Membangun Kembali Keutuhan dan Keseimbangan Manusia
Pertanyaan muncul dari seorang jamaah yang bertanya kepada Mbah Nun, bekal apa yang harus disiapkan untuk pulang kembali kepada yang sejati? Mungkinkah bekal itu akan habis sebelum kita kembali kepada Yang Sejati? Mbah Nun menjelaskan bahwa dalam konsep Islam kita mengenal Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, secara mudah Mbah Nun menggambarkan konsep ini adalah konsep lingkaran, sehingga ketika kita kembali kepada Yang Sejati, bukan kita berbalik arah, tetapi kita meneruskan langkah yang sudah kita jalani, hingga akhirnya nanti kelak kita bertemu dengan Yang Sejati.
Lebih jauh Mbah Nun menjelaskan bahwa keislaman seseorang tidak terikat pada orang yang lain. Syahadat keislaman kita tidak terikat pada ulama, kyai atau ustadz. Syahadat yang kita ucapkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sendiri dengan Tuhan. Menggunakan contoh paling remeh, Mbah Nun menjelaskan bahwa kerahasiaan kita memilih calon presiden pada pemilu adalah keindahan yang harus tetap terbangun, jika kemudian kita sudah mengumumkan pilihan kita jauh-jauh hari sebelum hari pemilihan, maka yang terjadi adalah seperti yang kita lihat hari ini, perpecahan di mana-mana, pertikaian semakin meruncing, karena masing-masing merasa bahwa pilihan mereka adalah yang paling benar.
Sebaik apapun pilihan kita, kita tidak perlu menjelek-jelekkan pilihan orang lain. Sebenar apapun kebenaran yang kita yakini, kita tidak boleh menyalahkan keyakinan orang lain. Mbah Nun menjelaskan bahwa Rasulullah Saw saja tidak diperintahkan untuk mengislamkan seluruh penduduk Mekah saat itu, begitu juga ketika hijrah ke Yatsrib (Madinah), Rasulullah Saw sama sekali tidak bernafsu untuk mengislamkan seluruh penduduk di Madinah. Sementara yang kita hadapi hari ini, kita sibuk berdebat, bertikai satu dengan yang lainnya, karena kita sama-sama saling memaksakan kebenaran yang kita yakini untuk diyakini oleh orang lain. Dan itu tidak hanya terjadi dalam perdebatan siapa calon presiden yang paling pantas, bahkan sampai pada tahap kita berdebat tentang bagaimana cara beragama yang paling benar, masing-masing dari kita masih banyak yang merasa bahwa cara beragama kita adalah yang paling benar. “Dalam kebudayaan masyarakat jawa, nek koen bagus ojo gembagus, nek koen ayu ojo kemayu”, Mbah Nun menegaskan.
Dijelaskan oleh Mbah Nun, bahwa konsep bermasyarakat yang diajarkan oleh Rasulullah Saw sama sekali tidak menghitung soal kyakinan dalam bertuhan. Setiap orang memiliki privasi masing-masing dalam bertuhan. Tetapi, yang ditampakkan oleh Rasulullah Saw dan kemudian diimplementasikand alam kehidupan bermasyarakat adalah jaminan keamanan untuk tidak mencuri, tidak menghina, dan tidak membunuh satu sama lain. Aman harta, martabat, dan nyawa satu sama lain. Seluruh persoalan di dunia ini hanya berpangkal pada 3 hal itu; harta, martabat, dan nyawa manusia.
“Burung jalak tidak bisa menjadi burung merak, ikan mujaer tidak bisa menjadi ikan lele. Dan Anda jangan jadi pengikut saya, karena Anda tidak mungkin menjadi seperti saya”, Mbah Nun mengingatkan kepada jamaah untuk kembali memiliki kesadaran bahwa yang harus diikuti adalah Rasulullah Saw untuk sampai kepada Allah Swt. Informasi boleh datang dair siapa saja, tetapi kita semua memiliki kedaulatan untuk bertanggungjawab sendiri-sendiri di hadapan Allah.
Kegembiraan Maiyah Masuisani malam itu semakin lengkap setelah Bu Via turut membawakan lagu “Keluarga Cemara”, yang secara khusus diminta oleh Mbah Nun. Setelah Bu Via membawakan lagu, salah seorang penggiat Masuisani, Tebo, meminta izin untuk menari tari sufi di panggung.
“Saya menyaksikan bukan sebagai tarian, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab Mas Tebo karena sudah diberi tangan, kaki, akal dan pikiran oleh Allah Swt”, Mbah Nun menyampaikan apresiasi tari sufi yang baru saja diperagakan oleh Mas Tebo. Melalui tari sufi tadi, Mbah Nun menyampaikan bahwa salah satu pendayagunaan akal dan pikiran manusia adalah lahirnya kreatifitas sesuatu yang baru yang sebelumnya belum ada. Jangan berdebat halal atau haram, bid’ah atau musyrik dan lain sebagainya.
Di Maiyahan kita sudah belajar perbedaan antara ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah, mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan, kita sudah mempelajarai semua pagar-pagarnya. Tari sufi tadi menjadi haram jika dilakukan di tengah-tengah orang sedang sholat jumat berjamaah, misalnya. Namun di panggung Maiyahan, tari sufi adalah sebuah keindahan, dan gradasi keindahan itu masing-masing dari kita sendiri yang menentukan, tidak bisa diseragamkan. Maka Mbah Nun tadi mengungkapkan bahwa menyaksikan tarian yang diperagakan Mas Tebo sebagai bentuk tanggung jawab atas semua yang sudah dianugerahkan oleh Allah kepadanya.