat sinkron dengan kalimat di dalam ayat al-Qur’an yaitu wa yazidkum quwwatan ila quwwatikum (dan Allah tambahkan kekuatan atas kekuatan mereka).
***
Itulah sebagian kecil dari muatan dalam Sinau Bareng dalam rangka ulang tahun emas 50 tahun SMA NU Al-Ma’ruf Kudus. Di atas panggung banyak yang menemani Mbah Nun. Jajaran kepala sekolah dan guru, perwakilan alumni, PLT Bupati Kudus, Kapolres, dan lain-lain, yang semuanya juga ikut sinau kepada Mbah Nun. Pak PLT Bupati menyampaikan apa-apa yang dibicarakan Mbah Nun awalnya tampak belum bisa dengan cepat ditangkap maksudnya, namun ternyata akhirnya bisa dipahami maknanya dan itu tidak dinyana-nyana. Menurut beliau, inilah ilmu otodidak yang tidak diajarkan di sekolah. Karenanya beliau minta supaya para siswa benar-benar menangkap pesan-pesan Mbah Nun.
Menjelang pukul 24.00 acara segera dipuncaki. Namun sebelum itu, ada satu prosesi yaitu pengukuhan komitmen belajar dan kerja keras munuju visi sekolah SMA NU Al-Ma’ruf ini yang akan mengikat semua civitas akademika dan Mbah Nun bersama PLT Bupati Kudus diminta untuk membubuhkan tanda tangan di atas marmer hitam dengan spidol warna emas sebagai saksi dan dukungan untuk niat dan komitmen baik mereka.
Sampai berakhirnya acara, jamaah tidak berkurang. Mereka menunggu bisa bersalaman dengan Mbah Nun. Bahkan ketika mereka diajak berdiri, sebagian bergerak naik ke panggung. Kegembiraan yang dibangun oleh Mbah Nun dan KiaiKanjeng terasa khas karena bikin lengket hati mereka sehingga seakan enggan berpisah. Khususnya, kegembiraan yang dirasakan oleh anak-anak SMA NU ini bukan sekadar kegembiraan, namun kegembiraan yang berisi ilmu, dan itu tentu tidak mudah menciptakannnya, namun di Sinau Bareng, Mbah Nun telah memberikan contoh yang baik tentang semua itu. Anak-anak itu bergembira dan digembirakan oleh Mbah Nun bukan karena mereka sedih, tetapi memang karena saatnya bersyukur dengan syukur yang terpandu dan terisi oleh pengolahan dan wawasan baru. Teman-teman Jamaah Maiyah sendiri secara apik mengambil tempat yang mengisyaratkan mereka turut mensyukuri Sinau Bareng mereka kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng.