CakNun.com

Membangun Kembali Keutuhan dan Keseimbangan Manusia

Catatan Majelis Maiyah MaSuISaNi Bali, 24 Maret 2019
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 11 menit
Foto: MaSuISaNi

Mbah Nun kemudian mengajak semua jamaah yang hadir untuk bersholawat bersama, sholawat “Alfu Salam” kemudian dilantunkan, semua yang hadir khusyuk bersholawat. Indahnya di Maiyahan, kita tidak pernah mempertanyakan apa agama orang yang datang ke Maiyahan, malam itu di Masuisani yang datang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda, Mbah Nun diawal menegaskan bahwa yang penting bukan identitas kita, tetapi bagaimana perilaku kita kepada sesama manusia. Tanggung jawab keyakinan kita, akan kita pertanggungjawabkan sendiri kelak di hadapan Allah.

Menyambung kembali soal bekal kita kembali kepada Yang Sejati, Mbah Nun menjelaskan bahwa sebenarnya bekal kita tidak akan mampu untuk menebus surga yang dijanjikan oleh Allah kepada kita. Maka Rasulullah Saw pernah menyampaikan bahwa bukan karena ibadah kita kemudian kita diterima oleh Allah dan dimasukkan ke dalam surga, melainkan atas rahmat Allah lah kita nanti berhak untuk tinggal di surga atau tidak. Mbah Nun juga mengingatkan, bahkan bisa jadi orang yang saat ini kita sangka masuk neraka, justru bisa jadi kelak kita melihatnya di surga. Sementara orang yang sangat kita yakini masuk surga, justru bisa jadi kelak kita akan melihatnya berada di neraka. KArena memang logika hukum Allah tidak bisa dilogikakan dengan akal manusia. Kembali lagi pada penjelasan di awal tadi, bahwa Allah adalah pemilik saham penuh atas segala sesuatu di dunia ini.

“Maka satu-satunya jalan yang kemudian Allah memudahkan kita untuk masuk ke surga adalah mengikuti kekasih-Nya; Rasulullah Saw. Cara kita merayu Allah Swt adalah dengan bersholawat, karena dengan bersholawat kita memuji-muji kekasih Allah”, Mbah Nun menambahkan.

Semakin malam, semakin larut diskusi yang berlangsung di Maiyahan Masuisani Bali pun semakin mendalam pembahasannya. Mbah Nun malam itu juga membahas tentang sebab mengapa banyak dari masyarakat kita yang saling bertengkar satu dengan yang lainnya karena salah memahami agama. Informasi yang sampai mengenai agama dipahami sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, sementara informasi yang datang itu disampaikan oleh manusia yang sama-sama memiliki hak untuk menemukan kebenaran. Dan kebenaran setiap orang itu berbeda gradasinya satu dan yang lainnya.

Mbah Nun menekankan bahwa informasi tentang agama yang kita dapatkan saat ini, cukup dijadikan sebagai pagar hukum, sebagai batas ruang gerak kita sendiri, bukan dipaksakan kepada orang lain. Karena frekuensi pemahaman yang dirasakan oleh orang lain sangat mungkin berbeda dengan apa yang kita rasakan. Dan juga, di Maiyahan kita juga sudah jauh mempelajari bahwa diatas hukum ada akhlak, dan yang paling tinggi adalah taqwa. Itulah mengapa Rasulullah Saw selalu memberi kelonggaran kepada para sahabat dalam memahami Islam. Begitu luas hati Rasulullah Saw, sehingga sanggup menerima semua orang yang datang, dari seburuk apapun manusia, Rasulullah Saw selalu mencari kebaikannya, sehingga posisinya selalu mendoakan semoga semua orang diterima oleh Allah Swt kelak.

Fenomena mempertentangkan kebenaran dalam beragama yang terjadi di masyarakat kita hari ini, dijelaskan oleh Mbah Nun juga disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat untuk mendefinsikan dan memposisikan mana yang merupakan firman Allah, mana yang merupakan sabda Rasulullah Saw, dan mana yang merupakan pendapat atau tafsir para ulama. Dari 3 hirarki ini saja, kita harus mampu menentukan, mana yang merupakan kebenaran yang mutlak dan mana yang relatif. Dalam ranah akhlaq, kita memang diajarkan untuk rendah hati, sehingga kita tidak memiliki rasa sombong terhadap orang lain.

Begitu juga dengan fenomena mudahnya orang mengkafir-kafirkan orang lain. Mbah Nun menjelaskan bahwa sebuah kata tidak bisa berdiri sendiri, pada konteks dan nuansa yang berbeda, satu kata yang sama akan memiliki makna yang berbeda. Kata kafir sendiri, asal-muasalnya digunakan dalam dunia pertanian, karena kafir adalah orang yang menutupi, dan dahulu yang dimaksud adalah orang yang menutupi tanah dengan tanaman. Hingga kemudian istilah kafir lebih akrab dalam ilmu teologi, sehingga kata kafir sekarang memiliki konotasi negatif.

“Di seluruh dunia ini, semua orang bisa berdamai jika mereka memakai hati dan kemanusiaannya”, Mbah Nun melanjutkan. Banyak orang yang beragama, tetapi tidak lulus sebagai manusia. Karena yang terjadi adalah manusia yang gagal memahami agama, sehingga dia tidak menjadi manusia, tidak menjadi dirinya sendiri. Banyak orang yang sangat berani mengungkapkan kata-kata tanpa mempertimbangkan konteks dan nuansa, sehingga tidak pula mempertimbangkan estetika apalagi keindahan. Dan di Maiyahan kita menemukan konsep bahwa kebenaran yang dikolaborasikan dengan kebaikan akan menghasilkan keindahan.

Malam itu, Mbah Nun benar-benar mengajak jamaah yang hadir di Maiyahan Masuisani Bali mengelaborasi banyak hal. Yang terpenting bukan seberapa banyak ilmu yang diserap, melainkan seberapa banyak menfaat yang lahir di kemudian hari atas ilmu-ilmu yang diterima itu.

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version