Membangun Kembali Keutuhan dan Keseimbangan Manusia
Minggu (24/3) menjadi momen yang istimewa di Batubulan, Denpasar. Malam itu, Maiyahan di Masuisasni Bali Mbah Nun dan Bu Via hadir. Tentu saja momen ini sangat istimewa, karena di Bali ada sosok yang sejak lama Mbah Nun memperkenalkannya kepada kita sebagai guru kehidupan. Sosok yang tidak lain adalah Pak Umbu Landu Paranggi. Sudah banyak cerita tentang Pak Umbu yang diceritakan oleh Mbah Nun di berbagai Maiyahan, ada beberapa tulisan yang ditulis oleh Mbah Nun khusus untuk menceritakan Pak Umbu ini, di antaranya adalah; “Presiden Malioboro”, “Humanisme Tropis: Realisme Senin Kemis”, dan “Ustad Umbu”.
Sebuah puisi karya Pak Umbu yang kemudian dijadikan sebuah lagu sudah tidak asing lagi di telinga kita; “Apa ada angin di Jakarta”. Lagu ini menjadi lagu pembuka di Maiyahan Masuisani minggu kemarin. Mbah Nun dan Bu Via berduet membawakan lagu ini diiringi oleh grup musik teman-teman Masuisani Bali. Dan seperti biasanya, meskipun belum pernah latihan bersama, tetapi masing-masing mampu menempatkan diri, dan alunan nada yang mengiringi pun harmonis.
Dari pijakan “Apa ada angin di Jakarta” ini, Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir di Umah Wisanggeni malam itu agar sepulang dari Maiyahan dapat menemukan kembali keutuhan sebagai manusia dalam keseimbangan. “Satu-satunya yang mengikat kita untuk datang ke tempat ini adalah cinta yang sejati dan keindonesiaan kita. Terserah agamanya, terserah sukunya, terserah pilihan capresnya, tetapi kita malam ini diikat oleh sesuatu yang paling sejati dari manusia yaitu cinta kasih, rahman rahim yang ditanam oleh Tuhan Yang Maha Esa di dalam diri kita”, Mbah Nun mengawali.
Huma. Satu kata yang digarisbawahi oleh Mbah Nun malam itu. Dengan segala fenomena yang kita saksikan hari ini di Indonesia, kita sudah tidak punya lagi Huma di Indonesia. Mbah Nun menjelaskan bahwa Huma itu dalam bahasa Inggris adalah Home, dan Home itu berbeda dengan House. “Kita sekarang punya House of Indonesia tetapi kita tidak punya Home of Ibu Pertiwi, Home of Tanah Air Indonesia”, lanjut Cak Nun.
Kembali ke soal keutuhan dan keseimbangan, Mbah Nun menjelaskan bahwa sekarang ini kita sebagai bangsa Indonesia dalam kondisi terpecah-belah, terkotak-kotakan, sehingga kita sangat sukar untuk berpikir utuh dan seimbang. Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk tidak menggunakan cara berpikir kemarin. Maksudnya adalah, sesuatu yang sudah berlalu dan kita dapati bahwa sesuatu itu ternyata adalah kepalsuan, maka kita tidak menggunakannya sebagai sebuah pijakan berpikir. Maiyahan seperti Masuisani Bali ini misalnya, tidak bisa didefinisikan sebagai forum diskusi publik, pengajian, panggung orasi, pentas kesenian atau apapun saja yang sudah pernah ada. Kita menyebutnya dengan istilah Maiyahan. Dan Maiyahan ini tidak bisa kita bakukan konsepnya, tidak bisa kita pakemkan metodenya, tidak bisa kita padatkan bentuknya. Semua yang kita rasakan di Maiyahan berlangsung alami dan mengalir begitu saja, karena kita sangat taat dan yakin kepada hidayah-hidayah Allah yang berpendar-pendar setiap waktu, yang Allah turunkan kepada semua makhluk-Nya.
Menyinggung situasi politik di Indonesia, Mbah Nun menyampaikan bahwa setelah 17 Aparil 2019 nanti, bangsa ini akan menjalani 5 bulan yang penuh dengan ranjau-ranjau. Entah siapa nanti yang menjadi pemenang dari kontestasi Pilpres 2019, jika tidak hati-hati dalam menjalani 5 bulan selanjutnya, maka bangsa ini tidak akan memiliki bekal yang mumpuni untuk menjalani 2 tahun selanjutnya yang merupakan tenggat perjalanan jangka menengah bangsa Indonesia. Digambarkan oleh Mbah Nun, jika sedang membangun pernikahan, maka tahun 2019-2020 adalah tahun di mana Indonesia harus mempersiapkan surat nikahnya, mas kawinnya, serta syarat-syarat dan rukun-rukun nikah lainnya, sehingga di tahun 2024, Indonesia akan lahir sebagai Indonesia yang baru. Jika dalam 2 tahun ke depan kita kembali gagal untuk mempersiapkan itu semua, maka 2024 kita akan mengalami kebingungan yang lebih parah dari apa yang kita alami hari ini.
Malam itu, Mbah Nun mengenakan busana kasual, dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang, tanpa peci maiyah. Mbah Nun menyampaikan bahwa dengan cara berpakaian seperti itu, agar jamaah tidak salah pandang terhadap Mbah Nun sendiri. Sudah berulang kali Mbah Nun mengingatkan bahwa Mbah Nun sendiri bukanlah ulama, bukan kyai, bukan ustadz. Sehingga mulai dari hal yang elementer seperti berpakaian saja, Mbah Nun tidak ruwet untuk memilih sebagai kostum. Karena di Maiyah kita menemukan presisi bahwa yang kita cari bersama adalah “apa yang benar” bukan “siapa yang benar”.
Hadir malam itu seorang sahabat lama Mbah Nun yang dulu merupakan wartawan senior di Tempo; Putu Setia, yang setelah pension tahun 2006 ia memutuskan untuk kembali ke Bali, kemudian mendalami ilmu agama Hindu, hingga akhirnya tahun 2009 ia ditasbihkan menjadi salah seorang pendeta Hindu di Bali. Setelah itu, ia lebih dikenal dengan Mpu Jaya Prema. Sekilas ia bercerita ketika masih di Yogyakarta dulu, bergaul dengan Mbah Nun yang masih muda, ia sering menerima tulisan-tulisan Mbah Nun. Pertemuan malam itu pun sangat membahagiakannya karena ia kembali bertemu dengan sahabat lamanya di Yogyakarta.