CakNun.com

Membangun Kembali Keutuhan dan Keseimbangan Manusia

Catatan Majelis Maiyah MaSuISaNi Bali, 24 Maret 2019
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 11 menit
Foto: MaSuISaNi

Mbah Nun di awal menceritakan bahwa sejak 22 Mei 1998 memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan media massa, juga tidak menonton televisi, yang kemudian direspons oleh Mpu Jaya Prema bahwa ia baru memutuskan untuk tidak menonton televisi pada pagi hari minggu kemarin (24/3). Baginya, tayangan televisi nasional hari ini sama sekali tidak memberikan pendidikan yang sehat kepada masyarakat.

Mpu Jaya Prema sendiri kaget bahwa di Bali ternyata ada komunitas Masuisani Bali yang memiliki hubungan yang erat dengan Mbah Nun. Bahkan, Mpu Jaya Prema baru mengetahui ada komunitas Masuisani Bali pada hari minggu kemarin. Mungkin kita bisa saja melontarkan respons yang sedikit usil kepada Mpu Jaya Prema; “Lho, kemana saja selama ini Mpu?”. Semoga setelah ini, Mpu Jaya Prema juga bisa sering hadir di Masuisani Bali. Karena malam itu Mpu Jaya Prema mengungkapkan kesediannya untuk hadir kembali di forum Masuisani Bali, bahkan Mpu Jaya Prema juga bersedia jika rumahnya dijadikan tempat untuk Maiyahan. “Kita dibedakan oleh keyakinan, tetapi kita dipersatukan oleh kemanusiaan dan rasa cinta kasih sesama”, pungkas Mpu Jaya Prema.

“Ada benarnya sendiri, ada benarnya orang banyak dan ada benar yang sejati”, Mbah Nun mengelaborasi tema toleransi. Di awal, Mpu Jaya Prema mengucapkan salam dengan lengkap mulai dari Om Swastiastu, Assalamu’alaikum, Namo Budaya, Shalom, Salam Sejahtera, semua itu diucapkan diakui oleh Mpu Jaya karena ia taat dengan konstitusi di Indonesia, karena memang hal tersebut diatur oleh konstitusi. Mbah Nun menyampaikan bahwa yang penting sebenarnya bukan apa yang kita ucapkan. Ucapan salam sejatinya adalah sebuah perjanjian, maka yang terpenting adalah ketulusan hati kita satu sama lain dalam mengungkapkan perjanjian itu. Jika Anda orang Islam, ucapkan salam; Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh, dan orang Nasrani boleh menjawab; Shalom. Begitu juga sebaliknya. Inilah yang dinamakan toleransi, ayam tetap berkokok, bebek tetap membebek, dan kambing tetap mengembik.

Foto: MaSuISaNi

Manusia adalah makhluk kemungkinan, maka segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia bukanlah kebenaran yang sejati. Mbah Nun menjelaskan, UUD 1945 saja bisa diamandemen, itu sudah menjadi bukti nyata bahwa apa yang disusun oleh manusia bukanlah sebuah kebenaran yang mutlak. Manusia hidup dalam relatifitas, segala sesuatu yang dialami oleh manusia penuh dengan kemungkinan-kemungkinan. Mbah Nun menegaskan agar kita tidak terlalu mendewa-dewakan kebenaran kita sendiri, karena kita belum sampai pada kebenaran yang sejati. Dan kebenaran yang kita akui sebagai kebenaran hari ini sangat mungkin akan kita bantah sendiri esok hari.

Membahas tentang hak dan kewajiban, Mbah Nun menjelaskan bahwa hak seharusnya adalah hasil dari kewajiban yang sudah ditunaikan. Digambarkan oleh Mbah Nun, kecuali kita memiliki saham penuh atas sesuatu, maka kita memiliki hak penuh terhadap sesuatu itu. Misalkan kita punya perusahaan, dan kita memiliki saham di perusahaan tersebut, maka kita berhak untuk menuntut sesuatu kepada perusahaan itu. Lain halnya dengan karyawan biasa yang tidak memiliki saham, maka dia baru dibayarkan gajinya setelah menunaikan kewajiban sebagai karyawan dengan bekerja yang baik.

Tema Masuisani Bali malam itu adalah “Panggilan Pulang KemBali”, Mbah Nun mengelaborasi tema ini menjadi sebuah pondasi bahwa kita harus segera sadar untuk pulang kembali kepada yang Maha Memiliki Saham atas hidup kita, yaitu Allah Swt. Dalam konsep berkeluarga kemudian sepasang suami istri memiliki anak, sesungguhnya pemilik saham mayoritas dari anak tersebut adalah Allah Swt. Dengan kemudian Bapak dan Ibu melaksanakan kewajiban untuk menjaga anak tersebut, mendidik, dan menafkahi hidupnya maka Bapak dan Ibu memiliki hak untuk ditaati dan dihormati oleh anak. Namun demikian, Allah Swt adalah pihak yang memiliki saham penuh atas kehidupan anak tersebut, bukan Bapak dan Ibunya.

Foto: MaSuISaNi

Pijakan cara berpikir seperti ini ditegaskan oleh Mbah Nun, karena jika salah meletakkan proporsi Sang Pemilik Saham dalam kehidupan kita, maka kita juga tidak akan proporsional ketika membangun kreatifitas yang baru di kehidupan kita. “Bisakah engkau menumbuhkan dirimu sendiri? Bisakah engkau menumbuhkan rambut di kepalamu? Bisakah engkau menghentikan pertumbuhan badanmu?”, Mbah Nun mencecar jamaah dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang tentu saja jawabannya adalah; tidak bisa.

Bukan jawabannya yang menjadi titik berat dari pertanyaan itu, tetapi kesadaran bahwa sebenarnya manusia sama sekali tidak berhak atas apapun dalam hidupnya, bahwa manusia sejatinya tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya, bahwa sepenuhnya hidup manusia ada di bawah kekuasaan Allah Swt, kesadaran itulah yang terpenting untuk kita miliki saat ini. Maka kita tidak punya tempat kembali yang sejati kecuali kita pulang kembali kepada Sang Pemilik Saham atas kehidupan kita; Allah Swt.

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik