CakNun.com
Kesaksian Pak Siswa Santoso

Menggelandang di Belanda

Ahmad Karim
Waktu baca ± 7 menit

Tepat pukul 20.15 waktu Amsterdam, seperti yang dijanjikannya sepulang dari menutup restoran Java Cuisine miliknya, Mas Syafiih Kamil, arek Madura yang oleh sedulur Maiyah di Eropa dipercaya menjadi koordinator Mafaza sudah menjemput kami. Ia datang bersama istrinya yang asal Brebes, Mbak Etika, yang meskipun sejak pagi harinya ndilalah sudah keracunan makanan, tetapi ia tetap memaksakan diri menemani Mas Syafiih.

Di bagasi mobil, mereka sudah menyiapkan sate kambing, ayam panggang, gulai kambing Turki (daging campur terong), dan acar spesial racikan mereka sendiri untuk Sinau Bareng perdana yang mereka juga bersedia dengan senang hati nggelar kloso menjadi tuan rumahnya. Untunglah istri saya sempat menyiapkan dan membawakan bakwan jagung andalannya untuk melengkapi menu restoran Indo (istilah untuk warung-warung yang dimiliki warga Indonesia di Eropa) milik Mas Syafiih.

Ditemani alunan takbiran KH. Muammar ZA yang ia putar di mobilnya menjelang petang yang sunyi menyambut malam Idul Adha, kami bergegas ke apartemen mereka di bilangan Toelstralaan, Amsterdam Barat. Di perjalanan, setelah hampir dua tahun mengenal dan sering ditraktir mas Syafiih, baru kali ini saya mengetahui bahwa dia sudah berstatus warga negara Belanda sejak tahun 2008.

Rencana awal maiyahan perdana ini memang digelar dengan melingkar bersama di Amsterdam sembari membuka link video call interaktif dengan sedulur Maiyah yang lain, terutama bagi jamaah yang dari Jerman, Austria, Belgia, UK, Turki, dan beberapa pegiat yang sedang menikmati liburan musim panas dengan mudik ke kampung halaman di Indonesia. Namun, karena semua langsung sangat khusyuk ngobrol tak terbendung, laptop yang sudah disiapkan dari awal bahkan sama sekali belum sempat dibuka.

Meskipun hanya diawali beberapa orang, edisi perdana yang kami sepakati mengangkat tema Liberté, égalité, fraternité diharapkan menjadi semacam syahadah bersama untuk menemukan kembali esensi tiga prinsip tersebut dari hal-hal terdekat yang kami alami, lalui, dan rasakan. Kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, yang faktanya telah tereduksi besar-besaran menjadi kejenuhan (beté), sesuatu yang tak terjangkau (élité), dan sekadar ornamen atau apus-apus (ternit), sebenarnya apa, dari mana, dan untuk apa? Pertanyaan ini menjadi fondasi untuk menggali pemahaman dan kesadaran baru yang lebih presisi.

Nyambung Balung Pisah

Surprise bagi kami, Pak Siswa Santoso (Pak Sis) bersedia hadir. Beliau adalah salah satu sahabat lama Mbah Nun sejak era diskusi di rumah almarhum Umar Kayam di Yogya pada akhir era 70-an awal 80-an, yang kemudian dipertemukan kembali di Belanda pada gelaran International Poetry Reading Festival di Rotterdam tahun 1984. Dan kami yakin momentum ini menjadi sangat penting untuk kami gali, baik dari sisi proses awal penggelandangan Mbah Nun di Rotterdam, Amsterdam, Berlin dan kota-kota lain di Eropa, tetapi juga perjalanan aktivisme dan spiritualitas pribadi Pak Sis yang sangat menarik meskipun baru secuil beliau ceritakan.

Saking asyiknya, acara benar-benar lupa dibuka dengan resmi, meskipun sekadar membaca surat Al-Fatihah, shalawat nabi, atau bahkan Assalamualaikum sekalipun. Saya hanya mbatin, semoga keakraban dan kemesraan yang melupakan formalitas tadi benar-benar mendapatkan pemakluman Tuhan di malam Idul Adha atau Idul Qurban. Jamaah Maiyah sudah sama-sama mafhum bahwa esensi nilai utama Idul Adha adalah untuk mendekatkan, mengakrabkan, bahkan memesrakan, tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan alam semesta dan penciptanya. Kalau belum-belum sudah akrab dan mesra tanpa kulonuwun, bukankah itu sebuah pertanda, atau bahkan anugerah tersendiri yang di dalamnya pasti sudah mencakup nilai dasar liberty, egalitarian, dan fraternity?

Tidak seperti biasanya, karena kebetulan saya sudah beberapa kali bertemu dengan Pak Sis di berbagai acara, kali ini saya lihat beliau sangat serius memenuhi udangan shohibul bait. Bahkan dengan rapi beliau memakai peci songkok bermotif Madura (mungkin untuk menghormati tuan rumah) dan baju koko layaknya mau pengajian karena namanya saja Mafaza, idiom yang langsung diambil dari Al-Qur`an di akhir ayat 31 surat An-Naba`. Karena merasa kecele (mungkin dalam hati beliau nggrundel, “bajindot, tak kiro pengajian koyo biasane nang kelompok religius, kok iki malah do kaosan ngene?”), beliau pun segera melepas baju koko dan menyembunyikan peci Madura itu.

Setelah Mas Syafiih selesai menjelaskan makhluk baru yang bernama Mafaza, khususnya kepada Pak Sis sebagai yang kami anggap “sesepuh, orang tua, Mbah”, bahwa Mbah Nun sendiri yang memberikan nama itu pada tanggal 2 Agustus lalu melalui Mbak Nafis (penggiat Maiyah Jerman yang sedang mudik) untuk kami taddaburi bersama, kami langsung mohon beliau untuk ngudar roso, membuka khazanah pengalaman beliau untuk kami serap bersama.

Ahmad Karim
Jamaah Maiyah asal Wonosobo. Pegawai BAPPENAS, sedang menempuh studi doktoral bidang Antropologi dengan fokus tentang citizen security, new social and religious movement di Universitas van Amsterdam.
Bagikan:

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
Exit mobile version