Mencari Akar, Meneladani Sesepuh Padhangmbulan
Cak Nun menjelaskan kalau Padangmbulan sudah berjalan sejak tahun 1993. Sekitar 26 tahun ia menjadi induk gerakan Maiyah di Nusantara. Kota-kota lain yang kini aktif menggelar Maiyah dapat dikatakan mustahil lahir tanpa diawali Padhangmbulan. Sebagai induk, ia merupakan gelombang pertama, kemudian baru berangsur gelombang-gelombang berikutnya. Tentu saja dengan aneka rupa formula sekaligus karakteristik sosialnya, sekalipun semuanya dipertautkan oleh spirit kepengasuhan Bani Muhammad.
Membincang gelombang pertama Maiyah di Padhangmbulan, maka sudah semestinya menilik bagaimana dapur di belakangnya. Pada mulanya adalah pengajian keluarga yang diinisiasi Cak Mad dan Bunda Halimah. Seiring dengan berjalannya waktu, pengajian mikro itu meluas, jamak orang dari belahan wilayah berbondong-bondong ke Padhangmbulan. Di sini terlihat jelas betapa “kesadaran tumbuh” berlangsung sistemik dan natural.
Jauh sebelum itu, sebagaimana banyak dipercakapkan sesepuh Padjangmbulan tadi malam, rumah Cak Mad dan Bunda Halimah telah lama menjadi bukti historis pendidikan sosial-kemasyarakatan. Semula berbentuk sistem langgar dengan sistem pembelajaran kultural. Ia pun kemudian berkembang menjadi “sekolah rakyat” dalam pengertian praksis. Di balik proses itu sekitar 18 sesepuh yang diberi Ijazah Maiyah turut serta mendampingi sekaligus menjadi saksi sejarah.
Achmad Saifullah Syahid dalam tulisannya bertajuk Ijazah Padhangmbulan: Kesaksian terhadap Kesetiaan dan Kesederhanaan mencatat kalau para sesepuh itu merupakan “akar dari ibu Maiyah”. Ia menguraikan kalau di balik pesona buah selalu terdapat struktur dan dimensi lain yang terkadang terabaikan. Dengan menganalogikan sesuatu yang tak kasatmata itu sebagai akar, ia mewedar bagaimana para sesepuh itu layaknya “akarnya Padhangmbulan”.
“Akar memang tersembunyi, berada di dalam tanah, bahkan dalam kadar tertentu, jangan sampai ia kelihatan. Ia tidak boleh ditiadakan, atau dianggap tidak ada. Meskipun faktanya, akar yang sembunyi sering kalah ‘populer’ dibandingkan buah,” paparnya. Itulah pertimbangan utama kenapa Ijazah Maiyah tersebut diberikan kepada para sesepuh Padhangmbulan.
18 sesepuh itu adalah Bapak M. Adenan (Guk Denan), Bapak Zainuri (Guk Ri), Bapak Abdul Kholiq (Guk Lik), Bapak Kasdu, Ibu Faridah, Ibu Sarofah, Hj. Marhamah, Bapak Nuchin (Markesot/Guk Nukiq), Bapak Muslikh, Bapak Bambang Ma’ruf, Bapak Margin, Bapak Sumadi, Bapak Mukhlis, Bapak Nasrib, Bapak Kanip, Bapak Saiful Alam, Bapak Mari, dan Sulkhan Mulud. Sesepuh itu sebagian besar bercerita titik persinggungan dengan Cak Mad dan Bunda Halimah.
Pak Sumadi beranjangsana ingatan dengan Bani Muhamamd. Ia dahulu merupakan wasit sepak bola terbaik di Menturo. Cak Nun mengatakan kalau karakter beliau luar biasa. “Sejak Menturo di zaman itu ya mereka itu masih sama sampai sekarang. Masih otentik dengan karakternya. Itu kenapa kita harus mempertimbangkan jangan sampai kita jauh-jauh amat dengan apa yang dikehendaki ciptaan Tuhan. Dan Pak Sumadi dari dahulu ya begitu itu. Masih istiqamah,” tuturnya.
Ada satu cerita menarik. Di antara para sesepuh Guk Denan pernah ke Kadipiro. Ia hanya menggenjot sepeda ke Yogyakarta. Sesampainya di Patangpuluhan, ia bertanya apakah Cak Nun di rumah. Manakala dijawab kalau Cak Nun ke luar kota, sontak Guk Denan langsung pulang ke Jombang. Bersepedaan semacam itu juga dilakukan ke pelbagai tempat. Bahkan sampai ke Malang.
Cerita lain lagi masih dari Guk Denan. Ia menceritakan kalau pernah mencari dana untuk keperluan khitan bersama Cak Mif di Mojokerto. Cerita ini terjadi lebih dari tiga dekade silam. Cak Nun sendiri mengatakan kalau Guk Denan pernah ikut kesebelasan nasional. Bahkan pernah menggondol juara saat pertandingan antara Menturo dan Gedangan di tahun 70-an. Torehan prestasi itulah yang membuat Cak Nun belajar banyak olahraga sepak bola dari Guk Denan.
Sementara itu, di antara para sesepuh, Pak Muslikh bersinggungan dengan Bani Muhammad sejak kecil. “Belajar sama Cak Mad itu sudah sejak kecil. Dulu belajarnya ya di langgar situ. Saya ingat kalau bagaimana awalnya mendirikan sekolah di sini. Pengorbanan Cak Mad paling ikhlas. Semoga bisa diteladani semua orang. Ilmu darinya banyak banget,” kenangnya.
Malam itu para sesepuh berbagi banyak pengalaman kepada jemaah Padhangmbulan. Kesempatan berjumpa, bahkan mengumpulkan mereka semua, adalah anugerah waktu tak ternilai. Kesempatan itu digunakan semaksimal mungkin. Banyak pertanyaan yang diajukan. Kebanyakan menggali ingatan dan teladan buat bekal kehidupan. Di bawah bulan purnama di Menturo, semua menikmati kegembiraan. Dari dusun kecil di utara Jombang, sepenggal kisah dan kenangan dianyam. Menyaksikan malam itu seakan memberi arti bagaimana meneladani para pahlawan.