Merombak Pemahaman Wa laa tansa nashiibaka minad-dunyaa
“Kalau ada sesuatu dalam hidup ini yang tidak bisa Anda capai dengan ilmu, maka gunakanlah iman,” Cak Nun melanjutkan. Setiap orang yang berkeluarga, modal utamanya adalah iman. Seorang suami tidak akan memahami sepenuhnya istrinya, begitu juga istrinya tidak mungkin mengetahui tingkah laku dan gerak-gerik suaminya setiap hari. Maka, iman adalah modal utama dalam berkeluarga. Begitu juga dalam memahami Al-Qur`an, ada banyak ayat di dalam Al-Qur`an yang tidak mungkin kita pahami dengan ilmu yang kita miliki, maka di situlah peran iman dalam membantu kita memahami Al-Qur`an. Di Maiyah, kita memiliki konsep tadabbur, karena yang paling penting adalah apakah menjadikan kita lebih dekat dengan Allah atau tidak.
Cak Nun kemudian secara bergantian memberi kesempatan kepada Mas Eko WInardi dan Mas Eko Tunas, dua sahabat Cak Nun yang malam itu hadir di Mocopat Syafaat. Mas Eko WInardi diberi pertanyaan oleh Cak Nun tentang ketepatan penggunaan kata meletakkan pada kalimat “meletakkan sampah”. Mas Eko Winardi memiliki pandangan bahwa pada hakikatnya tidak ada yang dibuang, bahkan sampah sekalipun. Karena baginya antara manusia dengan alam harus memiliki hubungan yang baik.
Dengan kata “membuang” seolah-olah menjadikan sampah sebagai pihak yang buruk, padahal kita juga melakukan pembuangan sampah di wilayah alam yang juga merupakan ciptaan Allah. Maka, kita harus memperbaiki relasi hubungan manusia dengan alam, yang tadinya “membuang” menjadi “memilah, menaruh, membagi, meletakkan” sampah. Karena Allah menciptakan manusia adalah untuk memelihara alam, tetapi pada faktanya justru yang dilakukan adalah merusak.
Mas Eko Tunas, yang duduk di sebelah Mas Eko Winardi, bercerita pengalamannya suatu hari ia dikirim oleh Cak Nun untuk pergi ke Mandar. Pengalaman di Mandar saat itu sangat berharga. Satu kisah yang ia kenang adalah ketika diajak melaut oleh masyarakat di Mandar. Bahkan, Mas Eko Tunas masih ingat nyanyian para nelayan orang Mandar ketika melaut.
Mandar memang bukan tempat yang asing bagi Cak Nun, maka Mandar memang memiliki tempat istimewa di hati Cak Nun. Jika Cak Nun datang ke Mandar, maka masyarakat di sana akan menyambut Cak Nun dengan bahagia. Tidak berlebihan jika kemudian Cak Nun dianggap sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang. Ikatan batin Cak Nun dengan Mandar sudah sangat kuat, maka seperti yang dialami oleh Mas Eko Tunas, jika Cak Nun belum sempat datang ke Mandar, Cak Nun akan mengutus sahabat atau kerabatnya untuk datang ke Mandar, untuk berbagi wawasan, sharing ilmu, memperkuat tali silaturahmi dan lain sebagainya.
Mendalami Makna nashiibaka minad-dunya
Dan tibalah saatnya, The One and Only Pak Mustofa W. Hasyim membacakan puisinya. Bagi yang sering datang ke Mocopat Syafaat pasti sudah paham, bahwa Pak Mustofa memang memiliki sesi khusus untuk membaca puisi. Dengan gaya penyampaian yang tidak jelas logatnya, tetapi sebenarnya setiap kata yang disusun oleh Pak Mustofa dalam sebuah puisi adalah susunan kata yang indah. Namun seringkali justu dengan gaya pembawaan khas Pak Mustofa ini membuat suasana menjadi gayeng. Mungkin, dari sekian penyair yang ada di dunia, hanya Pak Mustofa sendiri yang membaca puisinya sendiri sembari mengomentarinya dalam waktu yang sama. Sementara personel KiaiKanjeng sudah sangat terbiasa mengiringi Pak Mustofa bernyanyi, tentu saja tanpa latihan sebelumnya, ditambah dengan suara Pak Mustofa yang “tidak jelas” itu. Cak Nun pun berkelakar; “Setidak jelasnya Mustofa W. Hasyim masih lebih tidak jelas Republik Indonesia,” jamaah pun tertawa.
Setelahnya, KiaiKanjeng membawakan nomor yang malam itu memang dispesialkan Mbak Nia dan Mbak Yuli, vokalis yang tidak setiap bulan berkesempatan datang ke Mocopat Syafaat. Nomor-nomor sholawat karya KiaiKanjeng dibawakan, seperti; Ya Nabi salam alaika.
Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk memasuki Lorong ilmu melalui Surat Al Qashas ayat 77; Wabtaghi fiimaa aataakallahu-d-aaro-l-aakhirota wa laa tansa nashiibaka minad dunyaa. Apa yang dimaksud dengan kata nashiib pada ayat ini dijelaskan oleh Cak Nun adalah Allah menciptakan manusia dengan ketetapan perannya masing-masing. Maka, tugas manusia adalah menemukan perannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah kepadanya. Kalau cacing, jadilah cacing. Kalau macan, jadilah macan. Kalau burung terbanglah seperti burung. Jangan cacing memaksakan diri menjadi burung.
Maka, melalui ijtihad kita masing-masing, entah melalui ilmu primbon, zodiak, finger print atau apapun saja, kita harus menemukan potensi dalam diri kita, kemudian memaksimalkan potensi itu, sehingga kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita. Sudah pasti tidak semua hal bisa kita ketahui. Cak Nun menambahkan bahwa ada beberapa gradasi tentang ilmu; 1. Ada sesuatu yang harus kita ketahui, 2. Ada sesuatu yang sebaiknya kita mengetahuinya, 3. Ada sesuatu yang kita boleh mengetahuinya tetapi juga boleh tidak kita ketahui, 4. Ada sesuatu yang sebaiknya kita tidak mengetahuinya, dan 5. Ada sesuatu yang mengharuskan kita tidak mengetahuinya.
Betapa beratnya tugas manusia jika memang harus mengetahui semua hal yang ada. Tidak ada gunanya kita mbentoyong untuk mengetahui semua hal di dunia. Bahkan, jika kita diberi akses untuk mengetahui isi hati orang lain saja belum tentu kita memiliki kesiapan mental. Seorang suami bisa saja akan kaget dan kecewa jika tiba-tiba ia dibukakan mata batinnya untuk mampu mengetahui apa yang terbesit dalam hati istrinya, begitu juga sebaliknya. Kembali lagi, di sinilah salah satu fungsi iman dalam diri kita. Bahkan dalam hidup ini ditegaskan oleh Cak Nun justru lebih banyak hal yang tidak kita ketahui jika dibandingkan dengan yang kita ketahui. Tidak tahu tentang semua hal juga bukan sebuah keburukan, karena yang lebih penting adalah kemampuan kita berbuat baik kepada sesama manusia.
Kegembiraan dan kebahagiaan kita di Maiyah tidak lain dan tidak bukan adalah atas perkenan Allah. Semua itu karena Allah memperjalankan kita dan mempertemukan kita pada frekuensi yang sama.