CakNun.com
Kesaksian Pak Siswa Santoso

Menggelandang di Belanda

Ahmad Karim
Waktu baca ± 7 menit

A Paradigm Shift

Kalimat pertama yang keluar dari Pak Sis adalah, “Setelah saya baca mukadimah, saya mbatin, wah acara apa ini? Ada slogan revolusi Perancis kok sak enake dicoret-coret, kemudian dicari cerminannya hari ini, iku tak anggep titis lho, wah, mlethik, pinter iki sing nggawe, saya jadi inget bener sosok Cak Nun, dan saya langsung memutuskan untuk datang”.

Tanpa basa-basi, beliau langsung mengajak kita bernostalgia ke proses awal bagaimana beliau menyambut Mbah Nun di gelaran International Poetry Reading Festival di Rotterdam 1984. Pak Sis bercerita bahwa ketika itu, sebelum Mbah Nun mengetahui kepastian keberangkatan ke Rotterdam, beliau sudah berkomunikasi dengan salah satu profesor di Universitas Leiden yang merupakan anggota committee festival Rotterdam. Profesor inilah yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu, dan beliau menambah referensi kepada sang profesor bahwa seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok sangat spesial yang akan “menghidupkan” event itu.

Singkat cerita, ketika akhirnya Mbah Nun terbang ke Belanda, Pak Sis merangkum momen Rotterdam Mbah Nun dengan: “Wah, gempar waktu itu, pokoknya ada dia selalu gempar lah…Bener, pada bingung itu orang-orang dari Amerika, Afrika, Amerika Latin, dari mana-mana, apalagi yang dari Eropa dan Israel, siapa itu namanya, Shierly atau siapa namanya saya lupa, malah bener-bener kepincut sama Cak Nun dan minta pentas bersama.”

Pak Sis melanjutkan, “Saat itu kan tidak banyak yang tahu tentang Indonesia, apalagi sastrawan dan karya-karya sastranya, sangat sedikit, dan Cak Nun berhasil membuat kejutan, dalam artian tidak hanya tema, tetapi mengangkat karakter dan nilai ke-Indonesiaan yang mendapatkan perhatian dari dunia, ya dengan caranya. Gayanya mendeklamasikan sesuatu memang lain sekali, beda dengan siapapun, bahkan waktu itu seorang WS Rendra yang sudah dijuluki singa podium pun tak segarang itu.”

“Suatu hari di tengah perjalanan”, imbuh Pak Sis, “Cak Nun tiba-tiba melihat sesuatu dan dapet ide bikin semacam street theatre, dan bener di tengah jalan dia pentas, bergaya aneh, kayak nari apa gitu, ada gaya kuda lumpingnya juga, ngomong sesuatu, yang menarik banyak orang.”

Sambil menahan tawanya, Pak Sis melanjutkan, “Kemudian, setelah acara inti selesai, dia ngomong ke saya, Sis, aku ora krasan nang hotel, resik banget nggone, empuk mentul-mentul kae malah aku ora iso turu, mangane yo macem-macem tapi aku ora kolu.”

“Dia ngomong ke saya gini, saya masih inget betul. Aku melu kowe wae yo? Terus saya jawab, nanggonku ki yo asrama yo untel-untelan ngono kae lho! Dia malah menjawab: Hayo kuwi sing kepenak!”

“Trus saya bawa pulang Cak Nun ke asrama saya di Amsterdam, lha ternyata diikutin sama fans-fans dia itu, bukan main-main, dari Amsterdam ada seorang profesor yang kemudian pindah ke Amerika dan sekarang sudah pensiun, ada satu profesor lain juga, dan si Shierly”.

“Shierly itu, meskipun asli orang Yahudi, dia cerita kepada saya bahwa melalui Cak Nun, dia menjadi semakin yakin dengan dukungannya atas kemerdekaan negara Palestina. Wis bar iku, ngintiiiiilll terus. Dan ketika tinggal sama saya, dia pinter sekali masak, Cak Nun itu yang ngajari saya nggoreng tempe sing enak lho”.

Momen Nomaden

Pak Sis juga bercerita bahwa kemudian anak dan istri beliau dari Indonesia menyusul ke Amsterdam, sehingga beliau harus pindah asrama (aturan housing di Belanda memang sangat ketat tentang ukuran rumah dan berapa penghuni yang boleh ada di dalamnya). Bersama keluarganya, beliau kemudian “ditampung” di sebuah asrama yang dikolelola oleh sebuah yayasan gereja yang dipimpin oleh pendeta Hofman.

Beliau mengatakan: “Karena Cak Nun bilang ke saya kalau dia ingin tinggal lebih lama, belajar lebih banyak, dan mengenal kehidupan masyarakat Belanda lebih dalam, saya perkenalkan dia ke pendeta Hofman. Awalnya dinyik-nyik sama pendeta Hofman karena dia belum tahu siapa Cak Nun. Akhirnya, tinggallah Cak Nun bersama kami sekeluarga beberapa waktu, dan anak saya suka sekali sama dia. Sekitar tahun 2008, ketika Cak Nun kembali ke Belanda bersama KiaiKanjeng, dia sempat menemui pendeta Hofman. Kemudian terakhir tahun 2017, dia ingin ketemu pendeta Hofman, tapi kehilangan nomor kontak, dan saya juga gak pegang lagi”.

Pak Sis melanjutkan: “Setelah ke sana-kemari, nulis buku, nulis macem-macem, saya tahu bahwa profesor Ben White dari ISS Den Haag bersedia membantu Cak Nun memperoleh beasiswa setahun, artinya peroleh pemasukan untuk hidup dan tempat tinggal di Den Haag selama setahun. Beliau suka sekali pemikiran Cak Nun. Kalau orang lain banyak ditolak proposal risetnya sama profesor Ben White, ini dia malah yang mengikuti apa maunya Cak Nun. Cak Nun dibiayai, dibebaskan sebebas-bebasnya, diberi kesempatan mau apa saja di ISS Den Haag, kuliah, seminar, konferensi, ke Berlin, ke mana-mana, asalkan untuk mendukung imajinasinya menulis. Tulisan periode itu banyak dimuat di buku Dari Pojok Sejarah, lihat saja. Saat itu dia gagah, gondrong, keren, tapi tetap bersahaja, suka menggembel, menggelandang beneran di jalan-jalan ketemu banyak orang. Ia tidak punya tempat tinggal tetap, dan sempat juga dapat kamar asrama mahasiswa di Oude Molstraat no. 25 yang saya antar-jemput dan bantuin ngangkutin barang-barangnya.”

Pak Sis yang asal Purwodadi ini juga kemudian merefleksikan pengalaman pribadi beliau sejak SMA di Semarang, sempat merasakan kuliah di UGM namun hanya betah sebulan, pindah ke Universitas Sanata Dharma pun tidak sampai satu semester, dan akhirnya pindah lagi ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) sampai lulus. Beliau sempat mengajar sebentar sebelum terbang ke Amsterdam pertama kali pada tahun 1983. Melalui pertemuan dan kebersamaannya dengan Mbah Nun, beliau menemukan kemerdekaan berpikir yang masih dirasakan sampai sekarang.

Beliau bahkan sering disindir oleh saudara-saudara beliau yang mayoritas menempuh jalur pekerjaan “formal” yang “mapan”. Namun, “ketidakjelasan” bagi beliau dimaknai sebagai sebuah kemerdekaan menjalani hidup. Dengan itu, dan setelah sekian tahun tinggal di Belanda, sejak awal terdaftar sebagai mahasiswa master di Universitas Amsterdam, kemudian menjadi aktivis yang mendukung pergerakan turunnya presiden Soeharto dari Belanda, beliau tidak lagi memperoleh beasiswa, bahkan paspor beliau sempat dipersoalkan perpanjangannya, sehingga beliau dan keluarga mengalami hidup sebagai undocumented migrants (imigran gelap) beberapa tahun.

Dari pengalaman itu, beliau menjadi pribadi yang sangat mendukung perlindungan tenaga kerja “gelap” asal Indonesia, menentang misi dan policy memulangkan seperti yang ditargetkan pemerintah Belanda melalui organisasi-organisasi migran yang ada. Sambil bercerita sejarah, beliau menyatakan prinsip beliau dengan bertanya: “Apa pernah kita, orang Indonesia, mempertanyakan status orang Belanda yang tinggal di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu mereka ilegal datang ke bumi Nusantara hingga kini, sementara warga gelap dari negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura dll malah mendapatkan privilege hanya karena indikator GDP negara-negara itu dianggap lebih tinggi?”

Usai Soeharto lengser, dan beliau kembali bisa memperpanjang paspor, maka segala urusan hak-hak sebagai WNI yang masih beliau pertahankan hingga kini tidak lagi dipersulit di KBRI. Bahkan, dengan bantuan seorang advokat lokal, Pak Sis sekeluarga bisa memperoleh izin tinggal tetap, juga mendapatkan dana tunjangan anak dari gementee (pemerintah Belanda) yang selama beberapa tahun tidak mereka peroleh. Sejak saat itu, beliau dengan merdeka membantu siapapaun WNI yang membutuhkan bantuan.

Bersama banyak simpul aktivis WNI di Belanda, beliau aktif mengikuti rapat-rapat rintisan berbagai organisasi, baik keagamaan, sosial, politik, profesi, kelompok exiles (eksil), maupun yang berhubungan dengan hukum dan ketenagakerjaan, bahkan dengan para mahasiswa di wadah persatuan pelajar Indonesia (PPI) yang usianya terpaut sangat jauh. Nyaris setiap ada event yang ada kata-kata “Indonesia” dan sampai ke radar beliau, di situ Pak Sis ingin nggendong kunci menjadi jalan kemerdekaan orang banyak. (Ahmad Karim)

Ahmad Karim
Jamaah Maiyah asal Wonosobo. Pegawai BAPPENAS, sedang menempuh studi doktoral bidang Antropologi dengan fokus tentang citizen security, new social and religious movement di Universitas van Amsterdam.
Bagikan:

Lainnya

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Warung Uncluk Barokah KiaiKanjeng

Waktu adalah sebuah bentangan yang teramat panjang, betapapun secara teknis ia dapat dibagi-bagi ke dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan satuan atau putaran lainnya.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
Yuli Astutik Melestari Shalawatan di Menturo

Yuli Astutik Melestari Shalawatan di Menturo

KiaiKanjeng memiliki dua orang vokalis perempuan: Kurniawati dan Yuli Astutik. Keduanya sama-sama sudah cukup lama berada di jajaran vokalis KiaiKanjeng.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa