Membangkitkan Kedaulatan Diri
Tak terasa kalender Jawa telah menunjukkan hitungan angka yang ke Telulikur, di mana pada tanggal tersebut, secara istiqomah, Majelis Ilmu Damar Kedhaton digelar rutin. Hingga kini telah berjalan dua tahun lebih. Pada Rabu, 27 Februari 2019 para penggiat Jannatul Maiyah Damar Kedhaton (JMDK) kembali bersua ‘tuk mengobati rindu melepas lelah bersama menuju Sang Maha.
Halaman Masjid Jami’ Nurul Jannah Ds. Slempit Kec. Kedamean kali ini menjadi lokasi terselenggaranya Majelis Ilmu Damar Kedhaton edisi yang ke-29. Cak Qosim, Cak Mat, Cak Aan, dan Kaji Nur mengawali kegiatan dengan membaca Juz 29, tidak lama menjelang rintikan air hujan mulai turun dan membasahi halaman Masjid. Dengan spirit sesemutan, beberapa penggiat dibantu remas setempat mulai merapikan terpal yang semula dijadikan sebagai alas. Di pojok lain, terlihat juga ada yang memindahkan banner bertuliskan Damar Kedhaton ke dalam Masjid. Karena hidup harus selalu siap dengan berbagai situasi dan kondisi yang tidak sesuai perencanaan, maka dari itu, mereka yang telah diperjalankan untuk mengawali segala persiapan teknis guna terselenggaranya kegiatan secara spontan kecerdasan komunalnya tergerak dengan sendirinya.
Seusai nderes Al-Qur’an Juz 29, acara dilanjut dengan pembacaan Wirid Maiyah yang dipimpin oleh Cak Fauzi, kemudian disambung dengan Shalawat Mahalul Qiyam yang ditemani dengan tabuhan banjari Remaja Masjid setempat. Guyuran hujan membuat lantunan cinta kepada Baginda Nabi terasa semakin syahdu, dengan harapan, agar setiap Telulikuran selalu dibersamai olehnya.
Dengan bekal kesadaran alam sebagai kakak sulung manusia, hujan bukan menjadi halangan bagi para jama’ah yang satu per satu mulai berdatangan ke lokasi acara. Seduhan hangat kopi dan beberapa makanan ringan menyambut senyum sumringah para jama’ah yang hadir.
“Kullukum ra’in wa kullukum mas`ulun ‘an ra’iyyatihi”, yang memiliki makna bahwa, sejatinya setiap orang adalah pemimpin. Hanya saja skala kepemimpinannya memiliki porsi yang berbeda-beda. Konsep kepemimpinan yang tertuang dalam hadits Rasul ini merupakan sebuah dorongan kuat bagi JMDK untuk membangkitkan kedaulatan diri pribadi, baik dalam urusan keseharian maupun dalam merespon situasi Republik Indonesia menjelang pemilu 2019. Berdasarkan pertimbangan tersebut, idiom “Daulat Diri’ diambil sebagai tema Telulikuran edisi ke-29.
Cakrawala pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman hidup dari beberapa jamaah meluas dan sangat mendalam. Dengan berbekal ketulusan hati, kejernihan akal, dan keluasan jiwa, apa yang mereka sampikan saat diskusi membuat atmosfer di dalam masjid semakin mesra. Menyatu bersama dalam lingkaran paseduluran Al-Mutahabbina Fillah menjadi energi positif yang tak berkesudahan.
Seluruh jama’ah yang hadir sangat berdaulat untuk mengambil dan mencerna secara matang makanan pemahaman dengan lauk daulat diri dari berbagai sudut, sisi, jarak dan resolusi pandang. Bahwa apa, siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana daulat diri itu sifatnya dinamis dan cair. Perlu banyak sekali komponen guna menemukan kedaulatan diri yang utuh.
Daulat berasal dari kata daulah (arab) yang memiliki arti ‘berkuasa’. Berkuasa sendiri itu ada tiga bentuk, yaitu berkuasa atas diri sendiri, berkuasa atas orang lain, dan berkuasa atas perintah dari Sang Maha Kuasa. Kedaulatan tiap seseorang tidak bisa diukur sebagai bulatan pandang yang utuh, melainkan mempunyai tingkatan dan kadar sesuai porsinya masing-masing. “Apakah kita bisa yakin dan mampu untuk berdaulat 100 persen kepada diri sendiri? Apakah rabi juga bisa mendatangkan kebahagiaan sebesar 100 persen? Bagaimana kita bisa percaya dan yakin kok bisa ada Allah?” Tiga pertanyaan dari jama’ah tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk mengenali makna daulat diri. Untuk menjawab ketiganya sudah tentu menjadi kebingungan tersendiri. Sesungguhnya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu telah mengalir dalam kehidupan sehari-hari. Kita hanya perlu ber-husnudhdhan saja kepada keberadaan Allah Swt. “Hidup tidak perlu kau rencanakan, asalkan niatmu baik, maka semua akan terjadi”. Demikian pesan Mbah Nun yang sering disampaikan dalam beberapa forum Maiyah.
Kedaulatan diri juga bisa disebut sebagai kebenaran yang ada dan berasal dari diri. Banyak hal yang berpotensi mempengaruhi kedaulatan diri, terutama dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Al-Qur`an adalah sumber yang paling terpercaya untuk dijadikan sebagai pedoman, karena merupakan rujukan yang paling benar. Kalam Allah yang mewujud menjadi ayat-ayat-Nya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu ayat qauliyah dan ayat kauniyah.
Ayat Qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur`an. Sedangkan ayat Kauniyah adalah ayat-ayat atau tanda yang mewujud di alam semesta. Ayat-ayat ini berbentuk benda, kejadian, peristiwa, dan sebagainya. Oleh karena itu, Allah Swtengan sifat welas asih-Nya menciptakan seperangkat alat super canggih yang hanya diperuntukkan bagi manusia, yaitu akal dan hati. Kedua alat tersebut berdaulat penuh untuk memfilter, memilah-memilih, sekaligus sebagai pengambil keputusan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, diri yang telah berdaulat tersebut harus ingat bahwa kebenaran terletak di dalam dapur dan masih perlu diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis kebaikan. Barulah, kebenaran bisa “disuguhkan” secara indah dan bijaksana untuk dirasakan dan ditatap oleh pembeli.
Jika konteksnya adalah ruang dan waktu, ‘daulat diri’ berarti ‘memiliki jati diri’. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menemukan jati diri, kita perlu untuk kembali sinau peradaban luhur bangsa Nusantara. Sejenak, kita menarik garis ke belakang, bahwa sebelum mengenal Islam, nenek moyang kita sudah mengenal Tuhan. Walau dengan penyebutan-Nya beragam, lantas tidak membuat mereka (nenek moyang) melakukan perdebatan panjang yang berujung pada permusuhan. Sudah terbukti sampai sekarang, bahwa bangsa Indonesia terdiri atas suku-suku bangsa yang bermacam-macam dengan berbagai warna kulit, adat istiadat, dan bahasa. Bahkan, mereka sudah mengimplementasikan spirit islam secara utuh, saling mengamankan dan menyelamatkan lingkungan sekitar.
Sebagaimana para leluhur, kita pun tak perlu mempertengkarkan istilah, simbol, atau perbedaan pilihan-pilihan dalam bentuk lain. Contoh, dalam kebudayaan Jawa, istilah ‘air’ memiliki beberapa penyebutan. Diantaranya, toya, tirta, dll. Secara hakiki, air adalah salah satu zat yang paling penting dalam kehidupan, terutama di bumi yang kita huni untuk sementara waktu. Pengistilahan air tak perlu diperdebatkan. Toh, yang kita butuhkan adalah nilai manfaat dari air itu sendiri, bukan penyebutannya.
Di dalam atmosfer kemesraan Maiyah, kita selalu diajarkan untuk bertindak seimbang, presisi, dan otentik. Untuk menuju angka 7 dibutuhkan beberapa angka lainnya yaitu 1, 2, 3, dst. Keutuhan proses ini juga bisa kita pelajari dari diri sendiri. Mulanya kita adalah bayi. Kemudian, beranjak ke masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Satu pertanyaan objektif bisa kita lemparkan, “Jika masih berposisi sebagai bayi, maka, akan sanggupkah si bayi berdaulat sebagai dirinya?”. Maka dari itu, kita membutuhkan rakaat panjang untuk berdaulat. Bahkan, daulat sendiri adalah proses terus menerus yang harus selalu diupayakan. Kedaulatan itu sifatnya tidak sendiri. Semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman, maka akan semakin berkembang pula kedaulatan tersebut. Singkat kata, sejatinya, daulat bersifat ghaib dan cair.
D itengah panasnya atmosfer yang telah digodhog dari berbagai sisi, sudut, jarak, dan resolusi pandang melalui berbagai pertanyaan dan pernyataan beberapa jama’ah, tentunya perlu sedikit pendinginan. Mengingat, segala apapun yang ada di dunia ini harus seimbang, tidak boleh berat sebelah. Maka Tim Akustik yang sudah stand by sejak persiapan Telulikuran belum dimulai, dipersilakan untuk mempersembahkan setidaknya dua lagu, yang berjudul “Tunggu Aku” karya Andra and The Backbone dan “Laskar Cinta” karya Dewa 19.
Gerimis hujan kembali datang, membersamai di luar ruangan dan menambah dinginnya suasana. Namun, semua itu tidak pernah menyurutkan kobaran diskusi pengetahuan nan panjang pada malam tersebut. Semua jama’ah berdaulat untuk melakukan segala hal di sekitar lingkungan Masjid Jami’ Nurul Jannah. Ada yang asyik berdiskusi ria, ada yang berpelukan dengan jaket yang dikenakan sambil mata terpejam, dan terlihat pula beberapa operator sound system yang bercengkerama hangat di pelataran. Tak bisa dielakan lagi, elaborasi tema ‘Daulat diri’ sudah langsung terimplementasikan pada jama’ah saat itu juga, tanpa ada pihak yang merasa terganggu, maupun yang dirugikan.
Tak terasa waktu bergulir menuju dini hari. Tak pantas bila perhelatan panjang ini diteruskan tiada henti. Sudah saatnya para jama’ah yang hadir membawa bekal ilmu tuk didaulatkan diri kepada lingkungan sekitar, dengan tanpa adanya pihak yang merasa diuntung-rugikan. Telulikuran edisi yang ke-29 dipungkasi pada pukul 03.30 WIB dengan do’a, serta harapan agar senantiasa ditunjukkan kepada jalan yang lurus. (KIS)