Mencuci Gudang, Menjual Garasi
Mengoleksi barang antik merupakan sebuah kesenangan atau hobi bagi sebagian kalangan dan menjadi suatu kegiatan keterpaksaan bagi sebagian lainnya. Oleh sebab itu, di rumah-rumah, kantor, maupun pertokoan, tak pernah lepas dari satu ruangan bernama “gudang”. Tempat ini tidak berukuran cukup besar, apabila sudah melebihi kapasitas, maka diseleksi satu barang yang cukup bernilai jual, untuk dijajakan di beberapa toko online.
Sebagai salah satu bagian dari kegiatan serious leisure, kegiatan mengoleksi barang antik banyak dikaji di lingkungan akademisi. Kegiatan yang dilakukan di waktu senggang ini memiliki ciri yaitu kebebasan dan terlepas dari unsur pekerjaan yang mengikat (Spurgin, 2013). Dalam sebuah penelitian terkait sulitnya menemukan suatu barang antik, ditemukan suatu situs penjualan barang antik dengan sistem barter dan tunai melalui proses tawar-menawar praktis antara kedua belah pihak. Namun mengapa untuk mendapatkan uang seseorang rela menukarkan suatu barang yang memiliki nilai yang lebih tinggi dari sekedar materi. Jika pun itu bersifat barter apakah nilai yang terkandung atau nostalgia melekat pada suatu barang akan mampu tergantikan? Apakah dengan melakukan ‘cuci gudang’, manusia sudah tidak ingin berurusan dengan kenangan?
Iklim ‘cuci gudang’ berada pada suhu yang sedang ekstrem. Tiupan gerakan modernisasi nampaknya cukup untuk menghadirkan badai ambisi. Ambisi pada sesuatu yang temporer, yang nampak seksi namun menghilangkan unsur-unsur historis. Dunia memang sedang berguncang, duit konon penyebabnya. Ia nampaknya tengah bersalin rupa menjadi sebuah makhluk yang diagungkan. Bila tak dapat diraih, maka apa saja boleh ditukar untuk mendapatkannya. Padahal seyogianya, manusia harus mampu menemukan kembali fitrahnya, lahir kembali. Sering disampaikan oleh Syaikh MN Kamba, harus murtad dulu, murtad dari kepalsuan.
Pandangan temporer ini sering membuat manusia lebih merasa berbangga jika memiliki garasi daripada memiliki sebuah gudang. Garasi yang “mewah” dan gudang yang “kuno”. Hal ini tentu memiliki pengaruh tidak hanya dalam sistem nilai, tapi juga dalam pengistilahan. “Cuci gudang” mengandung makna yang tidak jauh dari hasrat manusia untuk memusnahkan nilai historis dan “jual garasi” mengarah pada kehilangan segalanya. Mana mungkin menjual garasi saja? Jika manusia kehilangan satu materi (garasi), itu sangat mengganggu kondisi psikologisnya. Perasaan seperti kehilangan segalanya.
Sebagai manusia kita sering menggantungkan harapan pada tukar-menukar alih-alih penerimaan dan kerelaan. Jika kita berbicara tentang kekayaan seringkali kita memusuhi kemiskinan, begitu pula yang dituliskan oleh Mbah Nun dengan judul yang sama di tahun 2016, sebagai berikut:
“Jadi kenapa yang terjadi sekarang malah sebaliknya? Menjadi pengemis kemana-mana. Mempertukarkan kehebatan dengan kekonyolan. Menjual kehormatan membeli kehinaan. Menggadaikan martabat kebangsaan karena takut kelaparan. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia kelaparan?”
Ada tiga alat yang tidak pernah terlepas dari manusia dalam usaha pemenuhan sistem hubungan dan kebutuhan, yaitu, cangkul sebagai upaya pengelolaan, pedang sebagai upaya perlawanan, dan keris sebagai pusaka (pertahanan diri: personal, moral, kultural, dan spiritual). Disebabkan potensi paradoksial dalam segala hal, terpecahlah fungsi-fungsi tersebut. Dimana pedang digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan, cangkul dipakai untuk pertahanan, dan terhadap penindasan kita malah menjual dan mengobral pusaka pertahanan diri kita kepada para penindas kita. Jadi bagaimana mungkin Indonesia tidak akan memberantas kelaparan, kekonyolan, dan kehinaan jika menempatkan tiga hal tersebut secara disfungsional?
Kita telah tiba di suatu masa dimana segalanya harus menjadi baru, bukan pembaruan. Pesimisme barangkali penyebabnya. Sebab ijtihad tidak berbeda dengan makna inovasi dan pembaruan. Yang seharusnya dijalani secara komprehensif, jujur, dan sungguh-sungguh. Dalam menemukan sebuah inovasi, sangat penting mengkaji nilai-nilai historis yang terkandung pada objek maupun subjek. Tentunya hal ini memerlukan analisis kritis dan njlimet. Menurut Ebrahim Moosa tugas utama intelektual adalah menciptakan suatu “kreativitas” antara ortodoksi dan modernisasi.
Di lingkaran nanti, mari mencuci gudang kewarasan tanpa mengobral kesadaran. Waras dengan sadar. Sadar dengan kewarasan.